Jalanan kota selalu panas, sesak, dan tak ramah. Bahkan pepohonan yang seharusnya memberi kesan tentram dan nyaman, nyatanya tak lebih dari sebuah pelengkap tata ruang kota. Bangunan-bangunan pun demikian, tak peduli semenarik apa sejarah dan bentuknya saat ini, ia hanya benda mati yang tak bisa apa-apa, melihat kekacauan di jalanan. Para mahasiswa membawa bendera dan spanduk penuh coretan tegas, memenuhi jalanan yang padat. Mereka berteriak dengan retorika tajam dan menggebu dengan tujuan memprovokasi sebanyak-banyaknya pendengar. Klakson kendaraan terdengar bersahutan, matahari sedang dalam masa terik-teriknya, lampu merah dipenuhi peminta-minta yang memaksa.
Hanya satu yang suasana hatinya tidak terpengaruh dengan keadaan kacau itu semua. Hati yang selalu merasa bahwa setiap sudut kota ini telah memberinya kebahagiaan. Kota yang istimewa pikirnya. Rindu dan hujan yang menjelma menjadi keajaiban dan kebaikan abadi. Apa saja kekacauannya, memori kenangan miliknya selalu menjadi penawar segala hal itu. Bahwa selagi akalnya masih sehat, hukum itu berlaku di kehidupannya.
Sasmita namanya. Nama sebenarnya adalah istilah dalam seni drama. Wajar, karena ia lahir dari rahim seniman pemain teater ulung. Nama ibunya besar dimana-mana. Menjadi anak dari ikon antagonis Teater Abang Murub di Kota Perjuangan rupanya tidak berpengaruh apapun pada masa depan Sasmita. Lebih dari seluruh warisan kebendaan dan ketenaran, justru kebijaksanaan, semangat, dan kegigihan ibunya yang menurun padanya. Sasmita adalah janda berusia 60 tahunan, ia hidup dengan mengelola toko buku kecil. Tokonya menjual buku buku baru dan bekas, tapi tidak bajakan. Dibanding sebuah toko buku, tempat itu lebih cocok disebut perpustakaan.
Karena selain sebagai pedagang, Sasmita juga bertindak selaku guru bagi anak anak. Ia juga kerap menjadi teman diskusi muda-mudi yang mendatangi tokonya dan pengajar bagi orang orang tua seusianya. Tempatnya strategis. Di sudut kota yang masing-masing batasnya mengarah pada tiga kampus besar di Yogyakarta. Karenanya banyak orang datang. Wajar ia begitu menguasai perannya, karena lebih dari 10 tahun gawean ini ia lakoni, tepatnya sejak sang suami meninggal dunia.
Suatu malam, pukul 00.00 WIB tepat, Sasmita seperti biasanya baru menutup tongkrongan intelektualnya itu. Sendirian, membereskan seluruhnya. Tidak iba karena ini memang kesehariannya. Pada malam itu juga ia melihat anak gadis berlari ketakutan. Tak berpikir panjang, ia menyembunyikan gadis itu di dalam rumahnya dan mengatakan tidak tau ketika dua orang polisi menanyainya.
“Terimakasih,” ucap gadis itu terengah-engah.
“Pergilah dan pikirkan masa depanmu! Gadis pecandu sepertimu hanya akan hidup dalam kegelisahan yang tak berujung, mencari pembenaran atas kesalahanmu dan mengumpat setiap orang yang hendak membenarkanmu,” jawab datar Sasmita sambil membereskan keadaan tokonya.
Gadis itu tak menjawab. Sambil melihat keadaan, ia keluar dan berjalan mengendap.
Keesokan harinya, gadis malam pembawa narkoba itu kembali ke kediaman Sasmita dengan tujuan layaknya anak muda lainnya. Tak menanyai maksud dan tujuannya, Sasmita hanya menjamunya layaknya tak ada apa-apa.
“Jangan menilai orang dari pengetahuan terbatasmu Bu,” ucapnya sambil menjungkat-jungkit setiap buku di rak sebelah utara.
Sasmita bergeming, rupanya perasaan bersalah sedikit menggelitiknya. Jika anak ini pemakai ia tidak mungkin masih disini pikirnya.
