Desember dan Luka

Diposting pada

“Selamat ulang tahun kesayangan ayah Ami dan Bima, panjang umur, semakin dewasa, jangan larut dalam sedih ya,  untuk Ami semoga bisa jadi wanita tangguh seperti ibu ya nak. Bima semoga dewasamu semakin meningkat” Ucap ayah sembari mengecup keningku dan Bima

“Terimakasih ayah.” Sahutku dan Bima sembari memeluknya

“Udah udahh, drama romance nya skip dulu, sekarang tiup lilinnya dong” celetuk Dido dengan membawa kue tart ke hadapan Ami dan Bima.

Make a wish dulu dong Mi, ayuk bareng” tambah Bima

Make a wishnya aku di hati aja ah, nanti kamu nyontek lagi.” Ledekku ke Bima.

“Dih ga kompak ah, nyebelin kamu.” Jawab Bima ketus

Lilin berhias angka 20 tertiup sudah. Suka bercampur duka jelas ada. Hari ulang tahun pertamaku tanpa ibu, tanpa kecupan hangatnya, dan tanpa pelukkan mesranya. Tapi, sudahlah. Diratapi berhari-hari pun tak akan membuat ibu bangkit dari kuburnya lagi. Aku harus tetap semangat menjalani hidup. Bima aja bisa tegar dan kuat, masa aku kalah.

Potongan pertamaku yang dulunya untuk ibu, kini ku persembahkan untuk Dido, dan potongan pertama Bima diperuntukkan pada ayah. Aku sama sekali tak menyangka akan ada kejutan seperti ini. “Dido yang merencanakan ini semua Mi, Ayah mah nurut aja” ucap ayah seolah menjawab pertanyaan dibenakku. “Weeeh iya dong, siapa dulu? Dido si pangeran ganteng yang selalu ada untuk Ami.” Sombong Dido. “Dih songong ih, udah ah udah becandanya, Ami mau ngomong nihh.” Jawabku ketus. “Iya iya sok ngomong atuh neng,” jawab ayah.

“Emmm sebelumnya Ami minta maaf ya karena sempat merepotkan ayah, Bima, juga kamu Do. Ami sempet berontak dan menangis tak terkendali karena kematian ibu. Tapi sekarang Ami sadar, umur Ami sudah berkepala dua, Ami nggak boleh kaya anak kecil lagi, Ami mau kaya Bima yang bisa tegar menghadapi segala ujian Tuhan. Karena Ami inget, ibu dulu pernah berpesan Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan hambanya, dan apapun yang menjadi keputusanNya, baik buruknya, susah senangnya, semua itu pasti sudah diatur sedemikian rupa tanpa cacat. Terimakasih semuanya sudah mau mengerti dan memahami Ami.” Ucapku menahan tangis

“Nah gitu dong, semoga bisa setegar dan sekuat ibumu ya Nak.” Sahut ayah

“Ciee kembaranku udah mulai mikir dewasa wkwkw, ikut seneng deh.” Tambah Bima

“Ibumu pasti tersenyum bahagia Mi lihat kamu yang sekarang, semoga Tuhan selalu menambah kuat iman mu Mi, kuat hatimu juga menghadapi segala ujian dariNya.” Tutur Dido

Usai habis melahap roti dengan kondisi kami yang masih berlumur tepung, kami duduk melingkar di tengah taman. Dengan jari Dido yang lincah memetik dawai gitar, kami bernyanyi bersama menghabiskan malam ini dibawah langit. Bersama kerlip kunang dan paduan suara jangkrik.

Oleh: Syarifah Zaidah