Tantangan Menjadi Santri Sekaligus Mahasiswa?

Diposting pada 62 views

Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q merupakan pondok pesantren khusus putri yang berdiri pada tahun 1989 oleh K.H. Ahmad Warson Munawwir, sang penulis kamus Al-Munawwir. Pondok pesantren dengan jenjang pendidikan tidak hanya untuk santri pelajar, namun juga untuk santri mahasiswa.

Memasuki era digitalisasi modern, timbul suatu keresahan yang dialami oleh santri khususnya santri mahasiswa Komplek Q. Perlu diketahui bahwasanya mayoritas dari santri Komplek Q adalah mahasiswi. Sehingga, yang menjadi keresahannya adalah tantangan menjadi santri pesantren yang sekaligus menjadi mahasiswa di perguruan tinggi.

Tantangan-tantangan yang dialami seperti manajemen waktu, manajemen intelektual bagaimana cara mengkombinasikan ilmu-ilmu yang didapat ketika menjadi santri pesantren dan ilmu-ilmu umum yang didapat ketika menjadi mahasiswa di perguruan tinggi. Serta melihat pergaulan dalam perbedaan budaya dan tradisi ketika di pesantren maupun di kampus.

Baca Juga:  Seminar bersama Gus Rifqil dan Ning Imaz

Maka, pada acara Seminar Keputrian dan Kepemimpinan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q kali ini akan membahas mengenai keresahan tersebut. Yakni tentang tantangan menjadi santri sekaligus menjadi mahasiswa dengan narasumber luar biasa, Gus Rifqil Muslim Syuthi.

Perihal menjadi santri sekaligus mahasiswa, tentunya hal ini sangat kental oleh santri Al-Munawwir Komplek Q yang mayoritasnya adalah mahasiswi sekaligus mahasantri. Gus Rifqil tidak mendikotomikan ataupun mengklasifikasikan ilmu duniawi dan ilmu ukhrowi dengan dasar:

من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم…الخ

“Barang siapa ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia, dengan ilmu. Pun juga dengan akhirat, juga sama, dengan ilmu.”

Dalam hal ini beliau mengatakan bahwa santri Komplek Q berada di tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan dibimbing oleh orang-orang yang tepat. Bagaimana tidak? Sanad keilmuan Komplek Q sangat luar biasa, pun dengan peninggalan dari sang pengasuh, K.H. Ahmad Warson Munawwir yang terbukti dimana-mana.

Hal ini mengembangkan mindset masyarakat yang seharusnya terkait pesantren, bahwa pesantren menjadi jawaban dari keresahan masyarakat. Dulu ada kecenderungan bahwa anak mondok itu karena keterpaksaan. Bahkan ada kalimat, “Nek kowe nakal, tak pondokkke.” (kalau kamu nakal, saya masukkan pondok). Sehingga pesantren itu terkesan menjadi tempat buangan.

Baca Juga:  Talkshow 'Mencintai Perbedaan' Ajak Santri Mengisi Media Digital

Namun berbeda dengan Krapyak. Gus Rifqil melihat bahwa santri Krapyak itu semuanya bahagia, tidak ada keterpaksaan untuk belajar. Hal ini juga didukung dengan pesantren yang memfasilitasi segalanya. Maksudnya adalah dimana santri bisa mondok saja, atau menghafal Al-Qur’an saja, bahkan mau sambil kuliah pun bisa. Tidak hanya santri seusia mahasiswa, tetapi pondok pesantren di Krapyak terdiri dari jenjang sekolah dasar (MI), menengah (MTs), dan atas (MA).

Seiring berkembangnya zaman, anak kecil meminta kepada orang tuanya untuk dipondokkan bahkan ada juga yang request tempat pesantren. Dalam artian, kini kesadaran santri untuk mondok jauh lebih tinggi. Maka dengan berada di pesantren akan lebih aman dengan tunjangan ilmu-ilmu begitupun di tempat lain seperti kampus.

Dalam melakukan segala sesuatu pasti ada batasan-batasannya. Baik di pondok pesantren, kampus, maupun di tempat umum lainnya pasti ada batasan-batasan tertentu. Lingkungan pondok berbeda dengan lingkungan kampus.

Di pondok, khususnya Komplek Q hanya ada santri putri. Untuk menghindari percampuran antar lawan jenis (Ikhtilat) itu sangat mudah. Namun berbeda halnya ketika di kampus. Dalam satu kelas terdapat mahasiswa dan mahasiswi. Belum lagi ketika mendapatkan tugas kelompok yang hanya beranggotakan dua orang, perempuan dan laki-laki. Di sinilah batasan itu menjadi sangat penting.

Baca Juga:  Dialog Santri: Optimalisasi Media Dakwah Pesantren

Di pondok sebagai santri, semua mendapatkan ilmu agama. Di kampus sebagai mahasiswi, semua juga mendapatkan ilmu umum. Keduanya seimbang, tinggal bagaimana mengakulturasikan keduanya. Bagaimana mempertahankan adab santri di tengah kampus, bagaimana mempertahankan sikap kritis mahasiswi di pondok, tetapi tetap menjaga adat yang berlaku di kedua lingkungan tersebut.

Maka demikian, kita sebagai seorang santri sekaligus mahasiswa, tidak layak untk mendikotominasi antara ilmu umum dan ilmu agama. Karena kedua ilmu tersebut memiliki kedudukan masing-masing. Begitupun ketika seorang santri telah mengetahui batasan-batasan tersebut, maka akan dapat memposisikan diri selayaknya santri berada.

Sehingga, dalam keresahan tentang tantangan menjadi santri sekaligus menjadi mahasiswa nantinya kembali pada masing-masing pribadi yang menjalankannya. Apakah mereka yang menjadi santri dan mahasiswa dapat menyeimbangkan posisi dirinya, menyeimbangkan ilmu-ilmu yang didapat, maupun menyeimbangkan hal-hal lain yang mungkin berkesinambungan.

Semua itu dapat diawali dari niat. Niat yang ditata dengan baik nantinya dapat menciptakan mindset yang positif. Seperti pada hadist:

إنَّما الأعمالُ بالنِّيَّاتِ وإنَّما لِكلِّ امرئٍ ما نوى

“Segala amal perbuatan itu tergantung niatnya. (Balasan) bagi setiap orang itu (tergantung) apa yang diniatkan”

Semoga dengan niat menjadi seorang santri sekaligus menjadi mahasiswa, Allah beri kemudahan dan kelancaran dalam ia menjalankan niatnya tersebut. Tak hanya santriwati Komplek Q, tetapi untuk seluruh santri baik yang sekaligus menjadi mahasiswa maupun tidak dengan niat baik untuk menimba ilmu-ilmu nya Allah.

 

Redaktur: Zia Zahra Hudaya dan Salsabila Amany Putri

Foto: Arsip Media Komplek Q