Siapa yang tak kenal dengan salah satu ulama Ngrukem yang lebih dikenal dengan Sang Penjaga Al-Qur’an yaitu K.H. Nawawi Abdul Aziz, ulama yang lahir pada tahun 1925 M di Desa Tulusrejo, Grabag, Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari KH. Abdul Aziz yang masih keturunan KH. Abu Umar dan Nyai Sabi’ah. Kiai Abdul Aziz menikah dengan Nyai Bandiyah yang dikaruniai 3 keturunan yaitu Hasyim, Nawawi, dan Musfiroh.
K.H. Nawawi Abdul Aziz mengawali proses pendidikannya dengan mengaji kepada ayahandanya, yaitu Kiai Abdul Aziz. Beliau mengaji Al-Qur’an dengan sang ayahnya setiap bakda magrib dan subuh. Selain itu, beliau juga belajar di Sekolah Rakyat dan berguru ke Kiai Anshori untuk belajar ilmu alat dan fiqih.
Setelah empat tahun belajar dengan Kiai Anshori, beliau melanjutkan menimba ilmunya bersama sang kakak ke Pondok Pesantren Lirap Kebumen, Jawa Tengah. Pesantren tersebut terkenal dengan spesialis ilmu gramatika bahasa Arabnya. Di sana, mereka belajar kurang lebih selama dua tahun. Tak sampai di situ saja semangat beliau untuk belajar, beliau melanjutkan tholabul ilminya ke Pondok Pesantren Tugung, Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana, K.H. Nawawi Abdul Aziz mengaji banyak cabang keilmuan, mulai dari fikih, tafsir, sampai tasawuf. Sayangnya, beliau tidak bisa belajar di Pondok Pesantren Tugung Banyuwangi dengan durasi waktu yang lama. Sebab, ketika beliau dengan sang kakak pulang ke kampung, tentara Belanda telah menduduki kota Surabaya. Perang pun terjadi. Akhirnya, K.H. Nawawi Abdul Aziz mengurungkan niat untuk kembali ke Pondok Pesantren Tugung.
Akan tetapi, semangat belajarnya masih terus berkobar. Beliau melanjutkan mencari ilmunya ke pondok pesantren lain. Karena keinginan beliau untuk menghafal Al-Qur’an sangat kuat, sang ayah memberikan arahan agar belajar dari sumbernya langsung ke pesantren yang sangat terkenal kuat kajian Al-Qur’annya. Pergilah beliau ke Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pada saat itu, pengasuhnya adalah KH. R. Abdul Qodir, salah satu putra KH. Muhammad Moenawwir dan Nyai Raden Ayu Mursyidah.
KH. Nawawi Abdul Aziz memiliki hafalan Al-Qur’an sebanyak tujuh setengah juz, dalam waktu tiga bulan. Tibalah pada tahun 1948, Belanda menguasai kota Yogyakarta. Oleh sebab itu, semua santri dipulangkan ke kampung masing-masing. Perang terjadi begitu lama. Baru setelah enam bulan berlalu, Yogyakarta kembali aman. Beliau kembali ke pondok untuk melanjutkan hafalannya sampai selesai 30 juz dalam waktu yang sangat singkat, yaitu hanya 18 bulan.
Prestasi dan perjuangan kehidupan KH. Nawawi Abdul Aziz sangat luar biasa. Akhirnya, KH. R. Abdul Qodir meminta agar KH. Nawawi Abdul Aziz menikahi adiknya yang bernama Walidah Munawir. Dari sinilah “Keluarga Qur’an” terbangun, beliau melepaskan masa lajangnya pada tanggal 28 Agustus 1952 M.
Walaupun KH. Nawawi Abdul Aziz sudah menikah, semangatnya dalam menuntut ilmu masih terus mengembara. Beliau melanjutkan wawasan Al-Qur’annya dengan mengaji Qira’ah Sab’ah di Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, Jawa Tengah, yang langsung belajar kepada KH. Arwani Amin. Adapun istri dan anaknya tinggal di keluarga Krapyak.
Di samping mengaji, beliau juga menjadi juru tulis dan penyalinan naskah di percetakan Menara Kudus. Upah yang didapatkan sebagian dikirim kepada istri dan anaknya di Krapyak. Salah satu salinannya adalah kitab Tafsir Al-Ibriz karya KH. Bisri Musthofa.
Setelah khatam mengaji Qira’ah Sab’ah kepada KH. Arwani Amin, beliau kembali ke kampung halaman di Kutoarjo bersama istri dan anaknya. Di sana, beliau mendirikan madrasah serta menjadi pengajar tanpa meminta upah sedikit pun. KH. Nawawi Abdul Aziz pun mulai terkenal sebagai tokoh alim dalam bidang agama dan Al-Qur’an.
Pada tahun 1961, KH. Nawawi Abdul Aziz beserta istrinya diminta kembali ke Krapyak untuk mengajar Tahfiz Al-Qur’an. Bahkan, beberapa santri di Kutoarjo ikut ke Krapyak. Di sana beliau juga diminta untuk ikut serta dalam seleksi PNS dan bekerja di pengadilan agama Kabupaten Bantul.
Perjalanan dari Krapyak ke Bantul sejauh 10 km. Beliau menuju ke kantor dengan mengendarai sepeda ontel. Ketika pulang, beliau mampir salat Zuhur di Masjid Ar-Ridlo Ngrukem. Bahkan, ketika sangat lelah, beliau menyempatkan sedikit waktu untuk istirahat di masjid itu. Lama-kelamaan, masyarakat mengenalnya sehingga membuat kesepuhan desa kala itu meminta agar beliau menetap di Ngrukem.
Pada tahun 1964, beliau membawa keluarganya tinggal di Ngrukem, dekat Masjid Ar-Ridlo, sambil mengisi pengajian di sana. Lahirlah pengajian umum yang disebut Malem Selasan. Adapun waktu mengaji adalah setiap Jumat pagi dan Senin malam. Selain itu, beliau di sana juga membuka madrasah diniyah.
Singkat cerita, beliau mendapat kepercayaan oleh masyarakat Ngrukem, lalu diberi lahan yang kemudian menjadi cikal bakal Pondok Pesantren An-Nur. Tahun 1978, Pondok Pesantren An-Nur resmi berdiri. Sampai sekarang pondok tersebut telah berkembang pesat dan besar. KH. Nawawi Abdul Aziz wafat pada tahun 2014. Lalu, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh putra-putrinya.
Saat ini, Pondok Pesantren An Nur telah memiliki lebih dari 2000 santri. Jenjang pendidikan telah lengkap, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) untuk pendidikan formal. Sedangkan untuk pendidikan nonformal tersedia Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) dan Madrasah Diniyah Al Furqon. Selain itu, ada pengajian rutin setiap Ahad Pon dan Senin malam. Adapun pengasuh Pondok Pesantren An-Nur saat ini adalah KH. Muslim Nawawi, putra ke-8 dari KH. Nawawi Abdul Aziz dan Ny. Hj. Walidah Munawwir.
–
Oleh: Hasna Arina
Sumber: Buku KH. Nawawi Abdul Aziz oleh Qowim Musthofa dan Ahmad Sangidu
Photo by Qowim.net