“Mau cari buku apa?”
“Buku yang tak pernah dibaca!”
“Tidak ada, semua buku disini sudah pernah dibaca”.
“Baiklah tidak jadi”.
“Gadis Aneh,” pikir Sasmita sambil matanya mengikuti kepergian gadis bercelana kain itu.
“Anak-anak, sini aku traktir jajan kue pancong! Ambil saja sesuka kalian nanti aku yang bayar,” gadis itu mengusik anak-anak yang tengah membaca di taman kecil depan toko dengan memanggil dan memesan kepada penjual pancong. Tentu suasana menjadi gembira dan riuh. Ia juga memberikan kue itu satu porsi pada Sasmita. Sambil menyerahkan empat buah buku setebal masing-masing 300-400 halaman dengan dua buku yang sampulnya sangat usang.
“Ini buku yang sudah bosan kutamatkan, karenanya jual saja. Jika ada buku yang menurutmu bagus, gantilah itu padaku.”
“Kau berbicara begitu, memangnya buku yang kamu minta seharga buku-bukumu ini?”
“Hitung saja berupa rupiah yang harus ku bayar, lagipula aku tidak ada niat barter,” sambil mengucapkan kalimat terakhirnya ia berlalu.
Buku buku yang diberikan gadis itu adalah buku lama yang penulisnya termasuk yang dikagumi Sasmita. Tiga dari empat buku itu belum pernah ia baca. Seonggok kegemberiaan menyelemuti wanita 60 tahunan itu.
Dua tiga hari berlalu, gadis itu tidak terlihat sama sekali. Entah mengapa, Sasmita terus menunggunya dan mengharapkan kedatangannya. Sepertinya ia sudah punya buku yang belum pernah dibaca yang akan diberikan pada gadis itu. Benarlah, senja hari itu gadis itu lewat kemudian dipanggil oleh Sasmita.
“Mau dibaca sekarang?”
“Sudah ada?”
“Ada. Ini!” Bibirnya melebar, tangannya menyodorkan buku berwarna merah kombinasi hitam ke tangan gadis yang ada di depannya.
“Terimakasih. aku buru-buru.”
“Hati-hati,” ucapnya. “Kembalilah kesini jika sudah selesai dibaca!” Teriak Sasmita pada gadis yang kakinya melangkah cepat.
Tidak ada tiga hari, gadis itu kembali ke rumah Sasmita dengan membawa buku setebal 400-an halaman.
“Bagaimana?” Tanya Sasmita
“Bagaimana bisa buku ini masih anda simpan? Ini adalah buku tahun 70-an yang kehilangan nilai jualnya karena banyak orang yang memgecamnya. Kemarahan massa saat itu membuat kantor penerbitnya juga terdampak, karena yang disalahkan bukan hanya penulis, tapi juga editor, layouter sampai pendesain nya. Akibatnya, buku ini dihentikan cetakannya dan penulis didaftar hitamkan”.
“Menurutmu kenapa itu terjadi, seburuk itu kah buku ini?”
“Kalau buruk mungkin tidak, tapi hampir lebih dari setengah buku ini membahas pemikiran yang bertentangan dengan kebiasaan, sebagian orang mungkin menganggap tulisan ini telah mengganggu kemapanan pemahaman masyarakat kebanyakan.”
Gadis itu melanjutkan. “Tapi yang ingin ku tahu adalah, apakah demonstran saat itu sudah membacanya sampai selesai?”
“Memangnya ada apa di bagian akhir buku itu?”
“Bagiku banyak hal tidak terduga yang kutemukan, seperti ia menjelaskan kenapa dia menulis seluruh argumen di bagian depan itu, kemudian memberikan kemungkinan masa depan dan solusi atas masalah yang dia tulis. Ditambah lagi, buku itu ditulis tahun 70-an tapi seluruh argumennya itu nampak seperti ramalan masa depan yang semuanya menjadi kenyataan sekarang.”
“Dan kau tahu?”
Gadis itu diam dan memperhatikan Sasmita.
