Digitalisasi menjadi satu kenyataan yang kemudian menyertai kehidupan manusia pada era. Tak khayal jika kemudian digitalisasi seakan menjadi sahabat dari manusia. Sebab digitalisasi secara langsung menawarkan kemudahan, kemurahan, dan kecepatan. Sisi lain digitalisasi menjadi alat penembus ruang dan waktu yang semakin mendukung konsepsi real time online. Beberapa keunggulan tersebut seakan seperti memanjakan manusia era ini. Kenyataan tersebut diperkuat dengan kondisi pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir yang juda semakin menuntut pembatasan mobilitas. Seakan kendaraan baru bagi manusia selama pandemi adalah digitalisasi.
Selaras dengan hal tersebut Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) merilis bahwa terdapat peningkatan pengguna internet pada tahun 2020 mencapai 196,71 juta atau meningkat 23 juta pengguna dari tahun sebelumnya. Sebagaimana pepatah masyarakat Jawa yakni “koyo lumbu oleh tutup” yang memiliki arti cocok atau tepat. Sebab seakan digitalisasi memiliki peran penting bagi manusia dalam menghadapi pandemi.
Dari fakta diatas dapat dikatakan bahwa digitalisasi adalah suatu hal yang seakan sudah menjadi kepastian dalam kehidupan manusia. Artinya inovasi akan terus dilakukan dalam mengembangkan digitalisasi dalam berbagai aspek. Sehingga kemudian adopsi digital berbagai aspek pelayanan bagi manusia akan terus dilakukan. Sebab kenyataannya memang adopsi digital sudah menjadi keharusan atau pilihan kedua harus tersingkir dari persaingan era ini. Persaingan digital yang lebih terbuka dan menawarkan aksesibilitas yang mudah juga menjadi ciri kebutuhan manusia era ini.
Walaupun pada dasarnya digitalisasi dalam kehidupan manusia bukan suatu hal baru. Sebab pada tahun 1935 Amerika Serikat telah berusaha melakukan program pendaftaran dan pendataan dari 26 juta warga negara dengan menggunakan IBM dan Social Security Act. Fakta lain juga menunjukkan bahwa 1820 komputer sudah ditemukan (Ritter & Pedersen, 2020). Dua fakta tersebut mendasari argumen bahwa adopsi digital era ini menjadi keharusan, sebab digital dan manusia pada dasarnya sudah lama hidup bersama.
Selaras dengan kehidupan digital dan manusia yang sudah lama hidup bersama, pada 2019 Jepang mencanangkan konsepsi Society 5.0. Dimana konsep tersebut mendukung digitalisasi yang akan membantu manusia dalam menjalankan kehidupan. Sehingga manusia dapat menggunakan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan untuk menunjang kemudahan dalam menjalani kehidupan. Tidak heran jika kemudian timbul berbagai argumentasi pro dan kontra dalam menanggapi konsespsi tersebut.
Pada sisi kontra tentunya beranggapan bahwa kenyatanaan konsep tersebut akan menggeserkan peran manusia dalam kehidupan. Sebab robotisasi dan automatisasi pada seluruh bidang akan terlaksana. Artinya kemudian akan banyak pekerjaan manusia yang bersifat manual akan dapat tergantikan oleh peran teknologi. Bahkan kenyataan tersebut didukung dengan keadaan saat ini bahwa Artificial Intelegence (AI) sudah berkembang sangat pesat. Namun pada argumentasi pro, beranggapan bahwa digitalisasi memang harus berdampingan dengan kehidupan manusia. Alasannya adalah digitalisasi tidak akan dapat menggantikan peran manusia sebab manusia adalah pencipta teknologi.
Jika kemudian dicermati pada dasarnya dua argumentasi tersebut beralasan kuat dan sama-sama dapat dibuktikan. Pada sisi kontra ketakutan tersebut juga selaras dengan data Oxford Economic yang merilis proyeksi pekerjaan yang akan hilang pada 2030. Selaras dengan hal tersebut argumentasi pro beranggapan bahwa digitalisasi merupakan produk manusia dan dapat dikendalikan oleh manusia. Tentu memang secara konsep pekerjaan manual dapat digantikan oleh robot, namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa manusia merupakan pencipta digital.
Sederhanannya kemana digital akan dikembangkan tentu secara mutlak adalah hak dari manusia. Alasan tersebut dikuatkan dengan pendapat Prof Emil Salim yang menyatakan bahwa teknologi merupakan pengembangan dari keaktifan berpikir manusia. Artinya manusia akan terus berperan sebagai creator untuk menentukan pengembangan digitalisasi kedepannya.
Sisi lain konsepsi Society 5.0 tidak hanya menuntut untuk perubahan penggunaan teknologi dalam kehidupan. Melainkan manusia juga dintuntut untuk bertransformasi menjadi smart. Sebab kemudian harapannya Society 5.0 akan dapt menciptakan manusia dengan pola pikir efisien dan inovatif. Efisien dengan menggunakan produk revolusi industri 4.0 seperti Internet on Things (IoT), Big Data, dan Artificial Inteliigence (AI) dalam membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada.
Inovatif tentunya manusia diharapkan dapat mengembangkan dan menyempurnakan produk teknologi yang sudah ada. Menjadi semakin jelas bahwa era Society 5.0 manusia sebagai pengguna yang kemudian akan dapat menentukan arah perkembangan teknologi. Tuntutan mendasar bagi smart people adalah kemampuan dalam menggunakan teknologi untuk kemudian membangun jejaring dan menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan.
