Buku Penyimpan Goresan Harapan

Diposting pada

Jarum jam dinding di kamarku menunjukkan pukul empat. Walau pandanganku masih samar-samar, kubuka tirai jendela berwarna hijau toska itu. Pagi yang belum menampakkan batang hidung sang surya membuat aku bernostalgia termenung mengingat sesuatu semasa sepuluh tahun yang lalu. Tiba-tiba teringat begitu saja akan sejuknya pagi di saat itu…

***

“Hmm.. kurasa untuk kali ini bangun pagi membuat pikiranku lebih segar.” Gumamku dalam hati.

Kuusap wajahku yang masih membekaskan lusuh di setiap guratan kulitnya. Aku sadar, hari ini masih banyak tugas yang harus dituntaskan dan memang sangat menggunung. Namun, entah kenapa semangat tiba-tiba hadir dalam benakku. Sekali lagi aku berusaha mengedarkan tiap sudut pandangan untuk melihat beberapa kertas yang tersebar di meja belajarku. Untung saja ini masih pukul empat, jadi tidak ada salahnya aku mengerjakannya. Jujur saja, untuk menyelesaikan tugas-tugas dari guru yang berbeda mata pelajarannya sangatlah mudah, asalkan jika kalian tidak menemukan soal matematika yang berderet panjang tulisannya milik dari seorang guru yang bernama Bu Ranti. Aku tak mengerti mengapa Bu Ranti memberikan soal semudah yang beliau pikir siswanya akan berhasil mengerjakannya. Hahaha… itu hanya ekspektasi beliau saja, namun nyatanya siswanya selalu mendapatkan nilai yang kurang beruntung terutama aku.

Sudahlah, benar-benar aku mulai menyerah menghadapi soal matematika yang kejam itu. Akhirnya kuputuskan untuk melangkah menuju kamar mandi dengan semangat yang telah surut sehabis menelan mentah-mentah tiap soal matematika yang tak kutemukan sama sekali jawabannya. Seusai mandi,  aku bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Namun, ketika aku akan pamit kepada ibu, beliau mencegatku dengan sebuah pertanyaan.

“Asa, ibu kemarin melihat kertas ulangan matematikamu di meja belajar. Jujur, ibu sangat kecewa dan kaget karena kamu hanya mendapatkan nilai 30. Kenapa nilai matematikamu tidak pernah bagus, Nak? Ada apa sebenarnya?”

Pertanyaan ibu dengan nadanya yang tinggi layaknya orang marah benar-benar membuatku tersentak. Ya Tuhan, betapa cerobohnya diriku ini. Kemarin mengapa tak kusimpan nilai ulanganku itu di map tempat biasanya aku menyimpan nilai-nilai rahasiaku. Dan saat ini terbongkar lagi kelemahanku terhadap pelajaran eksak itu.

Saat ini, aku benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaan ibu dan hanya dapat menunduk malu serta takut yang tidak dapat kusembunyikan lagi dari raut wajahku. Ibu nampaknya memang kecewa atas hasil yang aku raih karena setiap beliau melihat nilai mata pelajaran yang diampu oleh Bu Ranti dua tahun berturut-turut, pasti ibu hanya bisa geleng-geleng kepala dan tidak berkomentar apapun. Namun, kali ini mungkin ibu sudah lelah melihat nilaiku yang tak meningkat itu dan inilah puncak kemarahannya.

“Asa, sekarang terserah kamu mau bagaimana karena seharusnya kamu sadar kalau kamu sudah SMA kelas 2 dan nilai-nilaimu nanti akan berguna untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi.”

Kulihat ibu bergegas pergi meninggalkan aku sendirian di ruang tamu seusai memberi penyataan tadi. Rasanya tak ingin berlama-lama aku berdiri di ruang tamu ini, segera saja aku pun berlalu meninggalkan semua kekesalan ini dan pergi beranjak ke sekolah dengan menumpang bus umum.

Sesampainya di sekolah, aku bertemu dengan salah seorang karibku, Mina. Dia sudah sejak SMP selalu ada untukku dan menjadi tempat untuk meluapkan segala perasaanku, begitu pun sebaliknya. Namun, aku dan Mina tidak sekelas semenjak SMA ini. Aku kelas XI MIA 1, sedangkan Mina kelas XI IIS. Walaupun begitu, kami tetap menjaga komunikasi dengan baik dan sering bertemu. Kali ini, ingin sekali rasanya menceritakan apa yang telah terjadi tadi pagi kepadanya, tetapi Mina beserta teman-teman yang lain tampak sibuk mengurus persiapan acara penyambutan siswa studi banding dari Banjarmasin. Buktinya, dia hanya menatapku sembari tersenyum layaknya ingin menunjukkan bahwa dirinya sedang sibuk dan tidak bisa diganggu hingga persiapan acara berakhir.

