Pada September 2020, terdapat kasus intoleran yakni pelarangan pembangunan fasilitas rumah dinas pendeta di Gereja Kristen Protestan Pak-Pak Dairi (GKPPD) kecamatan Napagaluh, Aceh Singkil (tirto.id, 1/9/2020). Disusul kemudian penolakan ibadah oleh sekelompok warga kecamatan Jonggol, Bogor terhadap jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) (tirto.id, 20/9/2020).
Tidak hanya soal agama, kasus yang mencederai toleransi juga terjadi pada upacara adat, yakni acara midodareni (doa bersama jelang pernikahan) di wilayah Pasar Kliwon, Solo (Kompas.com, 8/8/2020). Kegiatan ini mendapat serangan sebab diyakini tidak sesuai dengan keyakinan massa. Apakah Indonesia darurat toleransi?
Ada baiknya kita memahami arti kata toleransi terlebih dahulu.
Toleransi yang berasal dari kata toleran dalam KBBI dimaknai sebagai sikap menghargai pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, yang berbeda dengan pendirian sendiri. Artinya, entah itu menghargai perbedaan yang berkaitan dengan agama, keyakinan, upacara adat, ataupun ras bahkan dalam hal perbedaan pendapat suatu forum dapat dikatakan toleran.
Kasus intoleran (tidak toleransi) di Indonesia banyak berkaitan dengan kasus keagamaan. Pemeluk agama yang entah masih dangkal pengetahuan agamanya, terlalu fanatik, politisasi agama (atau malah kurang piknik?) yang pada akhirnya berujung pada anggapan penistaan agama.
Bagaimana sih sebenarnya memeluk agama yang baik? Saya tergelitik dengan puisi Joko Pinurbo yang berjudul Pemeluk Agama.
Dalam doaku yang khusyuk
Tuhan bertanya padaku,
hambaNya yang serius ini,
“Halo, kamu seorang pemeluk agama?”
“Sungguh saya seorang pemeluk agama yang teguh, Tuhan.”
“Lho, Teguh si tukang bakso itu
Hidupnya lebih oke dari kamu,
Gak perlu kamu peluk-peluk.
Sungguh, kamu seorang pemeluk agama?”
“Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan”
“Tapi aku lihat kamu gak pernah
memeluk. Kamu malah menghina,
membakar, merusak, menjual agama.
Teguh si tukang bakso itu
malah sudah pandai memeluk.
Sungguh kamu seorang pemeluk?”
“Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.”
Oke, penjelasan selanjutnya agak lebih serius ya.
Islam memiliki konsep menarik yang berkaitan dengan toleransi, yakni maqashid al-syari’ah. Ibnu ‘Asyur memberi definisi maqashid al Syariah sebagai nilai yang menjadi perhatian Syari’ (Allah dan rasul-Nya) dalam seluruh kandungan syariat. Secara sederhana, Maqashid al-Syariah dimaknai sebagai tujuan-tujuan/nilai-nilai yang terkandung dalam syariat Islam.
Tingkatan-tingkatan dalam maqashid asy syariah mencakup tiga hal penting, primer, sekunder, dan tersier. Aspek primer adalah pemenuhan kebutuhan pokok yang mencakup pemeliharaan terhadap lima hal utama, yakni hifdz ad din (agama), hifdz an nafs (jiwa), hifdz al aql (akal), hifdz al mal (harta), hifdz an nasl (keturunan).
Melestarikan lima komponen utama dalam tingkatan primer adalah suatu keharusan, , untuk berkembang dan keberlangsungan hidup manusia. Dalam kaitannya dengan hifdz an nafs misalnya, Mematuhi protocol kesehatan di tengah kondisi pandemic adalah salah satu bentuk hifz an nafs (menjaga jiwa). Menjadi pribadi yang produktif, atau juga menaikkan IP dalam perkuliahan juga salah satu bentuk hidz al ‘aqli. #eh
Terus, kaitannya dengan toleransi di mana dong?
Dalam lima komponen utama maqashid asy syari’ah yang telah disebutkan di atas, bukan hal yang mustahil jika terjadi kontradiksi. Mana yang harus didahulukan jika terjadi pertentangan antara menjaga agama dan jiwa (nyawa)? Antara menjaga harta atau menjaga keturunan?
Ambil contoh kasus penistaan agama. Tuhan dilecehkan, agama dianggap ternodai. Jika kasus tersebut direspon negatif oleh pihak lawan, maka akan menyebabkan perpecahan atau malah penyerangan. Dalam hal ini, terjadi kontradiksi antara hidz al din (menjaga agama) dan hifz an nafs (menjaga nyawa). Mana yang harus didahulukan?
Statement Gus Dur menyentil pertanyaan ini “Tuhan tidak perlu dibela, bela lah mereka yang tidak mendapat keadilan”. Yap! Islam lahir sebagai rahmat bagi seluruh umat tentu sangat menjaga hak-hak manusia. Jika mengedepankan pembelaan terhadap agama tanpa mempertimbangkan efek buruk dari perpecahan dan penyerangan, apa arti agama tanpa manusia sebagai pemeluknya?
Oleh karena itu, memprioritaskan penjagaan nyawa adalah wajib. Dalam hal ini, penulis juga mengaitkan dengan penjagaan rumah dan kegiatan ibadah bagi agama lain, termasuk juga memberikan rasa aman bagi pemeluk kepercayaan dan adat untuk melakukan ritualnya masing-masing-masing.
Sejauh mana kita sudah memahami toleransi? Jangan-jangan kita masih senewen dengan yang malam minggu sebab kita adalah malam jumat wkwk. Yuk menghargai, yuk memeluk perbedaan.
Sumber
- Tirto.id tanggal 29 September 2020, “Kasus Intoleransi Marak, Pemerintah Didesak untuk Bertindak”
- Kompas.com tanggal 12 Agustus 2020, “Fakta Pengeroyokan Saat Acara Midodareni di Solo yang Disebut Coreng Kebhinnekaan”
- Musolli, “Maqashid Syariah : Kajian teoritis dan Aplikatif Pada Isu-Isu Kontemporer”, al-Turats,V, Januari-Juni 2018, hlm. 63
Oleh: Ma’unatul Ashfia