1989.09.02
“Ti, Pak Kepala Desa menyuruhku datang ke rumahnya bertemu anaknya. Kamu yakin aku harus datang?”
“Iya, Din, datang saja. Menolak undangan tanpa alasan yang jelas bukannya tidak baik, ya? Kamu yang sudah hapal berpuluh-puluh hadits mestinya sudah tahu.” Geram Yati.
“Dan aku datang ke sana bertemu Suci, lantas kamu ikut ke pengajian di mushala Pak Parjo bertemu Mujib. Yang benar saja Ti..”
“Apa yang salah, Din? Sama-sama baiknya, kan? Aku diundang Mas Mujib kemarin. Mbak Suci juga baik ke kamu,” dongkol Yati.
“Ini bukan main-main, Ti. Buka hatimu, lihat ini sudah masuk dalam ranah keluarga. Kamu jangan main-main!”
“Main-main seperti apa? Aku serius, Din! Kita selesaikan urusan kita masing-masing saja.”
Dan saat itu hari di mana mereka berdua saling kecewa dengan perasaan sendiri. Terlalu takut mengungkapkan dan bertindak, serta terlalu polos untuk mengerti seperti apa hati manusia. Keesokan harinya di mana teman yang lain berkemas untuk pulang, dua mahasiswa yang berbeda jenis itu masih harus melangkahkan kaki menuju undangan masing-masing.
1989.11.05
“Habis dari rumah mesti bawanya tahu, hehe.”
“Ibuk nyiapin soalnya, suruh kasih ke kamu.”
“Bilang ke ibu terimakasih, ya, enggak enak jadinya. Jarang main lagi ke sana.”
“Iya. Arul, ibu nyaman sama kamu katanya,” ungkap pemuda berhidung mancung itu.
“Alhamdulillah..” Arul tersenyum dengan tulus. Dan sang pemuda gemas dengan gadis di hadapannya itu.
“Tahunya langsung dimakan aja. Gak usah digoreng bisa itu.”
“Iya lah, nanti sekalian tak kasih sama teman-teman lainnya.”
“Kamu paham maksud kataku tadi, gak?”
“Apa?”
“Ibu nyaman sama kamu, dan aku juga mau sama kamu, suka sama kamu, Arul.” Arul hanya menatap lawan bicaranya datar, lalu fokus pada hidung mancung lawan bicaranya.
“Iya, ibu kamu baik sama aku. Hemm.. Aku juga suka.. suka hidungmu. Pingin punya hidung kaya kamu itu. Mancung.” Arul gadis polos itu.
1989.12.30
“Kamu tahu, Arul, gadis yang sudah menyakiti banyak sekali pemuda itu tidak mudah untuk bahagia.” ungkap seorang pemuda berhidung mancung itu.
“Kamu juga seharusnya tahu, umur orang-orang seperti kita tidak selayaknya bermain-main.” Tambah pemuda itu lalu pergi begitu saja. Suara Nike Ardila dengan Bintang Kehidupan di putar oleh radio saat itu. Dan setelah itulah saat-saat di mulainya kehidupan asam gadis bernama Arul itu.
Tik..tik..tik..
Petir sudah tak lagi terdengar. Angin mulai berhembus dengan normal. Dan derasnya hujan sudah berganti dengan rintik-rintik kecil menyisakan daun-daun serta ranting kering di atas tanah. Ibu dan anak itu sudah mulai beraktifitas kembali. Sang ibu sedang membersihkan badannya, sedang anak perempuan itu mulai mengambil bak bekas menampung tetesan air dari atap. Saat air itu ia tumpahkan ke selokan dekat sumurnya, ia sekarang ingat. Benar-benar ingat.
Nama itu, Asrulia Damayanti. Nama indah yang ia hapal sebagai nama perempuan tua berkepala lima itu. Nama ibunya sedari kecil. Lalu, Yati dan Arul? Apa selama ini cerita-cerita itu memang cerita fakta dari kisah ibunya? Saat ia telah selesai shalat berjamaah dengan sang ibu. Dia mengungkapkan pikiran dan dugaannya pada sang ibu. Sang ibu hanya tersenyum dan tertawa.
“Satu yang kamu harus ambil, Nak. Jangan sakiti perasaan orang sekitarmu. secara tidak sadar perkataan dan tindakan kita membekas di hati mereka. Dan saat kita menyadarinya, segeralah minta maaf dan merubahnya. Perasaan kita biasa, tapi orang lain tak biasa. Manusia seperti itu, suka berharap lebih pada sesamanya. Padahal tak ada yang bisa diharapkan. Jangan takut menghadapi hidupmu ke depan, selagi masih sama-sama seorang hamba, maju dan hadapilah nak.” Pesan ibu dengan senyumnya. Padahal gigi depannya yang sudah hilang itu terkesan lucu dipandang, namun sang anak malah meneteskan air dari sudut matanya.
Oleh: Akromulladzi