Nuzulul Qur’an adalah tonggak awal bagi kebangkitan peradaban manusia. Mengapa? Karena ayat yang pertama kali turun adalah “Iqra…” bacalah. Ayat tersebut adalah ayat yang mendorong literasi umat manusia. Iqra berasal dari fi’il madhi قرأ yang secara kebahasaan berarti جمع – يجمع yaitu mengumpulkan. Mengumpulkan huruf-huruf menjadi kata, mengumpulkan kata-kata menjadi kalimat, mengumpulkan kalimat-kalimat menjadi paragraf, mengumpulkan paragraf-paragraf menjadi lembaran, mengumpulkan lembaran-lembaran menjadi buku, dan seterusnya. قرأ juga memiliki makna mengkaji.
Membaca berkaitan erat dengan berpikir. Manusia adalah subjek yang berpikir. Terdapat beberapa bentuk lafaz yang bermakna manusia dalam bahasa Arab. Pertama adalah Al-Insan berarti manusia sebagai subjek yang berpikir. Kedua adalah Al-Basyar bahwa manusia sebagai makhluk biologis yang membutuhkan makan, minum, menikah, dan sebagainya. Ketiga adalah An-Nas berarti manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain.
Oleh karenanya Prof. Mustaqim mendorong agar membaca menjadi bagian dari gaya hidup atau life style santri. Sebagaimana muassis atau pendiri PP Al-Munawwir Komplek Q, KH. Ahmad Warson Munawwir juga sosok teladan yang sangat gemar terhadap literasi.
Terdapat 3 hal yang melatarbelakangi Nuzulul Qur’an atau turunnya Al-Qur’an.
Pertama, Rusaknya akidah pada saat itu. Pada zaman umat-umat sebelum Nabi Muhammad, pada dasarnya tauhid sudah ada. Namun kemudian terjadi kerusakan-kerusakan akidah dan tauhid, umat terdahulu menjadi penyembah berhala dan sebagainya. Kemudian Nabi Muhammad menyampaikan Al-Qur’an untuk meluruskan akidah-akidah yang rusak pada saat itu. Bukti bahwa pada dasarnya umat-umat terdahulu sudah bertauhid adalah ayat-ayat yang turun di awal-awal surat Al-Alaq “Iqra bismi rabbika ladzi khalaq” .
Penggunaan lafaznya rabb, belum menggunakan lafaz Allah. Begitu pun di surat Al-Mutdatsir “Wa rabbaka fakabbir”. Baru kemudian menggunakan lafaz Allah pada surat Al-Ikhlas “Qul huwa Allahu ahad”. Akidah yang benar tidak menyamakan Allah dengan mahluknya. Tidak menjadikan Allah dalam bentuk fisik/ jisim sebagaimana para penyembah berhala lakukan. Makhluk dapat kita bayangkan, Allah tidak bisa. Bayangan kita tentang Allah, ketahuilah itu bukan Allah. Tafakkuru fi kholqillah wa la tafakkuru fi dzatilah. Berpikirlah tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah.
Kedua, rusaknya akhlak pada saat itu. Al-Qur’an datang untuk memperbaiki akhlak umat, untuk menanamkan akhlak-akhlak Qur’ani. Karena Nabi Muhammad datang sebagai role model atau sebagai teladan dari akhlak-akhlak yang mulia. Innama buitsu liutamima makarimal akhlaq. Sebagai santri tentunya harus memiliki akhlak-akhlak yang mulai. Cium tangan kepada orang tua, menggunakan tutur kata dan bahasa yang baik, berlaku dan bersikap dengan baik, beribadah dengan baik. Karena dengan begitu santri sedang berdakwah bil hal atau berdakwah dengan tindakan.
Ketiga, rusaknya sistem sosial pada saat itu. Al-Qur’an kemudian hadir dalam rangka memperbaiki sistem sosial yang timpang. Tidak boleh ada orang ataupun kelompok yang terhinakan karena alasan suku, etnis, golongan, dan sebagainya. Semoga kita semua dapat mengambil ibrah atau pelajaran dari peristiwa Nuzulul Qur’an. Aamiin.
Disarikan dari Pengajian Peringatan Nuzulul Qur’an oleh Prof. Dr. Abdul Mustaqim, S,Ag., M.Ag.
Oleh: Hanin Nur Laili