Desember dan Luka

Diposting pada 142 views

Tak terasa malam sudah berganti pagi, matahari pun mulai menampakkan sinarnya. Orang-orang yang dating untuk takziah satu per satu mulai berdatangan dan silih berganti masuk menyolati jenazah ibu. Tak luput juga kawan-kawanku dari kampus dan sekolahku dulu berdatangan untuk menghibur dan menenangkanku.

Tak lama dari itu pak ustaz pun datang. Ia memerintahkan untuk segera mengubur jenazah karena matahari kian meninggi. Jenazah ibupun diangkat dan dibawa ke TPU yang berjarak 1 km dari rumahku. Pelukan Bima dan genggaman tangan ayah menguatkanku, membuatku berusaha lebih keras untuk menahan tangis.

Namun sepertinya, kepergian ibu memang membawa duka mendalam. Langit ikut gelap dan menangis setelah tanah merah sempurna menutup jasad ibu. Suasana haru kembali menyelimuti aku yang tak kuasa lagi menahan tangis,dan Bima yang tiba-tiba meneteskan air mata setelah mencium nisan ibu. Ayah mulai berkaca-kaca menahan tangis di sampingku.

Hujan mulai deras dan tangis pun pecah, tak ada lagi yang sanggup menahan air mata melihat nisan ibu. Ayah dan Bima memelukku erat tak berjarak. Tangisku yang semakin tak terarah dan terpaan kencangnya angin serta dinginnya hujan membuatku tak sadarkan diri. Ayah dan Bima panik karenaku, tak lama dari itu Dido datang dan kebetulan ia membawa kendaraan roda empat. Tak menunggu waktu lama mereka membawaku ke dalam mobil Dido untuk segera pulang.

Sesampainya di rumah ayah menopang tubuhku di ruang tamu dengan baju basah dan tubuh yang masih tak sadarkan diri. Bima berusaha menyadarkanku dengan memberi minyak angin di hidung. Lalu aku tersadar, “dimana aku?” tanyaku heran. “Di rumah Mi, tadi kamu pingsan di makam” jawab Bima.“kalian menggendongku dari makam sampai sini?” tanyaku pada ayah dan Bima sembari beranjak dari pangkuan ayah dengan raut wajah masih samar.  “Ya enggak lah Mi, ada pangeran yang selalu siap sedia untukmu disini” celetuk Dido yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang dan membawa 3 gelas jahe hangat. “Sudah jangan terus-terusan heran. Sana ganti baju, terus balik lagi, sudah ku buatkan jahe hangat spesial. Ayah sama Bima juga ganti dulu aja, sudah ku buatkan jahe hangat juga, biar tamu-tamu pangeran ganteng ini yang handle,” Ucap Dido dengan nada bicara khasnya orang ngapak.

Sontak aku, ayah dan Bima tertawa melihat tingkah Dido. Kemudian kami beranjak ke kamar masing-masing untuk mengganti baju. Aku kembali ke ruang tamu dengan sweater rajut berwarna tosca dengan celana bermotif kotak-kotak berwarna mocca, Bima dengan kaos kesukaanya berwarna abu-abu, dan ayah dengan baju koko bercorak batik warna tosca sama sepertiku. Selalu saja sejak dulu sampai sekarang, perihal fashion aku dan ayah pasti sehati.

Baca Juga:  Dirampas Semena-mena