Status Khaliq dan Makhluq Dalam Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah (2)

Diposting pada

Dalam bab status khaliq dan makhluq ini ditegaskan bahwa beberapa perkara terkadang tidak dapat dimengerti oleh sebagian manusia. Perbedaan antara khaliq dengan makhluq adalah garis pemisah antara kekafiran dan keimanan. Dan apabila seseorang mencampuri antara dua kedudukan tersebut itu sebenarnya dikatakan telah melakukan tindakan kekafiran.

Seperti contoh perumpamaan buah utuh yang dibelah menjadi dua bagian dengan pisau. Orang-orang yang meyakini bahwa yang telah membuat buah tersebut terbelah adalah tajamnya pisau, maka dirinya disebutkan telah melakukan tindakan kafir. Padahal segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi hanya semata-mata karena Allah. Begitupun ketika menuntut ilmu, bahwa yang memahamkan ilmu adalah Allah melalui perantara guru dan usaha diri sendiri. Seperti yang terjadi pada Nabi Ibrahim ketika dirinya dimasukan ke dalam api yang seharusnya api tersebut dapat membakar hangus tubuh Nabi Ibrahim. Namun justru tidak, sebab yang menjadikan api tidak membakar hangus tubuh Nabi Ibrahim adalah semata-mata karena kekuasaan Allah.

Masing-masing dari kedua status tersebut memiliki hak yang spesifik. Namun, dalam masalah ini masih ada beberapa hal yang berkaitan dengan Nabi khususnya pada sifat-sifat khusus beliau yang membedakan dengan manusia biasa dan membuat beliau lebih tinggi derajatnya. Hal-hal seperti ini kadang tidak dimengerti oleh sebagian orang yang memiliki keterbatasan akal, lemahnya pemikiran, sempitnya pandangan dan pemahaman. Golongan ini mudah terburu-buru memvonis kafir terhadap mereka yang mengapresiasikan hal-hal tersebut dan dapat mengeluarkan mereka dari agama Islam. Karena menurut golongan ini menetapkan sifat-sifat khusus untuk Nabi SAW adalah mencampuradukkan antara status khaliq dan makhluq (tahliq) serta mengangkat status Nabi dalam status ketuhanan (rof’an).

Memuliakan Nabi SAW tidak dengan sifat-sifat ketuhanan sama sekali bukan dikategorikan sebagai kufur atau kemusyrikan. Justru termasuk dalam salah satu ketaatan dan ibadah yang besar. Demikian pula setiap orang yang dimuliakan Allah seperti para Nabi, rasul, malaikat, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih. Selain itu, terdapat obyek lain yang wajib dimuliakanseperti halnya sebuah batu. Dimana batu tersebut diciptakan oleh Allah untuk dapat kita muliakan yakni Ka’bah, Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim. Memuliakannya dengan cara thawaf pada Ka’bah, mengusap Rukun Yamani, mencium Hajar Aswad, sholat dibelakang maqam Ibrahim, dan wukuf untuk berdoa di dekat Mustajar, pintu Ka’bah dan Multazam. Tindakan kita terhadap benda-benda di muka bukan berarti beribadah kepada selain Allah dan meyakini pengaruh, manfaat, dan bahaya berasal dari selain-Nya. Semua hal ini tidak akan terjadi kecuali karena Allah SWT.

Berkat karunia Allah lah kita sebagai Ahlusunah Wal Jama’ah, dapat mengetahui sifat-sifat yang wajib bagi Allah dan Rosul. Sejak kecil sudah diajarkan hak-hak prerogratif Allah dan Rasul tanpa melewati batas. Kita tidak akan memberikan pujian hingga pujian tersebut melewati batas (ghulu) mempertuhankan Nabi Muhammad yaitu menolak dan memberi, memberi manfaat dan bahaya tanpa adanya campur tangan Allah. Baik kekuasaan yang sempurna, pengaruh yang komprehensif, menciptakan, memiliki, mengatur, satu-satunya yang memiliki kesempurnaan, keagungan, kesucian, dan satu-satunya yang berhak untuk dijadikan objek ibadah dengan berbagai bentuk, cara dan tingkatan.

Seandainya yang dianggap melampaui batas adalah yang berlebihan dalam mencintaan, taat, dan terikat dengan Nabi maka hal tersebut bukan sesuatu yang salah, justru merupakan hal yang terpuji. Nabi pernah menegaskan : “janganlah kalian berlebihan terhadap diriku, sebagaimana berlebihannya kaum Nashrani kepada Nabi Isa Ibn Maryam”.

