dongkelan

Mengapa Dongkelan?

Diposting pada 793 views
Dongkelan

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata ‘Dongkelan’ ? 

Apakah teringat Masjid Patok Negaranya? Atau teringat Makam keluarga Mbah Munawwir?

Jika ingatan kalian merujuk ke salah satu atau bahkan kedua istilah tersebut, maka simak baik-baik tulisan berikut ini yaa

Pernah nggak sih kalian, sebagai seorang santri Krapyak terbesit pikiran kenapa ya kok pemakaman Mbah Munawwir, Mbah Ali, Mbah Warson, beserta keluarga Krapyak lainnya di Dongkelan? Padahal di sekitar krapyak juga ada pemakaman, misalnya di jalan arah timur dari Panggung Krapyak, atau juga di jalan Dongkelan, yaps. arah ke komplek Q9. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita analisis dulu. Ada apa di makam Dongkelan? 

Baca Juga:  Perjalanan Kamus Al-Munawwir
Sejarah Dongkelan

Keraton Yogyakarta menjadikan Dongkelan satu di antara lima patok negara. Empat patok yang lain, yakni Babadan, Mlangi, Plosokuning, dan Wonokromo. Di setiap patok negara tersebut, terdapat salah seorang yang bertugas untuk menjadi penghulu yang memiliki tugas membimbing masyarakat di wilayahnya. Sri Sultan Hamengku Buwono I, memberikan wilayah Dongkelan kepada Kiai Syihabuddin untuk menjadi penghulu pertama di sana.

Sebelum menjabat sebagai penghulu pertama, Kiai Syihabuddin sempat mendapat janji menjadi posisi patih jika mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa tanpa melukai sedikit pun. Pangeran Sambernyawa merupakan menantu Sri Sultan yang mendapat gelar KGPAA Mangkunegara I karena gelar tersebutlah Sri Sultan merasa kurang nyaman sehingga ingin menyingkirkan menantunya sendiri. 

Singkat cerita, menurut bisikan ghaib yang Sri Sultan peroleh, beliau harus mencari jago wiring kuning putih yang berada di PP. Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Ketika sampai di sana, beliau sowan dan Kyai Al-Kahfi saat itu menunjuk salah satu santrinya, tidak lain tidak bukan yang dimaksud adalah Kiai Syihabuddin. Kiai Syihabuddin menyetujui permintaan sultan dengan dua syarat. Syarat pertama yakni agar dijadikan patih untuk syiar agama dan yang kedua yakni beliau meminjam tombak Kanjeng Kiai Hageng Pleret untuk menjalankan tugasnya.

Baca Juga:  KH Abdul Hamid AQ : Almunawwir Pengemban Tugas Nasyrul Ilmi wad Din

Selanjutnya, terjadilah kesepakatan adu kesaktian antara Kiai Syihabuddin dan Pangeran Sambernyawa. Saat sedang beradu, khodam senjata dari Pangerang Sambernyawa tidak dapat menembus kulit Kiai Syihabuddin, tidak ada luka atau darah setetespun. Kemudian, Kiai Syihabuddin membalas dengan menikam dan membisikkan “pergilah dari sini, mertuamu tidak ingin kau terluka”. Pangeran sambernyawa merasa malu atas kekalahannya, kemudian menceraikan istrinya (GKR Bandara, putri Sri Sultab HB I) dan pergi meninggalkan Keraton.

Hadiah Kemenangan Kiai Syihabudin

Setelah kejadian itu, Kiai Syihabudin menagih janji kepada Sri Sultan agar beliau mengangkatnya sebagai patih. Namun, Tumenggung Yudanegara telah mengisi jabatan patih. Karena merasa bersalah tidak bisa menepati janjinya kepada Kiai Syihabudin, maka Sri Sultan memberikan jabatan pengganti, yakni sebagai penghulu patok negara di wilayah Selatan. Kemudian Kiai Syihabudin pun menjabat menjadi penghulu di sana. Namun, tidak berlangsung lama karena kekecewaan yang beliau rasakan kepada Sri Sultan lalu beliau mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Dengan kekecewaannya tersebut, beliau mendapat julukan Kiai Dongkol karena pelafalan yang berbeda berubah menjadi Kiai Dongkel dan tempat tinggalnya Bernama Dongkelan.

Tidak lama setelah Kiai Syihabuddin menyatakan mengundurkan diri dari jabatan, beliau meninggal dunia. Dongkelan tidak hanya menjadi tempat tinggal beliau saja, tetapi menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi Kiai Syihabudin. Makamnya tepat berada di sebelah barat Masjid Pathok Negara Dongkelan, atau biasa disebut oleh warga sekitar yakni Masjid Nurul Huda.  Masjid yang dibangun pihak Keraton sebagai penghormatan kepada Kiai Syihabuddin karena beliau adalah penghulu wilayah Dongkelan. 

Nah, sudah cukup jelas kan? Di makam Dongkelan terdapat makam keramat yakni sosok kiai sepuh, yang merupakan paku bumi wilayah selatan Yogyakarta. Dikutip dari nu.online, Mbah Munawwir memang ingin pemakamannya di Dongkelan karena mengikuti jejak dari Kiai Syihabuddin dengan alasan nderek mulyo. Atau biasa disebut sekarang dengan istilah  ngalap barokah.

Oleh: Syarifah Zaidah

Sumber:

nu.or.id

Kanal Youtube

telisik.id

jogjadaily

Pictured by wisatabudayaku.sv.ugm.ac.id