“Rapi bener pake batik, mau kondangan dimana nih?” – netijen.
Pertanyaan di atas tak jarang dilontarkan orang sekitar kita ketika ada orang yang menggunakan pakaian warisan budaya Indonesia tersebut.
Batik sendiri sudah diajukan ke UNESCO sejak era Soeharto sebagai warisan budaya tak benda. Pengajuan itu secara resmi diterima oleh UNESCO pada era SBY, tanggal 9 Januari 2009 di Pekalongan. Kemudian batik resmi dikukuhkan pada 2 Oktober 2009 sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO saat sidang di Abu Dhabi.
Faktanya, batik yang diakui UNESCO hanya ada tiga jenis, yaitu batik tulis, batik cap, dan batik kombinasi keduanya. Padahal kita tahu, kini industri printing dengan motif batik–juga dikenal dengan istilah sablon–mendominasi pasaran sebab harganya yang miring. Tak jarang orang menggunakan printing bermotif batik merasa sudah menggunakan batik, padahal belum, karena batik yang diakui hanya tiga jenis tadi. Lho, kok bisa? Ternyata oh ternyata, batik yang diakui adalah prosesnya.
Proses membatik itu panjang, diawali dengan membuat pola, canting atau menebali pola dengan canting yang dicelup malam panas, pewarnaan, ngelorot atau menghilangkan malam, kemudian dikeringkan. Jika semua proses itu ada, barulah bisa disebut batik.
Hampir semua siswa di Pekalongan pernah mempraktekkan proses pembuatan batik ini. Tak jarang ada tangan yang ketetesan malam panas ketika proses canting. Setidaknya dengan adanya praktek ini, siswa siswi di kota dengan slogan “World’s City of Batik” tersebut, mengetahui bagaimana proses pembuatan batik.
Kehadiran batik lambat laun dilirik oleh Cina. Negara yang menyebut dirinya sebagai ‘liyi zhi bang’ atau negeri norma dan susila tersebut mengaku memiliki budaya yang sama dengan Indonesia, batik. Menurut Novia Basuki, sebaiknya Cina menggunakan istilah ‘laran’ daripada batik karena memang ada budaya laran di Cina yang mirip dengan budaya batik dalam suku Jawa di Indonesia.
Bisa jadi, di negara lain juga ada kebudayaan yang mirip dengan batik namun menggunakan istilah berbeda. Hmm menarik. Namun, hal yang lebih menarik adalah kepedulian warga +62 yang meningkat drastis ketika ada sesuatu yang akan lenyap alias akan diklaim oleh negara lain.
Hal ruwet ini terjadi ketika kita jarang menggunakannya, tidak peduli keberadaannya, lebih bangga dengan produk-produk luar, tetapi ketika sudah mau diklaim baru mencak-mencak. Jika mengaku bangga maka gunakan, dan pastikan dibalik kerah bajumu tak ada tulisan “Made in China” ya :p
Oleh: Ipi
Foto: pinterest.com