lebaran

Serba-serbi Lebaran di Tanah Rantauku

Diposting pada

Lebaran ~ “Allāhu akbaru.. Allāhu akbaru.. Allāhu akbaru.. Lā ilāha illallāhu Allāhu akbaru.. Allāhu akbaru wa lillāhi al-hamdu

Ba’da Isya, suara takbir mulai menggema, bersahutan dari pengeras suara yang satu ke pengeras suara yang lain. Pertanda Ramadan telah usai, berganti memasuki tanggal 1 Syawal yang tak lain merupakan hari raya bagi umat Muslim di seluruh dunia. Berbagai hal dipersiapkan, mulai dari berbagai kue di atas meja tamu, lauk-pauk di atas meja makan, bahkan ada juga yang turut mengisi meja makan tetangga atau sanak saudaranya—biasanya masih terjadi di kampung-kampung, lebih tepatnya di kampung halamanku, sih, hehe. Itu baru perkara makanan, belum lagi perkara beres-beres rumah yang tak hanya seputar nyapu dan ngepel. Ya, dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri, bersih-bersih rumah menjadi sebuah agenda besar. Pokoknya bicara H-1 lebaran itu pasti tak jauh-jauh dari kata riweuh, setidaknya berdasarkan pengalamanku merayakan lebaran di rumah sejak bayi sampai tahun lalu. Tahun lalu? Bagaimana dengan tahun ini?

Tahun ini aku ingin merasakan pengalaman lebaran yang baru, yaitu lebaran di pondok tempatku menimba ilmu. Jauh di lubuk hatiku, aku memang ingin sekali merayakan lebaran dengan orangtuaku di pondok yang tak lain adalah Bu Nyai beserta keluarga. Selain itu, aku juga ingin sekali menunaikan salat ied di pelataran masjid pusat, tapi di lubuk hatiku yang lebih jauh lagi, aku sebenarnya sedikit ingin menghindar dari pertanyaan-pertanyaan legend yang entah mengapa selalu pateng bedunduk (muncul berderetan) di saat-saat reuni keluarga besar maupun reuni teman sekolah. Tak perlu kusebutkan karena aku yakin kalian pasti sudah tahu pertanyaan itu wkwk

Jujur saja, bagi seorang santri masa pertengahan sepuh—seperti orang yang menulis cerita singkat ini—keputusan untuk ‘pulang’ bukanlah sebuah hal yang mudah. Akan selalu ada dilema yang bergejolak di dalam dada. Ingin pulang itu pasti, karena di sana ada seorang ayah dan seorang ibu yang akan selalu menanti putra-putrinya mengucapkan salam dari balik pintu seperti apapun kondisinya. Akan tetapi, sebagai anak yang belum meraih kesuksesan di tempat rantau, terkadang menunda kepulangan untuk berjuang lebih keras menjadi pilihan yang lebih baik, dengan harapan pulang tahun depan membawa senyum kebanggaan untuk kedua orangtuanya. Begitulah kira-kira perasaanku saat memutuskan untuk tak pulang dulu tahun ini. 

Kembali pada kisah lebaranku di pondok, Almunawwir Komplek Q tepatnya, H- sekian sampai malam menjelang lebaran tak banyak kesibukan yang melelahkan, hanya ada roan akbar yang pembagian jadwalnya sudah disesuaikan dengan jumlah orangnya. Bukan kebetulan, aku kebagian membersihkan musala barat Bersama 5 orang temanku. Menurut jadwal harusnya kami membersihkan musala di siang hari, tapi karena berbagai alasan yang tak ingin aku ceritakan di sini, kami piket ba’da Magrib. Mepet sekali, bukan? Begitulah generasi milenial, sukanya semua serba dadakan bak Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam satu malam.

Setelah musala sudah tampak kinclong mentorong, pengurus menghimbau semua santri yang tersisa untuk menggemakan takbir di musala barat untuk menghidupkan malam hari raya ini. Tak butuh waktu lama, suara Ambar—santri ter-musbar—langsung terdengar di segala penjuru komplek Q, bahkan sampai sudut terkecil pun tampaknya. Aku pun menghampirinya yang bertakbir seorang diri. Kemudian mulai berdatangan teman-teman santri yang lainnya, disusul Kang Hafidz dan Kang Halim yang turut memeriahkan gema takbir dengan tabuhan hadrah yang cukup asik tapi juga terdengar sedikit berantakan, hehe. Suasana malam lebaran di pondok pun menjadi meriah dan menyenangkan, meskipun tanpa takbir keliling. 

Keesokan paginya, karena sedang haid aku bangun subuh akhir, tapi kemudian bergegas untuk mandi dan bersiap pergi ke pelataran masjid pusat. Meskipun tengah haid aku tetap ikut rombongan teman-teman yang menunaikan salat, tak lupa mengenakan mukenah dan membawa sajadah juga. Ya, aku menghadiri tempat salat Ied untuk turut memeriahkan lebaran ini. Di awal tadi sudah kusampaikan bukan, bahwa aku sangat ingin menunaikan salat ied di pelataran masjid pusat. Sebelumnya aku juga sudah mencari-cari bacaan tentang menghadiri tempat salat Ied ketika sedang haid, dan itu tidak dilarang, toh tidak masuk masjid juga jadi tidak khawatir ada darah yang kemungkinan menetes. 

Usai salat Ied, aku dan teman-temanku bersiap untuk foto bersama di halaman pondok, itung-itung sebagai ganti foto keluarga yang tiap tahun tak pernah skip, sekalian untuk memamerkan ekspresi bahagia kami yang lebaran di pondok pada teman-teman yang berada di rumah, hehe. Setelah peluh mengalir di halaman depan jidat dan punggung yang tertutup rapat (sinar mataharinya terik sekali bestie), kami bergegas ke ndalem untuk menyantap opor lezat yang disajikan oleh Bu Nyai. Nyum nyum nyum…

Setelah sarapan, kami kembali ke kamar untuk rebahan, sambal menunggu Bu Nyai kondur dari tindakan. Berselang kurang lebih 3 jam kemudian, pengurus menghimbau kami agar segera bersiap untuk sowan. Kami yang rata-rata tengah bangun tidur pun njingkat untuk dandan lalu menuju ndalem, tak ketinggalan memakai masker tentunya (sudah jelas untuk menutupi muka bantal yang masih amat ketara, hehe).

Saat sowan, Bu Nyai memberikan beberapa cerita singkat, guyonan, dan menutup dengan doa-doa terbaik, seperti “Mugo-mugo pikantuk jodoh sing sholeh, ora usah bagus-bagus, sing penting sholeh” nek saget nggih sholeh tur bagus Buk, batinku sambal mengamini doa Bu Nyaiku tercinta. Sowan tak berlangsung lama karena sudah siang dan memasuki waktu istirahat. Meskipun tak berlangsung lama, tapi sowan siang ini memberikan kesan yang baik dan menyenangkan. Beginilah lebaran hari pertamaku yang singkat tapi juga manis, entah kalau besok. 

Oleh : DH

Photo : dokumentasi pribadi