Rela Menjomblo Sampai Akhir Hayat Demi Ilmu

Diposting pada 54 views

Pernikahan dalam islam merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh agama. Bahkan, oleh sebagian ulama fikih mengkategorikannya sebagai bentuk ibadah yang tujuannya meneruskan keturunan yang saleh, mempelajari agama Islam dari para leluhur dan menyampaikan pada generasi-generasi selanjutnya. Dalam syariat islam, menikah merupakan salah satu perintah yang ditekankan kepada orang-orang yang takut zina dan menjaga diri. Sesungguhnya naluri syahwat yang bangun dari seorang jomblo akan memporak-porandakan otak, pikiran dan mata, nafsunya menjadi gelisah, menggoyahkan keseriusan dan menjerumuskan ke dalam jurang kehinaan dan kehancuran.

Oleh karena itu, pernikahan adalah urusan fundamental dan kebutuhan pokok manusia dalam kehidupan. Menghindari kebutuhan pokok ini sangatlah sulit kecuali ada sesuatu yang lebih menggairahkan, atau karena adanya keterikatan erat pada sesuatu yang lebih mahal harganya melebihi kebutuhan pokok untuk menikah itu sendiri. Cinta keilmuan dan keinginan mengembangkan keilmuan islam menjadi salah satu alasan beberapa ulama memilih untuk tidak menikah sepanjang hidupnya.

Memilih hidup jomblo daripada menikah bagi sebagian ulama disebabkan karena kerinduannya pada keilmuan. Semangatnya yang menyala-nyala sebab keterikatannya dan kecintaannya terhadap ilmu. Baginya, ilmu tidak dapat dipisahkan dari dalam diri bak udara yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia.

Siapa yang menyangka bahwa imam besar dan terkenal sebagai Syaikhul Islam dan bermazhab Syafi’i yang menulis sebanyak ±40 kitab yang masyhur, merupakah salah satu ulama yang memilih menjomblo seumur hidupnya demi sebuah ilmu. Baginya, memiliki istri tidak lebih berarti daripada ngaji, ngaji, dan ngaji.

Nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri bin Hasan bin Husain An Nawawi Ad Dimasyqiy, beliau lahir pada bulan Muharram 631 H di Nawa, Dimasyq (Damaskus) atau biasa kita kenal dengan sebutan nama Imam Nawawi.

Beliau adalah sosok ulama yang wira’i, sangat teliti dan berhati-hati pada barang syubhat. Bahkan beliau tidak mau memakan buah-buah di Damaskus karena di kebun-kebun tersebut banyak syubhatnya. Imam Nawawi berkata “Damaskus banyak barang wakaf dan banyak khilaf, bagaimana bisa tubuhku menjadi baik dengan memakan sesuatu yang banyak diperdebatkan itu?”

Pakaiannya digambarkan penuh dengan jahitan. Beliau pun tidak makan kecuali satu kali dalam satu hari yaitu di akhir waktu isya dan minum satu kali pada waktu sahur. Beliau berkata “Aku takut badanku akan menceburkanku dan menarikku untuk tidur”. Sikap ini beliau tujukan untuk menjalankan sikap sabar atas hidup susah perihal makan dan pakaian dengan ke-istiqomahannya pada ilmu yang tidak berkurang.

Imam Nawawi kecil tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak kecil lainnya. Beliau suka bermain bersama anak-anak tetangga seusianya. Hingga tiba pada suatu masa, Imam Nawawi kecil dikucilkan oleh teman-teman bermainnya. Anak-anak seusianya enggan menerima keberadaannya hingga menjadikan Imam Nawawi berlari menjauhi mereka dan meneteskan air mata dalam kesendiriannya.

Hal ini disaksikan oleh salah satu ulama dan melahirkan firasat baik untuknya, bahwa terdapat tanda-tanda kealiman dan kecerdasan pada Imam Nawawi kecil. Kemudian ulama tersebut menemui orang tua Imam Nawawi, dan dikatakan “anak ini kelak akan menjadi ulama besar yang membimbing umat islam”. Selain itu, Imam Nawawi juga diberi pesan untuk melazimkan membaca Al Qur’an dan berusaha menghafalkannya. Sejak saat itu, Imam Nawawi mulai menghafalkan Al Qur’an dengan semangat

Memasuki usia 19 tahun, orang tuanya membawa Imam Nawawi ke Madrasah Ar Rawahiyah untuk menunjang aktivitas menuntut ilmu bagi Imam Nawawi. Di madrasah ini, beliau menyelesaikan hafalan kitab At Tanbih (kajian fiqih mazhab Imam Syafi’i) dalam waktu 4 setengah bulan. Setiap malam beliau mempelajari 12 mata Pelajaran, diantaranya Al Wasith karya Al Ghazali, Al Muhazhab karya Asy Syairazi, Al Jam’u Baynas Shahihayn karya Al Humaydi. Shahih Muslim, Al Luma’, Islahul Manthiq.

Kemudian, pada tahun 665 H beliau diutus untuk menjadi guru di Madrasah Darul Hadits As Syarifiyyah. Gaji yang didapatkan beliau terbilang sangat besar, namun lagi-lagi dengan sifat wira’i dan zuhud nya beliau tidak pernah mengambil gaji tersebut. Melainkan mengumpulkan dan menabung gaji tersebut untuk nantinya dibelikan aset dan mewakafkannya untuk Darul Hadits tempat beliau mengajar. Dan juga digunakan untuk membeli kitab untuk diwakafkan ke perpustakaan madrasah.

Pada tahun 676 H, beliau kembali ke kampung halamannya di Nawa. Diawali dengan berziarah ke makam orangtuanya ke Baitul Maqdis dan ke makam Nabi Ibrahim AS. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Nawa, dan di sanalah beliau wafat, kembali ke haribaan Allah swt pada hari Rabu 23 Rajab 676 H dengan usia 45tahun. Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah, diantaranya:

Dalam bidang hadits Arba’in Nawawi, Riyadhus Shalihin, Al Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al Basyirin Nadzir Dalam bidang fiqih Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al Majmu’ Dalam bidang bahasa Tahdzibul Asma’ waL Lughat  Dalam bidang akhlak At Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al Adzkar, dan masih banyak lainnya.

Setelah kita melihat reputasi beliau, dengan umur yang terbilang pendek dan wafat dalam usia muda beliau berhasil menulis karya ilmiah yang cukup banyak, semoga menjadi motivasi bagi kita yang masih muda untuk menjadikan tirakat jomblo kita dengan memaksimalkan usia dalam kontribusi pada bidang keilmuan.

Penulis: Syarifah Zaidah

Photo by Masjid Pogung Dalangan on Unsplash

Sumber: