Covid-19 yang melanda dunia saat ini berpengaruh terhadap semua aspek, mulai dari ekonomi, sosial, pendidikan bahkan hingga ranah keagamaan. Sejak wabah menyebar, segala hal sudah tidak lagi sama. Ada status WhatsApp seorang teman yang menggelitik “Banyak yang bilang Ramadan tahun ini beda. Emang apa bedanya? Ramadan tetap Ramadan. Fadholnya tetap sama, menahan laparnya tetap sama. Nafsu kita saja yang bilang Ramadan tahun ini beda. Justru disyukuri ndak keluyuran gayanya nyari takjil tapi mata, pikiran kita tidak ikut puasa”.
Dalam kitab RisalahasShiyam, puasa menurut bahasa adalah menahan. Secara istilah, puasa diartikan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dengan jalan tertentu (niat). Dalam QS. Maryam 26 disebutkan
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Maka, makan dan minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah,” sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara pada siapapun hari ini”
Dalam ayat tersebut, puasa tidak hanya diartikan sebagai menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, akan tetapi juga menahan diri dalam pembicaraan. Ramadan memang tetap Ramadan. Esensinya tetap sama, tapi nuansanya jelas berbeda.
Di tengah pandemi ini, segala hal dibatasi. Mulai dari sosial, fisik, hingga keluar rumah. Di beberapa daerah, pasar tutup. Orang-orang sulit mendapatkan kebutuhan pokok. Orang-orang sepuh bilang, ini saat di mana semua orang harus prihatin. Jangan menginginkan hal-hal yang berlebihan. Apa yang berbeda pada Ramadan kali ini?
Pertama, rasa keprihatinan. Salah satu esensi dari puasa adalah agar seseorang bisa merasakan penderitaan orang-orang yang kekurangan. Yang rasa lapar dan susahnya lebih sering dibanding kenyangnya. Pada Ramadan ini, pandemi memaksa kita prihatin tidak hanya saat berpuasa. Bahkan di saat berbuka dan seterusnya. Kalau biasanya saat berbuka adalah saat balas dendam, kali ini harus mikir-mikir lagi untuk melakukannya.
Kedua, physical distancing mencegah orang untuk berkumpul. Dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus ini, pemerintah memberlakukan pembatasan fisik. Salat Jumat dan tarawih tidak boleh dilakukan di masjid, apalagi di daerah zona merah. Beberapa masjid ada yang dijaga Babinsa. Beberapa daerah yang lain tetap melakukannya dengan jarak 1 meter antar jamaah dan mengenakan masker. Tapi sungguh, baru Ramadan tahun ini yang hendak salat Jumat dan tarawih pun rasanya was-was.
Meski tidak dipungkiri, berkumpul bisa jadi bermakna positif seperti jamaah, tadarrusan, rapat, kajian, diskusi atau yang lain, berkumpul dalam artian negatif menjadi tidak ada jalan. Jam’iyyah rasan-rasan yang makin jos gandos kalau bertemu, akan berkurang. Beda lagi kalau berpindah di jejaring sosial media.
Puasa Ramadan juga identik dengan agenda buka bersama. Bahkan ada juga yang sahur bersama. Kali ini, buka dan sahur tetap bersama. Bersama orang rumah saja. Tidak ada lagi cari takjil, bagi-bagi takjil. Stay at home.
Kebijakan pemerintah untuk physical distancing mendukung pemaknaan puasa lebih mendalam. Tidak keluar rumah, mencari takjil, windowshopping, memaksa kita menahan nafsu. Tidak menyebarkan hoaks agar lebih menahan diri dalam pembicaraan.
Ketiga, serba online. Adanya pandemi ini membuat santri-santri yang berada di pondok dipulangkan. Kegiatan khusus Ramadan versi offline seperti ngaji kilatan tidak bisa dilakukan seperti biasa. Pondok-pondok meng-update NgajiRomadhon–an melalui channel Youtube, Instagram, Facebook. Ngaji Ramadan seperti globalisasi, memutus batas-batas. Tidak ada pendaftaran santri kilatan, semua tinggal masuk lewat jejaring sosial media. Tidak ada santri yang berada di depan, mlipir-mlipir pinggir tembok, di bawah kipas untuk mencari tempat nyaman. Semua sama-sama di depan laptop/gawai. Tidak hanya ngaji kilatan, bahkan muqoddaman juga dilaksanakan versi online.
Mau tidak mau, wabah ini mengendalikan kehidupan kita. Semoga wabah ini cepat pergi, dunia cepat pulih, kita betemu lagi. Karena apa-apa kalau ketemu langsung itu rasanya nyessss. Sekian.
–
Oleh: Ma’unatul Ashfia
–
Foto: Brian McGowan on Unsplash