Maksud dari hadits tersebut adalah sanjungan dan memuji beliau di bawah batas adalah tindakan terpuji. Berarti yang dimaksud larangan yakni memberikan sanjungan dan memuji secara mutlak. Wajib memuliakan orang yang dimuliakan Allah dan diperintahkan untuk memuliakannya.

Catatan Kedudukan Makhluq
  • Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang memiliki beberapa hal sama seperti yang dialami manusia pada umumnya. Seperti sifat-sifat manusia yang temporal (kantuk, haus, lapar) dan memiliki penyakit-penyakit yang tidak mengurangi derajat beliau sebagai nabi serta tidak membuat beliau dijauhi.
  • Dikatakan oleh penyusun ‘Aqidatul ‘Awam: “Para nabi boleh memiliki sifat-sifat manusia yang lain dengan tanpa mengurangi derajat beliau sebagai nabi seperti sakit-sakit yang ringan. Bahwa sesungguhnya nabi Muhammad hanyalah seorang hamba, sebagaimana hamba beliau tidak memiliki dirinya sendiri sehingga beliau tidak bisa memberikan bahaya, kemanfaatan, membunuh, menghidupkan, dan membangkitkan dirinya sendiri. Kecuali hal tersebut sudah dikehendaki oleh Allah SWT”. Firman Allah: Katakanlah wahai Muhammad kepada umat manusia: “Aku tidak memiliki diri sendiri, aku hanyalah milik Allah, sehingga aku tidak bisa memberikan kebermanfaatkan dan mudharat kepada orang lain kecuali semuanya dikehendaki oleh Gusti Allah. Jika aku mengetahui perkara yang ghaib, niscaya aku akan memperbanyak kebaikan dan keburukan tidak akan menimpa aku, karena aku tidak tahu masa depan, aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman”.  (Q.S Al-a’raf:188)
  • Tugas nabi di bumi yaitu menyempaikan risalah, menyampaikan amanah, memberikan nasihat kepada ummat, menghilangkan kesusahan dan berjihad fi sabilillah sampai ajal menjemput beliau. Sehingga setelah beliau berpulang ke sisi Allah dalam kondisi mendapat keridloan. Sebagaimana firman Allah “Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka juga akan mati” (Q.S.Az-Zumar:30). Dan firman Allah yang lain “Aku tidak menjadikan manusia-manusia sebelum kamu (Muhammad) abadi. Apakah jika kamu mati, apakah mereka akan kekal?” (Q.S.Al-Anbiyaa:34).
  • Maqom nabi sebagai mahkluq. Sifat yang paling mulia dari Nabi Muhammad adalah sifat penghambaan beliau. Karena itu beliau membanggakannya dan berkata: “aku hanyalah seorang hamba”. Allah mensifati beliau dengan kehambaan dalam kedudukan tertinggi seperti dalam firmannya, “dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin desak mendesak mengerumuninya.” (Q.S.Al.Jin:19)
  • Kemanusiaan adalah letak kemu’jizatan Rasulullah. Beliau adalah manusia dari jenis manusia namun berbeda dengan manusia biasa. Beliau memiliki perbedaan yang tidak mungkin dikejar atau disamakan dengan manusia yang lain. Sebagaimana penilaian beliau tentang dirinya : “Meskipun aku manusia, aku tidak sama dengan kalian. Sesungguhnya aku bermalam dipangkuan Tuhanku, di sisi Allah diberi kekuatan sebagaimana orang yang makan dan minum”.

Berdasarkan paparan penjelasan di atas, maka sudah jelas bahwa status kemanusiaan Nabi Muhammad wajib disertai dengan sifat-sifat yang membedakan dengan manusia umumnya yaitu menyebut keistimewaan-keisimewaan beliau yang khusus dan sifat-sifat beliau yang terpuji. Perlakuan ini bukan hanya diberikan khusus untuk Nabi Muhammad SAW, namun juga berlaku untuk rasul-rasul yang lain agar penilaian kita kepada mereka proporsional. Karena penilaian kepada para rasul semata-mata dipandang dari sisi kemanusiaan saja tanpa penialian lain adalah pandangan jahiliah yang musyrik.

 

Oleh: Ria Audina dan Diah Komalasari

Sumber:  Disarikan dari Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah oleh Ust. Yunan Roniardian dalam Program Khusus Ramadan 1444 H di PP. Al-Munawwir Komplek Q