Beberapa tahun lalu saat aku pulang dari rantau beberapa tetangga sedikit menggunjingiku. Mereka bilang kerja sudah lama tapi tidak ada hasilnya, masih seperti itu saja. Sejak hari itu aku bertekad untuk bekerja lebih keras lagi, itu sebabnya sudah tiga tahun ini aku tak pernah pulang.
“Hehehe.. nggeh …nggeh mak”, kataku pada beliau.
“Kabeh iki wis ono sing ngatur, ora usah kakehen dipikir. Sing penting usaha karo dungone ora tau pedot, urusan hasil ben gusti Allah sing ngatur”, nasihat mak padaku.
“Cah ayu…iki kabeh ora bakal digowo mati, ora iso nulungi aku lan awakmu. Mbesok nek wes ora ono ning dunyo, sing iso nulungi mung Gusti Pangeran”, lanjut nasihat beliau
“Mulo kerjomu kudu diniati kerono Gusti Pangeran, ben berkah. Wong sugih ki kalah karo wong berkah nduk”.
Aku hanya mangguk mangguk saja sembari menggenggam tangannya erat. Tak berani menatap wajah lembut beliau.
***
“Rin…..bangun….Rin…..udah subuh…”, teriak mb surti
Aku terbangun karena teriakan Mbak Surti, sekaligus masih mencerna mimipi kali ini yang terasa begitu nyata. Ahh...perasaan seorang ibu memang tak pernah bisa diragukan. Sepertinya aku harus segera mengambil cuti.
“Kamu kenapa??”, tanya Mbak Surti.
“Gak papa mbak.” Jawabku masih seperti orang linglung.
“Gak papa gimana, kamu kelihatan gelisah gitu kok!”, Mbak Surti memastikan.
“Aku mimpi mak ke sini mbak barusan”, jawabku kemudian.
“Elalah…kamu kangen banget mesti sama ibumu, kan udah lama belum pernah pulang kan?”, tanya Mbak Surti.
“Iya mbak”, jawabku.
“Ya udah, mumpung hari ini libur sekalian aja izin pulang kampung, ibumu pasti senang anaknya pulang”, saran Mbak Surti.
“Iya mbak, aku juga mikir gitu. Ya udah, aku mau sholat dulu ya sekalian mau siap siap.”
“Iya”, jawab Mbak Surti.
***
Pagi ini aktivitasku sedikit berbeda. Biasanya sudah mulai mengutak-atik mesin aki dan kawan kawannya. Kali ini aku sedang duduk menikmati permadani hijau dari dalam kereta yang melaju hendak membawaku pada sang pemilik rinduku. Sedikit senyum tersunging dari bibirku tanpa sadar. Membayangkan wajah mak yang akan selaku cantik di mataku, membayangkan lezatnya masakan beliau, dan cerita-cerita menarik selama kami tidak bertemu.
Pukul empat sore aku sampai di rumah. Kulihat mak sedang menyapu halaman. Perlahan kuhampiri beliau dengan mata berkaca-kaca dan tubuh yang gemetar. Aku ucapkan salam lalu lekas memeluk beliau erat. Tidak ada kata yang mampu aku ucapkan. Hanya sedikit isak sebagai tanda betapa bahagianya aku bisa melihat mak yang masih amat sehat. Tak banyak bicara mak hanya menjawab salamku, lalu memintaku lekas masuk.
“Sebilah rindu telah cukup menyakiti batin sang perindu
Seuntai senyum dan sedikit peluk yang tulus, telah mampu mengobati pilu
Dalam dekap dan nasihat yang tak henti terucap, aku selalu tenang menjalani hidup
Cintanya yang seluas samudera, kasihnya yang tak pernah habis
Akan selalu membuatku mantap menatap masa depan
Ucap terima kasihku tak cukup membalas segala pengorbanan dan perjuanganmu
Namun, aku selalu berdo’a agar Tuhan selalu memberikan kesempatan yang tiada henti
Untukku, agar bisa mendoakanmu untuk selalu menemaniku.”
Oleh: Silfi Ainunnisa
Photo by vivek kumar on Unsplash