Haji adalah rukun Islam yang terakhir. Siapa yang tidak ingin keislamannya sempurna dengan melakukan ibadah haji. Wajar jika di Indonesia, orang rela antri bertahun-tahun. Makna dari sekadar bahasa, berhaji adalah perjuangan tentang betapa susahnya manusia untuk dapat sampai ke Baitullah. Seperti dijelaskan pada QS. Al-Hajj ayat 27 : “dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” Di Indonesia, ayat tersebut bisa menjadi gambaran kondisi nyata bahwa untuk berhaji, orang harus mengantri lama hingga puluhan tahun.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim yang banyak, wajar apabila animo masyarakat untuk beribadah haji begitu tinggi. Selain sebagai sarana pemenuhan ibadah, haji juga merupakan salah satu status yang dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Indonesia.
Sebelum presiden Jokowi berkunjung ke kerajaan Arab Saudi, jatah jamaah haji dari Indonesia berada di kisaran angka 221.000 sementara jumlah pendaftar haji sebanyak 660.000 orang per tahunnya (sumber: https://nasional.kompas.com/read/2019/02/12/14250341/kemenag-rilis-lamanya-antrean-haji-indonesia-sulsel-mencapai-39-tahun). Kondisi tersebut membuat antrian haji semakin panjang setiap tahunnya.
Kunjungan presiden beberapa waktu yang lalu ke kerajaan Arab Saudi—membuahkan tambahan kuota untuk jamaah haji. Kuota yang baru didapatkan wacananya akan ada pembagian 50% diproritaskan untuk orang usia uzur. Sehingga, orang-orang yang berusia lanjut akan lebih didahulukan berangkat ke Baitullah.
Pembagian kuota jamaah tiap-tiap wilayah sudah ditentukan. Tiap wilayah dibagi berdasarkan jumlah penduduk muslim di masing-masing wilayah tersebut. Sebenarnya, ada peluang ketika jamaah suatu wilayah belum memenui kuota yang tersedia, maka dari daerah lain bisa ditambahkan untuk memenuhi kuota yang tersisa di daerah itu. Dari jumlah pendaftar, kemudian didata siapa yang akan diberangkatkan terlebih dahulu ke Baitullah.
Banyaknya jumlah pendaftar jamaah haji dan semakin panjangnya antrian, membuat masyarakat memilih alternatif lain seperti Haji Plus Adanya Haji Plus tentunya akan mempersingkat waktu tunggu untuk berangkat haji, lalu apakah itu termasuk menyerobot antrian yang reguler? Apakah itu akan menjadi zolim?
Menjawab pertanyaa ini, Ustaz Tajul Muluk mengatakan bahwa haji plus tidak bisa serta-merta di-judge sebagai bentuk penyorobotan antrian haji regular yang memang biayanya jauh dibawah haji plus. Haji Plus terdapat areanya sendiri. Jadi, jalurnya sudah berbeda dengan haji regular. Haji Plus memiliki kuotanya sendiri.
“Terdapat ketentuan yang sudah disepakati di Kerajaan Saudi. Tidak dapat dijustifikasi bahwa Haji Plus itu zolim karena ada skala prioritas. Karena, tidak dengan Haji Plus pun orang dapat berangkat ke sana, terlebih ketika diundang oleh kerajaan. Orang sudah pasti tidak perlu mendaftar dan langsung berangkat Haji”, jelas Ustaz Tajul.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk pergi ke Baitullah. Pada dasarnya, ibadah haji adalah ibadah jasadi, ragawi. Ibadah haji merupakan panggilan jiwa. Tinggal bagaimana jalan kita menuju ke sana.
Berangkat ke baitullah bukan perkara uang, tetapi pergi ke sana adalah jawaban ruhaniah ketika Nabi Ibrahim memanggil. Secara historis, setelah Nabi Ibrahim selesai membangun Ka’bah, Allah memerintahkan untuk memanggil seluruh umat manusia untuk berangkat. Tetapi, kata Ibrahim suaranya tidak akan sampai. Maka Allah yang akan menyampaikan. Di situlah, ada ruh-ruh kita yang bahkan belum dapat jasadnya akan menjawab. Siapa yang menjawab saat itu maka mereka akan berangkat.
“Bisa saja tiba-tiba dipilih untuk berangkat. Bukan masalah rencana. Tapi paling tidak ditanamkan dalam hati manusia minimal ingin berangkat haji. Bismillah saja,” terang Ustaz Tajul.