“Penulis yang sudah didaftarhitamkan di seluruh penerbit itu, tetap menulis sampai sekarang dengan merubah identitasnya. Dan mengejutkannya lagi, karyanya banyak dinikmati bahkan beberapa kali mendapat penghargaan.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Bagaimana bisa penulis mati karena celaan dan salah paham. Dia pasti akan mencari cara agar pikirannya bisa tersampaikan dengan rentetan huruf. Persetan akan disambut baik atau tidak oleh orang-orang. Yang membaca bukunya sampai akhir pasti akan paham.”
“Itulah….”
Keduanya saling tatap.
“Tidak banyak orang yang mampu bertahan dengan apa yang dia baca. Ekspektasi mereka yang membuat mereka lemah dan akhirnya gagal menyelesaikan. Tidak dingin kepala dan akhirnya membuat kekacauan dimana-mana. Karenanya, selesaikan dulu baru menilai. Atau pahami dulu dengan benar, baru mengajukan keberatan.” Sasmita mengakhiri ucapannya dengan seyuman.
Gadis itu membalas senyum Sasmita dengan menyodorkan sebungkus bubur ayam. “Ini buat sarapan, saya harus pergi. Ada acara hari ini. Terimakasih telah memberi saya buku yang sangat bagus”.
“Terimakasih sarapannya.”
Gadis itu berlalu dengan diikuti tatapan puas oleh Sasmita. Ia seakan melihat generasinya di depan mata. Apalagi Sasmita adalah wanita yang hidup sebatang kara, tidak punya anak dan janda. Sepertinya dia senang dapat bertemu dengan dengan gadis itu. Satu yang lupa, sampai saat ini Sasmita tidak mengetahui namanya.
Pagi keesokan harinya, Sasmita pergi ke pasar mencari bahan makanan yang sudah habis persediaan. Dia agak lama karena di sebuah cafe di pinggir jalan menuju pasar, ada acara bedah buku oleh salah satu seniman terkenal. Tidak terasa waktu menunjuk pukul 13.15. Ia lupa kalau harus membuka toko bukunya. Sasmita yakin sudah banyak orang yang kecewa melihat tokonya tutup tiba tiba.
Di luar dugaan, saat pulang dia melihat rumah dan tokonya dikelilingi garis kuning. Mobil polisi terparkir di halaman rumahnya dan beberapa pria berseragam coklat tengah berjaga dan yang lainnya menggeledahi setiap rak buku.
Jantung perempuan renta itu berdegup tak beraturan, air matanya seakan hendak jatuh tapi tertahankan oleh rasionalitasnya untuk mencari tahu apa yang terjadi. Bagaimana tidak, para warga ramai di depan rumahnya dan para polisi menghambur seluruh buku-buku di tokonya.
“Pak, bagaimana bisa rumah saya digeledah tanpa seizin saya? Atau paling tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu!”
“Ibu pemilik rumah dan toko ini?”
Para warga terus saja berteriak tak karuan seperti mengecam Sasmita dan menbenarkan ulah polisi.
“Wanita aneh! Wanita psikopat, pembunuh!”
“Maaf Bu, penggeledahan ini kami dasarkan pada desakan masyarakat. Dan ditemukan di beberapa selipan buku-buku ibu bentuk narkotika jenis sabu. Kami mendapat laporan ini dari orang tua anak yang sering datang kesini dan menemukan benda tersebut. Berdasarkan keterangan anak itu, teman teman sebayanya juga telah memakainya karena tidak tahu dan penasaran. Sehingga ada dugaan bahwa orang-orang yang mengunjungi toko ini adalah korban dari oknum yang telah meletakkan narkotika tersebut di beberapa selipan buku. Karena itu, ibu juga akan kami bawa ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.”
Seketika Sasmita menangis dan hampir pingsan. Bukan karena dirinya, tapi karena kenyataan nasib anak-anak yang sudah masuk dalam lingkaran setan itu. Bagaimana bisa akibat kecerobohannya yang menerima penjahat itu telah menyebabkan banyak masa depan terancam.
“Bacalah hingga selesai baru menilainya.”
Sasmita ditahan untuk kepentingan penyelidikan dan masih enggan menyebut nama gadis yang telah membuatnya jatuh hati itu.
Oleh: Sayyidah Latifah Hamid