“Sore telah menyapa. Guratan mesra senja merona di pipi langit yang dilaluinya. Mentari kan membenam dengan segera. Tak lama lagi, angkasa kan berkata, adzan magrib telah tiba. Oh.. buka puasa di hari pertama.”
BUKKKK!!!!!! Baru juga Kang Shohib menyelesaikan puisinya, sebuah bantal apek melayang di kepalanya.
“Aduh! Ngopo to Kowe iki, Man?”
“Kamu itu lho berisik Kang. Bulan puasa mbok dibanyakin dzikir dan nderes Quran e. Malah berlagak jadi seorang pujangga kemagriban. Huuu!”
“Iyo ek.. berisik Kang Shohib”, santri lain yang sedang membaca nadzoman ikut menimpali.
“Sampean berpuisi neng njobo wae kono!”
“Wah, wani-wanine ngusir santri jadug (sakti). Awas kalian, lak aku entok jajan gak bakal tak kek i” Kang Shohib berlalu meninggalkan teman-teman sekamarnya sambil cengengesan. Dia selalu senang jika berhasil menjaili teman-temannya.
Kang Shohib termasuk salah satu santri yang cukup senior di pesantren itu. Dia selalu menjadi santri andalan Mbah Yai. Seringkali dia diajak Mbah Yai menghadiri acara-acara seperti mengisi pengajian, ziarah, simaan Alquran dan masih banyak yang lainnya. Kang Shohib memang seorang santri yang cerdas sehingga dia sering diutus Mbah Yai untuk mbadali pengajian di pondok. Meskipun begitu dia tetap seorang santri yang suka sekali iseng pada teman-temannya.
Setelah diusir teman-temannya, Kang Shohib berniat berjalan-jalan di sekitar pondok sambil menunggu adzan magrib. Baru beberapa langkah berjalan, Kang Shohib berhenti. Dia mendapati sebuah rantang besar di depan kamarnya. Setelah diperhatikan, rantang itu sepertinya tak asing. Rupa-rupanya itu rantang milik ndalem yang biasa dibawa santri putra tatkala ke sawah. Dia pun mendekati rantang tersebut lantas membukanya. Melihat isi rantang tersebut adalah makanan, Kang Shohib langsung teringat ngaji bersama Mbah Yai tadi malam.
“Jadi santri itu ndak usah pusing mikir dunia. Ngaji, ngaji, ngaji. Rizeki nanti datang sendiri min haitsu la yahtasib, dari arah yang tidak disangka-sangka.”
“Alhamdulillah, iki seng jenenge min haitsu la yahtasib. Pancen Mbah Yai ki sayang tenan karo aku.”
Kang Shohib mengira itu makanan dari Mbah Yai untuk dirinya karena rantang tersebut diletakkan tepat di depan kamarnya. Kang Shohib lalu membawa rantang itu ke dalam kamar, dia ingin pamer pada teman-teman yang tadi mengusirnya.
*****
“Assalamualaikum Ya Akhi…”, Kang Shohib mengucapkan salam sambil melambaikan rantang yang dibawanya.
“Biyuh! Opo kui Kang? Kok ambune ngademno ati. Hehe.”
“Ini yang dinamakan rejeki dari surga, Man. Ini takjil gratis dari Mbah Yai untukku. Sebenarnya mau tak makan sendiri, tapi aku ingat muka-muka melas teman sekamar yang gak pernah makan enak. Jadi ku bawa makanan dari surga ini kesini. Haha.”
“Ngenyek tenan sampean Kang.” Kang Maman pura-pura memasang wajah sinis.
“Dinyek rapopo seng penting makan enak.” Salah satu santri menimpali dan seisi ruangan dipenuhi gelak tawa.
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR
Adzan magrib telah berkumandang dengan merdunya. Kang Shohib dan teman-temannya—dengan semangat empat lima—menyantap takjil gratis yang dibawanya.
*****
Ning Azila tampak berjalan dengan tergesa. Ia sedang diutus Bu Nyai mengantarkan takjil untuk Pak Yai yang hendak berbuka di kantor madin bersama beberapa pengurus. Ketika sampai di tengah jalan, ia ingat belum membawa es kelapa ijo yang tadi telah disiapkan Bu Nyai. Karena rantang makanan yang dibawanya cukup berat, ia pun meletakkannya di teras—kamar para santri. Ning Azila berlari kembali ke ndalem untuk mengambil es degan ijo. Setelah mengambil es degan ijo, Ning Azila kembali ke teras untuk mengambil rantang makanannya. Betapa terkejutnya ketika ia tak menemukan rantang itu. Ning Azila pun kembali ke ndalem untuk melaporkan pada Bu Nyai.
“Pangapunten Buk, rantang maeme Abah ical.”
“Lho kok iso, Nduk?”
“Namung kulo salap teng teras sekedap. Kulo tinggal mundut es degan ijone kentun.”
Mbah Yai yang mendengar percakapan itu pun ikut bertanya.
“Teras asrama putra sing neng pinggir ndalan to, Nduk?”
“Nggih, Mbah.”
“Oh yo wes. Lak kui mesti rantange tok seng mbalek.”
“Maksute pripun Mbah?”
“Wis, lek pengen ngerti rantangmu neng endi, sesuk isuk neng dapur karo aku.”
Ning Azila yang masih kebingungan hanya mengangguk lalu bergegas mengambil rantang baru untuk diantarkan pada Pak Yai, mengingat adzan magrib telah berkumandang.
Keesokan harinya Ning Azila, Bu Nyai, dan Mbah Yai berkumpul di dapur sambil berbincang-bincang ringan. Tak lama kemudian terdengar seseorang mengucapkan salam.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.” Serentak Ning Azila, Bu Nyai, serta Mbah Yai menjawab.
“Mbah Yai, kulo ngewangsulaken rantang. Maturnuwun sanget. Saestu, min haitsu la yahtasib. Hehe.”
Sontak Mbah Yai tertawa mendengar perkataan Kang Shohib.
Oleh: D. Hab