Sederhanannya santri harus dipersiapkan untuk dapat menyesuaikan peradaban tersebut. Telah dijelaskan secara gamblang bahwa cirinya adalah menuntut efisiensi dan inovatif. Dua hal tersebut yang kemudian harus dijadikan dasar dalam mempersiapkan santri smart era ini. Konteks smart pada dasarnya tidak hanya dalam bidang akademis, melainkan juga smart dalam melihat dan mengembangkan potensi yang ada. Sebab santri mau tidak mau juga akan menghadapi kenyataan dunia pada ini.
Sehingga kenyataan digitalisasi yang akan terus mengalami kemajuan juga harus dilihat sebagai potensi untuk kemudian mempersiapkan santri yang memiliki daya saing dan memiliki peran dalam peradaban era ini. Mendorong santri untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi juga perlu dikembangkan. Pada dasarnya jelas bahwa kaitan dari pengembangan teknologi adalah penguasaan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang keilmuan agama baik Al-Qur’an dan kitab tentunya santri dapat dikategorikan sebagai expert atau ahli. Namun sisi lain santri juga harus menguasai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sains dan teknologi. Jika dapat melihat kembali pada masa kejayaan Islam pada masa Bani Abbasiyah. Tentu syarat utama kejayaan masa itu adalah perkembangan pengetahuan yang sangat pesat. Aspek yang perlu dicermati adalah perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga artinya pengetahuan yang tidak hanya bersifat homogen melainkan juga bersifat heterogenitas keilmuan.
Heterogenitas keilmuan artinya tidak hanya menutup diri untuk mempelajari satu bidang keilmuan, melainkan terus memperluas wawasan dengan segala macam ilmu pengetahuan. Sebab pada masa itu Bani Abbasiyah menuntut untuk penerjemahan naskah ilmiah dari bahsa Yunani dan beberapa naskah ilmiah bahasa asing lain ke dalam bahasa Arab.
Contoh tersebut yang kemudian harus menjadi dasar bagi para santri untuk memiliki semangat dalam menjadi pemenang persaingan era digital ini. Membuka diri dengan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan akan semakin mudah dalam mewujudkan hal tersebut. Keunggulan lain yang pada dasarnya semakin memudahkan santri menjadi pemenang dalam era smart society adalah kemampuan dalam berpikir secara kritis.
Sebagaimana diketahui kegiatan Bahtsul Masail dan kegiatan mengaji kitab menuntut santri untuk memiliki daya berpikir kritis yang tinggi. Kenyataan tersebut harus dikembangkan oleh santri dalam mempelajari ilmu pengetahuan yang bersifat sains dan teknologi. Sehingga kemudian keahlian dalam berpikir kritis terkait dapat dituangkan dalam membantu menyesaikan permasalahan era ini tentunya dipadukan dengan kemampuan religiusitas.
Sisi lain yang juga sangat berubah pada era ini dan mulai membuka diri adalah sistem pembelajaran pesantren. Dimana tidak jarang pada saat ini pesantren memiliki akun media sosial yang juga sangat aktif. Artinya konsep pesantren yang hanya mengaji sudah mulai membuka diri dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
Faktor kedua pada saat pandemi tidak jarang pondok pesantren yang juga menyajikan ngaji virtual untuk para santri. Sehingga kenyataan tersebut menuntut pesantren untuk memberikan pelatihan santri tentang skill dalam penggunaan digital. Seperti kemampuan editingUsaha pondok pesantren dalam mendorong santri cakap digital menjadi salah satu cara untuk santri tetap mengaji namun tetap dapat relevan dengan digitalisasi. Pondok pesantren sebagai rumah kedua bagi santri tentu memiliki peran penting dalam mewujudkan smart santri.
Paparan diatas menjelaskan bahwa era ini paradigma pesantren yang bersifat kuno dan tradisional harus mulai berubah untuk menjadi responsif terhadap tantangan zaman. Salah satu caranya tentu dengan membentuk model pendidikan pesantren yang mampu menghasilkan santri yang tidak hanya memiliki keunggulan komparatif (hanya menguasai keilmuan Al-Qur’an dan kitab), melainkan juga harus membentuk smart santri yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Tentu kemudian syaratnya adalah meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi para santri. Kemampuan adaptif dan responsif juga akan berkaitan erat dengan lahirnya inovasi baru. Dengan demikian jelas bahwa salah satu cara adaptif pada era ini adalah memanfaatkan teknologi dan digitalisasi.
Kemampuan dalam penguasaan Al-Qur’an dan kitab menjadikan santri memiliki keunggulan dalam berpikir secara rasional dan kritis namun tetap memegang landasan Islam dengan kuat. Sehingga kenyataan itu mempermudah santri dalam menguasai sains dan teknologi. Dimana kemudian sekelompok manusia memiliki ketakutan akan disrupsi teknologi. Maka santri dengan bekal prinsip Islam akan terus dijadikan acuan dalam pengembangan ilmu pengatahuan dan teknologi.
Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap dilandaskan dengan agama, atau ilmu pengetahuan dan teknologi akan dapat menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Harapannya tentu smart santri pada era Society 5.0 akan menjadi langkah awal untuk lahirnya Al-Kharizmi, Al-Jabar, dan Al-Farabi baru. Artinya tidak tidak hanya menjadi menjadi pemain melainkan menjadi penentu kemajuan peradaban.
Penulis: Ahmad Febriyanto (Juara Terbaik Lomba Kepenulisan Kategori Essay “Safari”)
Biodata: Lahir di Klaten pada 27 Februari 2003, sedang menempuh pendidikan tinggi pada Program Studi Manajemen Keuangan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pictured by Viva.co.id