“Perempuan jika bukan akal dan juga agama yang menjadi pegangannya, maka dia akan menjadi gila sebab perasaannya” – Ning Imaz Fatimatuz Zahra
8 Maret diperingati sebagai International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini sudah dimulai oleh PBB sejak tahun 1975 silam. Menukil dari laman resmi IWD, tahun ini mereka mengkampanyekan #EmbraceEquity atau #RangkulKesetaraan dan kita semua dapat berperan serta.
“Equity isn’t just a nice-to-have, it’s a must-have. A focus on gender equity needs to be part of every society’s DNA”.
IWD berpendapat bahwa kesetaraan bukan hanya bagus untuk dimiliki, tetapi juga harus dimiliki. Fokus pada kesetaraan gender perlu menjadi bagian dari DNA setiap masyarakat.
Ketika kita merangkul kesetaraan, merangkul keragaman, dan merangkul ketercakupan, kita bisa menjalin keharmonisan dan persatuan, serta membantu mendorong kesuksesan bagi semua.
Lalu sejatinya, bagaimana kacamata Islam memandang kesetaraan gender?
Isu kesetaraan gender menjadi salah satu isu terpanas dan kontroversial dalam pemikiran Islam kontemporer. Oleh karena itu, dibutuhkan pengukuhan agar kehidupan kemasyarakatan ini dapat terjaga keseimbangannya.
Mengutip dari kanal YouTube NU Online, Ning Imaz Fatimatuz Zahra membahas seputar isu perempuan ini. Beliau menggunakan istilah “Keadilan Gender”, bukan “Kesetaraan Gender”.
Menurut Ning Imaz, bahasa yang lebih tepat adalah “adil”. Memang pada hakikatnya “setara” tidak melulu berarti “sama”. Namun yang paling dibutuhkan disini adalah keadilan. Mengingat bahwa setiap individu manusia (laki-laki dan perempuan/red) memiliki peran dan tugasnya masing-masing sehingga untuk menuntut kesamaan itu mustahil.
“Laki-laki diciptakan cenderung lebih rasional, dan perempuan diciptakan cenderung lebih emosional. Hal tersebut hendaknya bukan dijadikan tolak ukur penilaian lebih baik atau lebih buruk,” jelas Ning Imaz.
Bukan suatu kekurangan bagi seorang perempuan: memiliki emosional yang lebih mendominasi. Hal tersebut memang Allah SWT ciptakan agar perempuan dapat menjaga keseimbangan dalam kehidupan. Tidak mungkin Allah menciptakan semua orang yang mengedepankan logika (rasional) saja.
Dari tabiat yang berbeda, menimbulkan aturan bahwa laki-laki menjadi pemimpin dan perempuan harus menaatinya ketika sudah dipersamakan. Karena dalam beberapa aspek kehidupan, perempuan diatur untuk patuh terhadap laki-laki (suami atau wali mahromnya/red). Itu merupakan perintah Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan dan keseimbangan.
Jika perempuan menuntut setara, sama artinya melawan fitrah. Namun kembali lagi, setara bukan berarti tidak berhak untuk mendapatkan keadilan. Kalaupun sekarang perempuan merasa terdiskriminasi karena dianggap makhluk kedua, lemah (inferior), terbatas, hendaknya tidak perlu melawan dengan menggembor-gemborkan, “sebetulnya perempuan tidak selemah itu”.
Ning Imaz berpesan bahwa perempuan hanya perlu membuktikan bahwa kita pun memiliki kompetensi yang dapat dipertanggungjawabkan, mampu diadu, dan berhak dipercaya. Perempuan bisa melakukan hal-hal lebih dari stigma negatif yang dibebankan kepadanya.
Dalam ranah-ranah sosial yang mengharuskan perempuan berkiprah seperti pendidikan, pemanfaatan ruang publik, dsb ketika perempuan mumpuni dalam hal tersebut, hendaknya diberi kesempatan yang baik dan adil agar tugas-tugas kemanusiaan dapat tertunaikan lebih bijak. Karena perempuan tidak hanya sibuk di ranah domestik rumah tangga, namun juga berhak memiliki kiprah di ranah publik menunjukkan eksistensinya.
Seperti halnya Sayyidah Khodijah, Istri Rasulullah SAW. Beliau memiliki aktualisasi diri yang baik, berkarir, mandiri, seorang perempuan yang memiliki kesibukan dan nilai dalam hidupnya. Beliau tak hanya menjadi ibu rumah tangga, namun berkiprah juga di masyarakat, beliau Sayyidah yang terhormat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan tidak perlu menginginkan kesetaraan. Menuntut kesetaraan agaknya kurang bijaksana, yang harus diperjuangkan lagi dan lagi adalah keadilan. Supaya kehidupan tetap berjalan secara seimbang dan signifikan, nilai syari’at tetap satu jalur dan tidak memaksakan hal yang sudah di-nash-kan dan di-ijtihad-kan oleh ulama Ahlussunnah Waljama’ah.
Kita sebagai perempuan hanya perlu mengaktualisasikan diri dalam hal-hal yang bermanfaat dan ma’ruf karena memang sudah ada contohnya, Sayyidah Khodijah.
Oleh : Siti Shofia Latifah Az.
Sumber :
Pictured by Dainis Graveris on Unsplash