Dalam Nafas Semu

Diposting pada

Benda persegi panjang itu kubiarkan terus bersuara, menampilkan informasi terkini di berbagai daerah ataupun mancanegara. Sebentar-bentar kupandang dengan tak niat. Sengaja kunyalakan hanya untuk menghalau sepi yang menggema. Sembari tanganku terus asik berselancar di dunia maya “Seorang anak petani, telah sukses mendapatkan banyak penghargaan.” mataku melirik tajam benda persegi panjang yang sedari tadi bersuara.

Mulutku tersenyum sinis, batinku mentertawai suara yang menggema dari benda persegi panjang itu, “Kalau penghargaanpun aku banyak, baru saja seperti itu sudah dibilang sukses.” batinku angkuh. Akupun menjadi penasaran “Apakah tukang becak yang setiap harinya mengayuh penuh dengan peluh di bawah terik menganggap dirinya sukses?”. Akalkupun berkilah lagi “ Apa seorang penajaja jajanan keliling menganggap dirinya sukses?”, “Apa semua orang yang tak memiliki kekayaan berlimpah seperti yang kumiliki menganggap dirinya sukses?”.

Pertanyaan itu terus berputar-putar dikepala, bagaikan benang kusut yang harus kuluruskan. Kakiku pun melangkah di bawah terik menuju perempatan jalan komplek yang menjadi tempat mangkal tukang becak , peluhku mengalir di bawah terik matahari “Ah,,, jika bukan karena ingin memenuhi rasa penasaranku, malas saja aku melakukan ini” gumamku dongkol. Kuhampiri bapak-bapak yang tampak mengibaskan topinya untuk sekedar menghalau peluh dari panas yang dirasa.

Detik terus berjalan, hampir satu jam aku duduk di bawah atap seng yang kurasa semakin membakar kulit. Rasanya peluh yang semakin mengucur dariku tak terasa seperti apa-apa dibandingkan dengan sebuah tamparan telak dan mutiara hikmah yang kuambil hari ini dari tukang becak yang berpenampilan sederhana itu.

Aku melangkahkan kakiku menjauh dari rumah beratapkan seng itu dengan wajah yang sendu dan pikiran menjadi abu. Kutatap rumah paling megah yang berdiri di tengah komplek perumahan ini, tak ada kata yang kurang menurut kesuksesan kebanyakan orang  jika melihat rumahku yang megah ini. Mobil berderet, halaman seluas lapangan, dan pembantu disana-sini.

Perkataan bapak becak tadi terus berdenging dalam akal sehat dan lubuk hatiku.
“Saya sudah merasa sukses Nak,,, walaupun dengan pekerjaan yang seperti ini, karena sukses yang saya tentukan adalah ketika saya dapat memasukkan anak saya di pesantren dan menyekolahkannya hingga jenjang perguruan tinggi. Ada rasa bangga dan bahagia tersendiri dalam hati saya, walaupun hal ini tentunya bukan apa-apa menurut orang lain”.

Kurebahkan badanku sambil menutup mata sejenak di atas ranjang yang terasa lembut.  meluruskan kaki yang kini semakin terasa menegang dalam sayup sepi, mendengarkan dentingan jam yang seakan-akan menjadi musik terindah. Mataku melebar kembali ketika tak mendengar dentingan jam. Rautku masam seketika, emosi menggumpal dalam lubuk hatiku “Oh,,, andai saja menghentikan waktu segampang itu” batinku. Kulirik jam tangan bermerek ternama yang masih melilit di pergelangan tanganku. “Mengapa semua ini terasa hambar” Batinku berkeliat lagi. “Lalu apakah sejauh ini aku melangkah, sudah merasa bahagia ?”

Anganku melayang pada banyaknya waktu dan momen yang telah aku lewatkan bersama orang-orang terdekat dan sekelilingku. Baru aku sadar, selama ini kesuksesan yang kuraih bukanlah standar kesuksesan yang dapat membuatku merangkak bahagia. Menggapai sukses dengan standar paradigma yang ada justru membuatku membusungkan dada ketika telah memenuhi standar paradigma tersebut.

Perspektif orang tentang kesuksesan memang berbeda, namun hari ini kita seperti dijejali oleh paradigma sukses adalah kondisi harta berlimpah, mobil berjejer, berjalan angkuh dalam balutan glamor.

Namun kita tidak bertanya pada diri sendiri, apa kita sudah menentukan sukses dengan pandangan kita, bukan pandangan kebanyakan orang? Kita akan lelah ketika hidup hanya untuk memenuhi pandangan orang lain.

Sudahkah bertanya pada diri, hari ini aku berdiri tegak untuk siapa?

Oleh: Nayasa


Photo by Fotografierende from Pexels