Ulama menjadi panutan masyarakat dan sangat berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat. Ulama memiliki peran besar dalam menciptakan karakter masyarakat dalam suatu daerah. Mulai dari masalah agama, moral, dan wejangan- wejangan dalam kesehariannya di lingkungan masyarakat. Sehingga masyarakat sangat mempercayakan segala permasalahan untuk dicari titik tengahnya melalui ulama. Namun, akhir-akhir ini ulama banyak yang mulai terjun ke ranah politik. Sehingga menimbulkan banyak tanggapan dari masyarakat, ada yang pro dan ada yang kontra.
Pro dan kontra ini bahkan dapat menimbulkan permasalahan yang cukup besar. Bagi yang kontra mengatakan bahwa ulama seperti penasehat saja bagi pemerintahan, tidak perlu terlibat langsung dalam perpolitikan. Sedangkan bagi pihak yang pro mempercayai bahwa apapun yang dilakukan ulama adalah baik. Hal ini menimbulkan adanya perang argumen antar dua pendapat di masyarakat, bahkan sampai menghina satu sama lain.
Selain itu, pada musim perpolitikan ini sering terjadi pertengkaran di antara masyarakat karena berbeda pilihan presiden. Semakin mendekati hari pemilihan semakin panas pula kegaduhan. Banyaknya provokasi, fitnah, adu domba, bahkan berita hoax akan menjadi masalah besar di berbagai media. Media sosial yang semula untuk membagikan hal-hal baik kini sudah beralih menjadi sarana saling membenci. Sayangnya hal tersebut bukan hanya sekadar di media sosial, bahkan di dunia nyata pun sahabat dekat bisa saling benci hanya karena urusan politik. Hal yang sangat disayangkan adalah kebencian yang dikarenakan politik telah sampai di dalam masjid.
Seperti yang kita ketahui bahwa masjid adalah tempat ibadah bagi umat muslim. Tempat yang akan memberikan rasa damai bagi siapa saja yang masuk. Dan tempat yang memberikan ruang kepada seseorang untuk dekat dengan Tuhannya. Namun, di beberapa tempat, masjid digunakan untuk urusan politik, dan menyebarkan kebencian.
Banyak cerita tersebar di media sosial yang mengatakan bahwa beberapa masjid telah meneriakkan kebencian pada khutbah Jum’at. Tentu banyak orang yang tidak nyaman akan hal tersebut, sehingga banyak orang yang meninggalkan masjid sebelum khutbah selesai. Banyak orang berfikir bahwa mereka berniat untuk melaksanakan sholat Jum’at agar hati tenang, damai, dan mendengarkan khutbah yang menyejukkan tapi jika yang didapat hanyalah amarah, dan kebencian maka hal tersebut tidak akan membuat nyaman.
Sang khotib mungkin lebih paham agama dibanding orang awam, tapi perpolitikan masih menjadi iming-iming bagi siapa saja. Entah itu masyarakat biasa, tokoh masyarakat, ulama, dan petinggi negara bisa saja dibutakan oleh urusan perpolitikan. Kadang musuh jadi kawan dan kawan jadi musuh. Sebagai masyarakat kita harus lebih bijak dalam menghadapi masalah perpolitikan. Kita tidak boleh hanya melihat kebaikan di satu sisi dan hanya melihat keburukan di sisi yang lain. Kita dituntut untuk lebih cerdas dalam memilih siapa yang akan menduduki kursi tertinggi negeri.
Tapi dalam bermasyarakat tidak semuanya paham akan hal seperti ini. Maka dari itu pentingnya edukasi bagi masyarakat untuk tidak menggunakan rumah ibadah sebagai tempat untuk menebar kebencian apalagi dikarenakan politik. Apabila edukasi terhadap masyarakat ini berjalan lancar maka masyarakat sendiri yang akan menghentikan apabila ada oknum atau pemuka agama yang menjadikan tempat ibadah sebagai penebar kebencian, kedengkian, bahkan permusuhan.
Untuk melakukan proses edukasi tersebut tentunya bukan hal yang mudah. Masyarakat sendiri biasanya sudah terlanjur mempercayakan segala sesuatu terhadap pemuka agama. Masyarakat biasanya lebih percaya bahwa pemuka agama lebih mengetahui yang benar dan yang salah. Sehingga tentu harus mengubah pola pikir masyarakat bahwa pemuka agama tidak sepenuhnya benar. Jika pemuka agama meberikan asupan kebencian, bahkan membuat masyarakat saling membenci maka hal tersebut perlu dihentikan oleh masyarakat. Karena seperti yang kita ketahui bahwa agama meberikan rasa damai, jadi jika kita masih saling membenci maka mungkin pengetahuan agama kita masih kurang, mungkin juga pemahaman kita yang salah. Wallahu’alam.
Oleh : Avita Rahmayanti