Walaupun dalam hati masih ada rasa yang belum tersampaikan, tetapi biarlah nanti kusampaikan ke Mina jika keadaan benar-benar mendukung. Tidak ingin berlarut-larut menunggu di lapangan, segera saja aku menuju ke kelasku dan ketika aku masuk tepat bel berbunyi dengan nyaringnya. Suasana seisi kelas berubah ketika Bu Ranti memasuki kelas dan seketika menjadi sunyi senyap, semua langsung duduk sesuai bangkunya masing-masing. Ketika itu aku sebangku dengan Rio yang dengan santainya membaca komik dan sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Bu Ranti. Karena aku sadar akan hal itu, maka aku menginjak kaki Rio. “Aduh” keluhnya dengan suara yang agak keras. Seketika itu, semua mata tertuju pada Rio termasuk Bu Ranti. Sebenarnya, aku juga sedikit merasa bersalah kepada Rio atas kejadian tadi, tetapi biarlah ini menjadi pelajaran untuknya karena sikapnya memang tidak menghargai guru walaupun aku tahu Bu Ranti memanglah sosok yang paling disegani seantero sekolah.

Dengan langkah yang mantap, Bu Ranti mendatangi Rio dan sekejap saja merebut komik yang dibaca olehnya.

“Saya tahu kamu tidak suka dengan saya, tapi tolong hargai saya saat mengajar!”

Ultimatum yang beliau lontarkan membuatku tersentak, namun entah mengapa ketika aku melirik ke arah Rio dia terlihat santai dan biasa saja. Setelah itu, beliau berlalu dari bangku Rio dengan membawa komik tadi menuju singgasananya. Mungkin, dalam hati Rio saat ini juga merasa kesal denganku yang telah membuatnya terkena ultimatum hingga Bu Ranti merampas komik kesayangannya. Kulihat Bu Ranti memasukkan komik tadi ke dalam tasnya, lalu menyiapkan buku yang sangat tebal bersampul merah untuk panduannya mengajar. Apalagi jika bukan buku matematika miliknya yang siap merampas pikiran tiap siswanya dengan soalnya yang mematikan. Kupikir beruntung sekali hari ini pada jam pertama pelajaran disuguhkan soal-soal yang dapat membuat mata terbelalak. Benar saja perkiraanku, tak lama kemudian Bu Ranti menyajikan soal tiap soal di papan tulis.

“TOK..TOK..TOK..” tiba-tiba terdengar suara pintu kelas yang diketuk dari luar oleh seseorang. Dalam kondisi saat itu benar-benar menyelamatkanku dari perasaan gundah saat mengerjakan soal matematika dari Bu Ranti. “Ya, silakan masuk,” Kata Bu Ranti. Setelah pintu kelas dibuka, ternyata yang masuk adalah seorang perempuan dengan perawakan tinggi mengenakan seragam putih abu-abu, memakai kacamata berbingkai hitam yang rambutnya digerai sepundak, benar-benar tampilannya sangat rapi layaknya siswa tahun ajaran baru. Perempuan itu ditemani oleh Pak Faisal, guru pengampu mata pelajaran PPKn.

“Selamat pagi anak-anak! Perkenalkan di sini saya bersama siswi studi banding dari Banjarmasin yang akan belajar bersama kalian selama dua minggu. Silakan perkenalkan namamu, Nak.” Jelas Pak Faisal sekaligus memersilakan perempuan itu memperkenalkan diri.

“Selamat pagi semua!! Namaku Dania Danendrasari, biasa dipanggil Dania. Asal sekolahku dari SMA N 1 Banjarmasin. Hobiku membaca buku dan bagiku matematika adalah pelajaran yang paling menyenangkan.Oke, salam kenal semua..”

Sebagian besar anak-anak di kelasku tercengang mendengar perkenalannya tadi. Apa kami  tidak salah dengar? Bisa-bisanya Dania menyatakan secara terang-terangan jika dia  menyukai pelajaran matematika.

“Kamu bicara seperti itu dalam rangka pencitraan kah?” sahut Eno penghuni bangku paling belakang yang tiba-tiba memecah suasana.

“Maksudnya pencitraan? Begini ya, aku memang sejak kecil diajarkan untuk menyukai apa yang tidak aku sukai. Belajar untuk menghargai apa yang banyak orang tak hiraukan.” Jelas Dania.

