Pesantren Vs Keadilan Gender #1

Diposting pada
Aku moco koran sarungan, kowe blonjo dasteran…”

Teman-teman pasti sering dengar kata-kata kesetaraan gender, bukan? Persoalan terkait gender seperti tidak ada habisnya untuk dibahas. Meski sebagian orang mengatakan isu gender sudah usang, tapi menurut saya penting bagi santri untuk memahami keadilan gender.

Apa sih sebenarnya gender itu?

Yang perlu digarisbawahi, definisi gender tidak sama dengan jenis kelamin ya. Laki-laki dan perempuan. Bukan, tidak begitu Hyung. Gender adalah konstruksi sosial tentang perbedaan laki-laki perempuan, dan bukan sesuatu yang bersifat biologis. Perbedaan gender adalah perbedaan yang yang dibangun secara sosio-kultural, baik perbedaan status, sifat, peran, maupun tanggung jawab laki-laki dan perempuan.

Lebih mudahnya, gender adalah identitas seseorang dalam proses bersosialisasi dengan masyarakat. Perbedaan gender dibangun dan dilanggengkan oleh masyarakat kita sendiri.

Baca juga Kalau Saya Perempuan, Memangnya Kenapa?

Misalnya gini, istri (perempuan) itu tugasnya masak, macak, dan manak. Laki-laki harus kuat, ndak boleh menangis. Perempuan yang pulang malam mendapat penilaian negatif. Laki-laki adalah kepala rumah tangga. Belanja ke pasar adalah tugas istri. Seperti cuplikan lagu di atas yang hilih banget.  

See? Siapa yang membangun penilaian begitu? Masyarakat kita sendiri. Siapa yang melanggengkan? Kita sendiri.

Nah, selain dalam dalam lingkup masyarakat, bias gender juga banyak terjadi dalam lingkup pesantren, atau dalam tanda petik teks agama (al-Qur’an dan Hadis). Saya bilang bias karena, al-Qur’an dan Hadis menggunakan bahasa Arab yang menggunakan system gender, membedakan laki-laki dan perempuan (huwa dan hiya). Berbeda dengan bahasa jawa yang lebih terpengaruh oleh system social (turu, tilem, sare). Selain itu, penyebab bias gender dalam teks agama salah satunya adalah konteks turunnya al-Qur’an yang sangat kental dengan nuansa patriarki. Di situlah, al-Qur’an sebenarnya sedang mengkritik budaya patriarki Jazirah Arab.

Maha Suci Allah dari kesalahan memilih bahasa.

Kesalahan dalam memahami al-Qur’an yang hanya berpedoman pada terjemah, akan membawa pada pemahaman agama yang salah. Ujung-ujungnya mengunggulkan satu pihak laki-laki, dan menomorduakan perempuan. Ini tentu saja bertentangan dengan ajaran agama dalam misi kemanusiaan.

Pesantren vs gender

Ada begitu banyak contoh teks agama, yang kalau tidak kita pahami lebih lanjut akan membawa kita pada ketimpangan gender.

Misalnya, ayat ar-Rijaalu Qowwamuna ‘alannisaa’. “Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan.”

Atau ada lagi, pemimpin perempuan akan membawa kehancuran negeri.

Pesantren sebagai tempat belajar agama, tentu juga dekat dengan isu gender karena sangat kental dengan budaya patriarki. Kira-kira, bisa tidak ya citra itu hilang dari pesantren? Kenapa saya bilang penting bagi santri untuk memahami keadilan gender?

Bersambung

Oleh : Maunatul Ashfia

Editor : Hab

Photo by Markus Winkler on Unsplash