Reply 1989

Diposting pada

Rumah itu berdiri tegak menjulang ke arah awan. Angin kencang disertai hujan deras tak mengurungkannya untuk goyah bahkan roboh. Jangan dahulu, masih ada segenap nyawa di dalamnya rupanya. Ini cerita tentang segenap nyawa yang berharap kehangatan dan keselamatan di cuaca seperti ini.

Nampak ibu berkepala lima itu mondar mandir menyiapkan bak penampungan guna menyeka air yang menetes dari arah atas, sekali lagi ternyata gentingnya bocor. Ibu itu tau bahwa di kursi kayu depannya sedang duduk anak perempuannya dengan asyik meniup-niup wedang jahenya. Lantas setelah itu, ibunya menghampiri dan mulai menggeser kursi di sebelah anaknya. Sang anak menyambut dengan seruputan wedang pertamanya, sambil sesekali menghembuskan napas dari mulut, keenakan. Cerita akan di mulai.

1989.08.11

Dua orang itu berjalan menuju pos penginapan dengan mukena yang masih menggantung dari ujung kepala sampai pada atas lututnya. Suara bakiak terdengar nyaring jika dipadukan dengan obrolan mereka. Jangkrik malam mulai mengeluarkan suara baritonnya. Dua orang itu, yang satu berhidung pesek bertubuh pendek, dan satunya berhidung mancung bertubuh tinggi semampai. Berbeda tapi mereka bersahabat.

“Yati.. kamu lama sekali, anak-anak nyariin kamu.” Perempuan dengan jilbab segitiganya itu menghampiri mereka berdua.

“Lah.. kenapa? Aku habis dari mushola sebelah, ada pengajian sebentar tadi.”

“Ya kenapa lagi kalo bukan minta tolong ngerjain PR. Kebiasaan maunya cuma sama kamu dan Imah. Ayolah kasian udah nunggu itu. Suruh ngaji dulu nanti, tadi sore mereka ga datang soalnya.” 

Yati mahasiswa tingkat akhir yang sedang menjalankan praktik KKNnya kala itu. Hanya seorang gadis biasa yang disukai banyak sekali anak kecil. Yati gadis bersuara serak dan bass, namun sangat suka jika berpidato dan berorasi mempertahankan pendapat. Cerita berlanjut sampai pada hari terakhir mereka mengabdi di desa berhawa dingin dan berkabut itu.

1989.09.01

Sore menuju malam, persiapan panggung dengan meja-meja yang ditata rapi nampak sudah siap. Dibelakangnya para perempuan menghias papan untuk tulisan pada latar belakang panggung. Semua selesai saat adzan maghrib menggema. Melelahkan bagi mereka, namun mulut mereka tak henti-hentinya melongo dan kepala menggeleng-geleng lega.

“Kamu itu orang kota, Ti, tapi kenapa enggak tahu alat ini, sih.” Bambang salah satu teman Yati menunjukkan alat yang sedari tadi digenggamnya. 

“Jangan tanya alat begituan pada Yati, Bang, dia orang kota tapi rumahnya di kampung dekat sungai,” itu suara Asrofah. Gadis bermata lebar melolok.

“Alah, aku taunya cuma alat ini, Bang. Coba tanya Udin kalo kaya begituan” 

“Weala.. itu clurit. Ya semua orang tau, Ti. Ternyata di kamu, tho.. Udin nyariin dari kemarin, sana kasih! Sekalian tanyain alat ini gimana cara gunainnya.” Setelah itu Yati hanya mengangguk dan melenggangkan badannya menuju kepada pemuda berkumis tipis berkulit langsat itu. Dari tempatnya berdiri, Yati tahu bahwa pemuda itu sedang bercakap dengan Pak Kepala Desa.

Pemuda itu bernama Udin, sosok istimewa bagi kehidupan Yati. Namun jika Yati boleh mengatur takdir dirinya maka ia sudah pasti mengakhirinya dengan bahagia. Sosok nyentrik dengan peci dan sarung semata kaki yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Ti.. di situ kamu. Sini!” Yati hanya menurut dan berjalan ke arahnya.

“Kenapa?”