Seketika semua mata tertuju kembali kepada gadis berkacamata itu. Banyak pula yang mengernyitkan dahi menunjukkan tanda heran apa yang dimaksud oleh anak Banjarmasin itu, tetapi aku tidak seperti halnya mereka. Justru pandanganku terbuka oleh kalimat yang dilontarkannya tadi.

Kemudian, Bu Ranti mencukupkan sesi perkenalan Dania dan memersilakannya untuk duduk di bangku yang masih kosong. Kebetulan, satu-satunya bangku yang kosong itu ada di paling belakang dan bersebelahan dengan bangku Eno. Tampaknya Eno agak kesal dengan keberadaan Dania yang terlihat dari raut wajahnya yang masam ketika Bu Ranti menyuruhnya duduk sebangku dengan gadis penyuka matematika itu. Dalam hati, entah mengapa ada niatan yang menggebu untuk mengenal lebih dalam tentang Dania.

Esok harinya, aku berangkat pagi ke sekolah. Menurutku, aku yang seharusnya tiba di kelas paling awal karena waktu di jam tanganku baru menunjukkan pukul 06.15, ternyata ketika aku memasuki kelas sudah ada Dania yang sedang duduk sembari menatap tiap kalimat yang ada di dalam buku matematika bercetak tebal. Aku mencoba untuk menyapanya walau dia masih saja fokus membaca dan sepertinya dia tidak sadar dengan keberadaanku.

“Hai, Daniaa! Fokus amat sih belajar matematikanya?” sapaku dengan sedikit candaan.

“Eh, iya nih. Nanti bukannya ada ulangan matematika kan? Kamu udah belajar belum? Oh ya, aku sebenernya lupa namamu siapa. Boleh kenalan lagi nggak?”

Sederet pertanyaan yang dilontarkan Dania membuatku tersadar. Aku belum belajar sama sekali untuk ulangan nanti bahkan aku tak ingat jika ada ulangan.

“Aku ingat, kamu Asa kan? Asa, kok kamu melamun sih?”

“Dan, aku belum belajar matematika. Tolong ajarin aku dong, aku nggak ngerti apa-apa.” Sahutku sedikit cemas

Dania kini mengerti kecemasanku akan ilmu eksak itu. Dia tidak menyodorkanku buku matematika, namun menyerahkan sebuah buku kecil bersampul biru tua padaku. Kulihat isi buku itu, tetapi ternyata tidak ada goresan tinta atau pensil sama sekali. Kini, aku benar-benar tak paham apa yang ia maksud.

“Coba kamu tulis dulu harapan apa yang hari ini kamu ingin lakukan.”

“Tapi aku..”

“Sudah, tulis dulu baru nanti aku ajarkan matematika.” Sela Dania

Sesuai perintahnya, aku mulai menulis di buku kecil itu. Kali ini aku menulis harapan yang sama dengan keadaanku saat ini. Semoga hari ini, aku berhasil mengerjakan ulangan matematika. Kalimat itu lalu dibaca oleh Dania juga. Kemudian, dia memintaku untuk menyimpan buku kecil itu ke dalam tasku. Lalu, ia mulai mengajarkan matematika kepadaku layaknya ia mengamini harapanku tadi. Selama 45 menit aku belajar dengannya hingga bel masuk berbunyi, aku merasa benar-benar paham akan materi yang biasanya disampaikan Bu Ranti tidak mengerti kini serasa berbeda. Aku rasa memang tidak salah berteman dengan orang sejenius Dania.

“Semakin banyak kamu tulis harapan di buku itu, aku yakin kamu akan lebih paham akan niatmu dan paham juga bagaimana kamu harus melakukannya jika kamu sehabis menulis,berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai harapanmu itu.” Jelas Dania panjang lebar sembari tersenyum.

Aku semakin bersemangat untuk menjalani hari-hariku apalagi bersama dengan orang yang dapat memberiku solusi untuk keluar dari masalah yang selama ini tidak bisa aku atasi. Buktinya, bukan sulap bukan sihir untuk pertama kalinya aku lolos kkm ulangan harian matematika Bu Ranti dengan nilai yang cukup memuaskan. Tertera di atas kertas ulangan matematika itu aku mendapat nilai 85 dari yang tadinya selalu mendapatkan nilai empat atau lima.

Tidak hanya itu saja, kini di dalam buku kecil pemberian Dania pun sudah kuisi dengan berlembar-lembar harapan dan semuanya sudah kulakukan dengan lancar karena dilakukan dengan sebuah usaha yang tak lepas dari doa dan niat. Sudah selama dua minggu ini aku kurang lebih telah mengisi tiga lembar kertas. Dan saatnya tiba Dania pulang kembali menuju Banjarmasin.

