Malam itu, rembulan memancarkan cahaya terangnnya ke suluruh penjuru bumi. Suara jangkrik yang sedari tadi mulai bersaut-sautan mulai terdengar dari bilik dinding kamar gadis remaja bertubuh mungil itu. Suasana malam yang damai dan udara yang tenang mulai dirasakan oleh gadis tersebut. Ia menaruh al-Quran yang habis ia baca usai sholat ‘isya di meja belajarnya. Ia merebahkan tubuh mungilnya di ranjang yang masih terbuat dari anyaman rotan.
Namanya ialah Syifa Amalia. Ia adalah gadis berusia 17 tahun yang tinggal disebuah perdesaan yang jauh dari pusat kota. Ia adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya hanya bekerja sebagai seorang petani, dan ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Kondisi keluarga mereka sangatlah sederhana. Berbeda dengan keadaan orang-orang umumnya. Namun Syifa tetap bersyukur karena Ia dilahirkan dari keluarga yang masih utuh.
Saaat ini Syifa lulus dari madrasah aliyah yang terletak di salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Selama enam tahun ini ia menghabiskan kisah hidunya di pondok pesantren. Ia sadar bahwa hal tersebut bukanlah pilihannya. Namun ia juga sadar bahwa orangtuanya memasukkan Ia kepondok pesantren pastilah memiliki alasan. Mungkin karena jika Ia tidak tinggal dipondok pesantren, Ia akan lebih menghabiskan banyak biaya transportasi untuk menuju ke sekolahnya, karena rumahnya yang terletak sangat jauh dari sekolah.
Hari itu adalah hari dimana ia harus benar-benar memutuskan kemana ia akan melanjutkan kehidupan yang selanjutnya. Ia bimbang karena disisi lain, orang tuanya masih menanggung biaya kakaknya yang masih kuliah. Namun ia juga sangat berat bila ia harus menetap di pondok pesantren itu dan melanjutkan hafalan al-Qurannya. Enam tahun berada dipondok ia telah benar-benar menahan keinginannya untuk boyong dari pondok, namun apalah daya Ia hanya bisa pasrah dengan tetap menjalankan apa yang dipilihkan orangtuanya untuk dirinya. Sejak awal menetap di pondok tersebut ia benar-benar merasa tidak sabar utuk menunggu hari kelulusan masa aliyahnya. Namun, bila takdir berkata lain, Iapun tidak bisa membantah. Karena hanyalah Rabbnya yang berhak menentukan.
Hari kelulusan yang ditunggu-tunggu Syifa telah tiba, dimana ia telah menyelesaikan pendidikan di masa aliyahnya. Seperti kehidupan orang-orang pada umunya, harusnya setelah ia lulus ia melanjutkan menuntut ilmu di perguruan tinggi. Namun, takdir berkata lain. Biaya yang menjadi alasan untuk menghapuskan mimpi tersebut. Orang tuanya yang telah dililit banyak hutang untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari menjadi alasan untuk ketidakmungkinan sebuah mimpi tersebut. Meski kata orang-orang disekitar Syifa, bila Ia ingin melanjutkan kuliah pasti akan banyak beasiswa yang terbuka untuknya. Namun Ia tak yakin bahwa dengan berharap pada beasiswa tersebut akan menjamin Syifa untuk berkuliah tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Di sisi lain ia juga bimbang, karena ibu dan kakaknya yang menginginkan bahwa Ia harus menyelesaikan hafalan al-Qurannya dulu dan menunda untuk melanjutkan kuliah. Selain itu alasan ibunya mengapa demikian adalah karena jika ia ingin berkuliah pastilah akan banyak biaya yang dikeluarkan, termasuk untuk mengambil ijazah dan melunasi biaya pondok yang selama ini masih menunggak . Untuk itu pasti akan menghabiskan biaya yang sangat besar.
Hari itu adalah hari yang menurutnya sangat berat. Dimana Ia harus menentukan sebuah pilihan. Kondisi keluarga yang serba kekurangan membuat ia merasa sangat sulit untuk menentukan pilihan tersebut. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, ia sedang bersujud kepada sang pencipta alam untuk meminta sebuah petunjuk . Ia melakukan sholat istikharah dua raka’at dengan sangat khusyu’. Dalam sholat disepertiga malamnya itu, ia mencucurkan banyak air mata dan memohon kepada Rabbnya untuk benar-benar diberikan jalan untuk bisa memutuskan semua ini. Di pikirannya ia benar-benar membayangkan impian ayahnya yang ingin memiliki anak yang bergelar sarjana. Walaupun pastilah nantinya akan sangat berat untuk bisa mewujudkan impian tersebut.