“Mau tanya Din, ini alat buat apa? Bambang nanyain.” Ungkap Yati.

“Ini kan alat buat foto Ti. Hemm, mumpung kamu di sini, aku mau ngomong.” 

“Foto? Wah coba gimana-gimana caranya?” Yati mendongakkan kepalanya menatap Udin. Namun tidak ada ekspresi antusias yang tercipta. Hanya tatapan kosong yang diungkap oleh pemuda itu. Malah sang pemuda mundur beberapa langkah dan membelakanginya. Mengumpat tepatnya.

“Din.. gimana caranya?” sekali lagi sambil membolak-balikkan alatnya.

“Yati ini teks pidatonya buat besok,” suara seorang perempuan menghampiri mereka.

“Loh, Imah, kok diketik?”

“Berterimakasihlah pada Mas Aji, dia tadi siang sampai sini. Ya terus tak kasih teks pidatomu malah sama masnya di ketik sekalian. Titip salam ke kamu Ti. Masnya langsung pulang lagi tadi, katanya mau bertemu dosen pembimbingnya.” Ungkap Imah panjang lebar. Dan saat matanya tak sengaja melirik, dia baru sadar jika di belakangnya ada orang ketiga yang sedang memandangnya tajam.

“Loh, Din, kaget aku. Kamu dengar yang ku omongin ke Yati? Walah.. ”

“Ti, aku pergi dulu, alatnya tak kasihkan ke Bambang nanti.” Tidak ada yang tahu perasaan pemuda dan pemudi kala itu. Hanya kesalahpahaman yang ada. Dan Yati sekali lagi hanya menganggukan kepala dan menyerahkan alatnya, lalu matanya menatap Udin menjauh.

“Heh Din, Mas Ajinya udah pulang loh.. Udin! Din! Ih gimana tho, malah runyam ini” Imah menghela napasnya setelah berteriak kesal. Lalu menatap Yati di depannya yang hanya menatap lurus ke arah pemuda tadi menghilang. Lagi lagi Imah hanya dapat berkata dalam hati. Kenapa gadis di depannya ini polos sekali.

Yati gadis kota dengan kesederhanaannya. Bukan sederhana tapi berada, melainkan sederhana karena pas-pasan bahkan kekurangan. Yati yang memiiliki aura tersendiri di mata teman-temannya itu, menarik, lucu, bahkan membuat hati mereka yang ada di sampingnya bahagia dan banyak yang mengartikan ketulusan Yati itu sebagai hal lebih. Mas Aji dengan kebaikan hatinya yang selalu meminjamkan buku serta mesin ketiknya pada adik tingkatnya itu. Lalu Bambang yang dengan tatapan menggelikan selalu menggoda Yati. Teman-teman perempuan Yati yang selalu bercerita dan berkeluh kesah padanya hingga larut malam. Dan masih banyak lagi orang-orang sejenisnya.

Jedarrrr…..

“Astaghfirullah.. kok anginnya bertambah kencang ya, Bu.” Ungkap perempuan dengan kedua tangan menutupi gendang telinganya.

“Baca shalawat di dalam hati.” Sang Ibu lantas bergerak menuju pintu utama  rumahnya, lalu membuka kenopnya. Dengan suara lirih, bertambah lirih karena suara petir di sekitar bertambah keras dan lantang. Menggema memekakkan telinga. Adzan dikumandangkannya di tengah pintu dengan tangan kanannya menyentuh pipi keriputnya dan daun telinganya. Sang anak mulai merapalkan shalawat-shalawat nabi di hatinya dengan kedua telapak tangannya memegang cangkir hangatnya. 

Tiga menit berlalu. Anak itu menyadari sesuatu, bahwa nama dari perempuan yang berkumandang adzan itu nampak tak asing dengan yang beberapa menit lalu di ceritakannya. Dan tiba-tiba potongan-potongan cerita dengan berbeda nama membayangi pikirannya. Setiap ibunya duduk berdua dengan sang anak, pasti sang ibu bercerita tentang seorang temannya. Tapi ini aneh baginya, kenapa nama-nama yang diceritakan selalu tak asing dengannya itu.

Selanjutnya Klik Halaman 2