Ketika acara pelepasan siswa studi banding, beberapa kelas memberikan persembahan bagi siswa studi banding yang selama dua minggu telah belajar bersama. Aku pun telah menyiapkan sesuatu untuk Dania.

“Dania, kemari, ku beritahu suatu hal!”

Dania pun lalu mendekat padaku dan aku menyodorkan buku kecil bersampul biru pemberiannya. Kemudian, ku perintahkan ia untuk membuka seekaligus membaca halaman keenam dalam buku itu.

Semoga aku dan Dania dapat bertemu kembali di lain waktu ketika kita berdua telah sukses.

Kami berdua lalu berpelukan untuk yang terakhir kalinya ditengah-tengah banyaknya orang yang masih berkerumun dalam acara pelepasan siswa studi banding dari Banjarmasin.

***

Tak terasa, semua kilas balik yang menggelayuti pikiranku telah meradang selama 60 menit lamanya. Tak ingin menunda lagi, segera saja aku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu lalu sembayang yang di setiap sujud bersimpuh kepada-Nya. Seusai shalat, aku bergegas untuk menyiapkan segala keperluanku untuk bekerja. Namun, sebelumnya ada yang tak boleh terlupakan. Ya, buku kecil bersampul biru tua pemberian karibku, Dania yang masih tergeletak di mejaku. Sebelum berangkat dan memulai hari untuk beraktivitas, kali ini aku membuka buku kecil itu yang selalu kusimpan dan kubawa ke mana saja. Pada halaman keenam, kucoba untuk merayap tatap pada satu titik dimana saat itu kutulis kalimat sakral yang selalu kuharapkan akan terjadi. Satu kalimat itu adalah satu-satunya harapan yang hingga saat ini belum dapat tercapai dari semua harapan yang pernah aku tulis. Mungkin harapan yang kali ini bukanlah sebuah usaha semata, melainkan benar-benar ditentukan oleh tuhan.

Sungguh telah lama aku menghabiskan waktu untuk mengingat kembali semua kenangan ini. Sudahlah, aku serahkan pada Tuhan saja. Pikirku saat ini adalah bergegas menuju tempatku bekerja.

“Selamat pagi, Bu Asa! Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang asistenku saat memasuki ruangan privasi milik seorang dosen matematika ternama di sebuah universitas yang termasyhur seantero jagad.

“Untuk hari ini, apakah ada jadwal meeting sebelum saya mengajar?”

“Ada bu, saya mengingatkan kembali bahwa jadwal hari ini kita kedatangan tamu dari tim dosen Universitas Bakti Negeri pada pukul 10.00 .”

Aku hanya menganggukkan kepala mendengar pernyataan Asri. Sekitar sepuluh menit lagi menuju jam 10.00. Aku segera bersiap untuk meninggalkan ruanganku ini dan bergegas menuju aula kampus. Benar saja, Pak Adam, rektor kampus kami beserta segenap jajaran dosen universitas telah berkumpul untuk menyambut kedatangan tim dosen Universitas Bakti Negeri. Tak lama kemudian, rombongan yang ditunggu datang. Namun, aku melihat sesosok yang wajahnya pernah aku jumpai di dalam rombongan tersebut.

“Selamat datang kepada Rektor Universitas Bakti Negeri beserta tim dosen.” Ucap Pak Adam kepada rombongan tersebut.

Ketika sesi penyambutan yaitu saling berjabat tangan, seseorang yang aku amati sedari tadi mulai mendekat dan tiba saatnya berjabat tangan dengannya. Setelah kuamati, aku terkejut dan aku tak tahu apakah aku salah lihat. Terpampang jelas di samping kanan jasnya terdapat tanda pengenal yang bertuliskan nama Dania Danendrasari.

“Selamat datang Bu Dania, masih ingat saya?” tanyaku sedikit memastikan.

Dia menatapku sejenak sembari tersenyum, lalu tiba-tiba ia memelukku begitu erat.

“Asa, akhirnya kita dapat bertemu sesuai dengan harapan yang kau tulis saat itu.” Ucapnya lirih sambil terisak.

Air mata ini benar-benar tak dapat terbendung lagi. Walau kami dilihat oleh banyak orang penting pada saat itu, kami tetap saja tak menghiraukannya. Akhirnya dari sekian banyaknya harapan yang aku tulis dalam buku kecil itu, semua kalimatnya telah dijabah oleh tuhan. Rasanya aku ingin menulis satu harapan lagi di halaman terakhir buku itu.

Semoga segala momen yang telah terlewati dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam proses pendewasaan diri.

***

Oleh : Aisya Zalfaturrahma

Foto: Toa Heftiba on Unsplash