Satu Muharam sebagai tanda pergantian tahun Hijriyah atau juga bertepatan dengan satu Suro bagi masyarakat, khususnya Jawa. Bukan sebuah kebetulan, tapi memang kalender Jawa yang mengacu penanggalan Hijriyah. Konon ceritanya penanggalan ini diterbitkan oleh Mas Rangsang atau lebih dikenal Sultan Hanyokrokusumo pada awal abad ke 17, tepatnya ia adalah raja ketiga dari kerajaan Mataram Islam.
Latar belakangnya sebagai pendiri Mataram Islam yakni Ki Ageng Pemanahan yang merupakan keturunan Majapahit, dengan budaya kerajaan yang masih sebagian besar dipengaruhi oleh agama Hindu tak mengurangi semangat juang Sultan Hanyokrokusumo untuk menyebarluaskan paham agama Islam. Dengan tetap menggunakan adat yang ada, Sultan pun berhasil mengkombinasikan penanggalan Hijriah dengan penanggalan Hindu/Saka yang masih dianut oleh masyarakat pedalaman beragama Hindu Kejawen. Maka dari itu, satu Suro dianggap sebagai hari sakral bagi masyarakat Jawa karena merupakan munculnya keputusan penting di Kerajaan Mataram Islam.
Anggapan negatif pada malam satu Suro ini pada hal-hal yang berbau mistis dalam pandangan masyarakat atau yang kerap kali disebut “klenik” selalu saja dihubungkan dengan ilmu hitam. Klenik masih saja dianggap berbahaya dengan alasan melanggar hukum, norma susila dan juga agama, seakan-akan Islam dan Jawa itu dua entitas yang terpisah. Padahal sejak adanya Islam sebagai agama dengan akulturasi budaya Jawa, banyak melahirkan seni dan kebudayaan, seperti adanya bangunan masjid, tarian-tarian, dan berbagai macam perayaan ritual keagamaan.
Menelisik lebih jauh tentang ritual malam satu Suro/satu Muharam yakni dengan adanya perayaan ritual Topo Bisu Mubeng Benteng yang dilakukan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Topo bisu diambil dari Bahasa Jawa yang artinya yakni diam tanpa bicara, sedangkan mubeng banteng artinya mengelilingi pusat. Ritual ini dimulai pada malam hari, dari Alun-alun Utara melewati jalan Kauman, jalan Wahid Hasyim, Pojok Benteng Kulon, Gading, Pojok Benteng Wetan, melalui jalan Brigjen Katamso dan berakhir di Keben Kraton.
Saat ritual ini berlangsung, tidak boleh ada satupun kata ataupun suara yang keluar dari mulut peserta agar selalu “mubeng”, selalu intropeksi diri selama menjalani waktu dalam satu tahun sebelumnya. Mengelilingi keraton sendiri dimaknai sebagai bentuk eksistensial manusia dengan Penciptanya. Atau dalam dimensi sosiologis dimaknai sebagai interaksi kemanunggalan antara raja dan rakyatnya yang harus menyatu bersama dalam hal keagamaan, dan gotong royong. Inti dari ritual ini yakni manusia dituntun untuk mengenal dirinya dengan jalan zikir, agar ingat selalu dengan Sang Pencipta dan selalu terjalin baik hubungannya. Inilah yang disebut Sangkan Paraning Dumadi.
Tak jauh dari itu, di Keraton Kasunanan Surakarta pun memiliki ritual khusus, yakni Kirab Kebo Bule mengawal pusaka Keraton. Kebo bule ini sangat dikeramatkan karena menjadi salah satu pusaka paling penting di Keraton Surakarta. Pada mulanya karena saat Sri Susuhunan Paku Buono II ingin mencari lahan baru untuk keraton, beliau mempercayakan pada kebo bule pemberian Kyai Slamet. Akhirnya dilepaslah kebo tersebut dan berhenti disebuah desa bernama Desa Sala yang saat ini disebut Kota Solo dengan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai istana kerajaannya.
Sangat kontras dengan perayaan Masehi yang gegap gempita, pesta kembang api diujung timur sampai barat, bahkan berpesta pora dengan kawan sebaya atau dengan anggota keluarga. Tahun baru hijriyah ini justru diisi dengan aktivitas intropeksi diri dalam suasana hening khas tradisi Nusantara. Umumnya diisi dengan membaca al-Quran, berdzikir, dan berdoa.
Doa yang terdiri tak hanya sebagai pembuka awal tahun, tetapi juga ada Doa Akhir Tahun yang dibaca sebanyak tiga kali setelah shalat asar dan Doa Awal Tahun yang dibaca tiga kali setelah shalat maghrib. Manfaat amalan ini menurut KH. Sholeh Darat bagi pembacanya adalah terhindar dari godaan setan sepanjang tahun, karena Allah menganugerahkan dua malaikat yang menjaga.
Pada bulan ini pun Tuhan membuka luas rahmatNya, dengan tujuan agar manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan rahmat itu. Diantaranya yakni dengan adanya puasa pada sepuluh hari pertama bulan Muharam, perbanyak sedekah, mempererat tali silaturahmi, menjenguk orang sakit, menyantuni anak yatim, dan banyak lagi kebaikan yang Allah lipatgandakan kebaikannya di bulan Muharam ini.
Perlu diingat dan harus selalu diperhatikan ya, di masa pandemi seperti ini yang mau berpuasa tetap jaga asupan makanan yang baik, yang hendak ziarah atau menyantuni anak yatim juga tetap selalu patuhi protokol kesehatan nggih…
Selamat Tahun Baru Hijriyah 😊
Oleh: Syarifah Zaidah
Foto oleh Svetlana Ponomareva dari Pexels
Referensi:
https://etnis.id/makna-malam-1-suro-bagi-orang-jawa/
https://geotimes.co.id/opini/tradisi-suro-dalam-perspektif-islam/
https://phinemo.com/menelisik-sejarah-peringatan-malam-satu-suro-di-tanah-jawa/