Esoknya ketika Syifa bangun tidur, kedua matanya terlihat sembab karena menangis semalaman. Ia tak mau bila keluarganya mengetahui hal tersebut. Ia segera beranjak pergi kekamar mandi untuk mencuci muka agar matanya tidak begitu terlihat jika habis menangis. Namun ketika Ia tiba di depan pintu kamar mandi Ia kaget karena melihat ayahnya yang tergeletak pingsan di dalam kamar mandi. Ia panik dan berteriak memanggil ibu dan kakaknya. Secepat mungkin mereka langsung membawa ayah syifa ke rumah sakit terdekat yang membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk bisa sampai.
Ketika sampai di rumah sakit, dokter segera menangani Ayah Syifa di ruang UGD. Namun untuk itu keluarga Syifa harus menandatangani surat dan membayar biaya rumah sakit ayahnya. Ibu Syifa yang saat itu memang tidak sedang meemiliki uang sepeserpun merasa sangat bingung, hingga akhirnya kakak Syifa memutuskan untuk menjual motor satu-satunya yang keluarga mereka miliki, tanpa harus memikirkan resiko setelahnya.
Setelah kurang lebih dua jam, Ayah Syifa sudah sadar dan dipindahkan keruang rawat inap. Setelah keluarga Syifa boleh menemui ayah syifa, mereka segera bergegas untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. Disana Ibu Syifa tak kuat menahan air mata yang harus keluar dari dua bola matanya. Syifapun yang melihat Ibunya seperti itu, Ia benar-benar tak kuat juga untuk tidak mengeluarkan air matanya. Saat itu keadaan memang sangat hening, hanya terdengar suara isak tangis diantara mereka. Saat itu Syifa benar-benar terpukul dengan keadaan tersebut. Belum lagi Ia tak bisa membayangkan bagaimana ketika Syifa memberitahu keputusannya kepada Ayahnya.
Setelah dua hari dirawat dirumah sakit, Ayah Syifa dibawa pulang ke rumah. Karena semakin lama dirawat rumah sakit, biaya yang dikeluarkanpun juga semakin banyak. Setelah sampai dirumah Ayah Syifa memanggil Syifa dan meminta Syifa untuk membuatkannya teh hangat. Saat Syifa mengetuk Pintu kamar Ayah Syifa Ia melihat ayahnya yang sedang membaca al-Qur’an. Saat itu juga Syifa meneteskan air mata, dan secara tidak sadar menjatuhkan segelas teh hangat yang ia bawa. Sontak ayahnya yang sedang membaca Al-quranpun menghentikan bacaannya dan berusaha berdiri kemudian berjalan ke arah Syifa. Malam itu menjadi sebuah malam yang sangat mengetuk pintu hati Syifa. Dari situ Ia sadar bahwa, Ayahnya sangat memiliki impian untuk memiliki anak yang kelak dapat memakaikan sebuah mahkota di surga. Tak henti-hentinya Syifa menangis sambil memeluk ayahnya yang sudah terlihat tua.
Malam itu mau tidak mau, berani tidak berani Syifa harus menyampaikan keputusan yang telah benar-benar Ia pikirkan kepada Ayah yang sangat dicintainya. Ayahnya yang mendengar keputusan Syifa tersebut hanya bisa tersenyum haru dan khawatir bahwa apa yang diputuskan Syifa akan membuat Syifa kecewa kedepannya.
Akhirnya tiga hari setelah malam tersebut, Syifa berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk kembali ke pondok pesantren yang seharusnya sudah waktunya untuk Ia tinggalkan. Keputusan yang Ia ambil memanglah keputusan yang berat, dibenaknya memang Ia memiliki sedikit keinginan untuk bisa berkuliah. Namun melihat kedua orang tuanya yang sudah tua, menjadi alasan kenapa Ia lebih memilih untuk mondok saja. Karena antara kuliah dan pondok sama-sama penting. Gelar sarjana memang tidak bisa menjamin bahwa kelak kehidupan seseorang akan berubah menjadi orang yag kaya, namun al-Quran yang sudah pasti akan menjadi penolong Syifa dan kedua orang tuanya kelak diakhirat. Ia sadar ia memang bukanlah anak yang diharapkan ayahnya untuk bisa berkuliah, namun Ia memiliki harapan bahwa Ia akan bersungguh-sungguh untuk segera menyelesaikan hafalan al-Qurannya dan memberikan hadiah sebuah mahkota kepada kedua orang tuanya kelak di akhirat.
Oleh: Tsalist Wifqi Hidayati