Di sebuah desa, terlahirlah seorang putri cantik. Fahma Tasniyah nama putri kecil itu. Para warga sering memangilnya dengan sapan Fahma. Keluarga Fahma termasuk keluarga yang kehidupannya amat penuh kesederhanaan. Para warga terkesima kepada keluarga pak Darman. Walaupun sederhana dan pas-pasan, keluarga pak Darman tetap membantu tetangganya yang sedang membutuhkan bantuannya.
“Assalamualikum wr.wb, ucap pak Udin. “Walaikumsalam wr.wb, owh mang Udin, mari silahkan masuk. “Saya panggilkan bapak dulu ya mang”, ucap Bu Khotim. “Iya bu”, jawab mang Udin. Ibu Khotim pun meninggalkan mang Udin di ruang tamu untuk memangilkan suaminya yang sedang sibuk mengarap sawah di belakang rumah mereka.
“Pak..Pak”, pangil bu Khotim. “Iya bu, ada apa?”, ucap pak Darman. “ada mang Udin pak, sepertinya ada perlu yang sangat penting”. “Iya, bapak segera ke ruang tamu. Mau bersih-bersih badan yang kena keringat dahulu”, jelas pak Darman.
Sambil menunggu sang suami berganti pakaian yang berbau keringat dan terbalut oleh tanah-tanah hasil pengarapan sawah, Bu Khotim membuatkan teh hangat untuk mang Udin dan sang suami. Usai menjamu tamu, bu Khotim melihat ke kamar putri kecilnya. Ternyata Fahma sedang tertidur pulas, menikmati hari liburnya.
Sedangkan pak Darman berbincang-bincang mengenai permasalahan yang sedang di hadapi oleh keluarga mang Udin. Mang Udin menceritakan kronologi masalah yang sedang ia hadapi. “Jadi begini pak, dengan masalah yang ada, saya membutuhkan pekerjaan. Saya siap jika hanya menjadi tukang kebun pak”, pinta mang Udin.
Pak Darman meminta pendapat bu Khotim. Bu Khotim pun mempersilahkan suaminya, untuk membantu mang Udin. Dengan mempertimbangkan pendapat sang istri, pak Darman menerima mang Udin sebagai pekerja di rumahnya. Namun pak Darman tak menjanjikan gaji yang besar untuk mang Udin. Karena keadaan keluarga mereka juga sederhana. Sebisa mungkin pak Darman membantu tetanganya.
“Mang, saya dan istri saya bisa menerima mang Udin sebagai pekerja di rumah saya. Tetapi saya tidak menjanjikan gaji ynag besar”, jelas pak Darman. “Iya pak, saya hanya perlu menabung dari hasil pencarian sehari-hari. Saya tak meminta gaji yang besar. Terserah bapak saja mau memberi berapa”, ujar mang Udin dengan wajah melasnya. “Baik mang, kalau begitu besok sudah bisa langsung bekerja mang”, ucap pak Darman. “Iya pak, sebelumnya terima kasih banyak pak”.
Sesudah mang Udin berpamitan kembali menuju rumahnya. Pak Darman dan istrinya menuju ruang makan. Pak Darman sedang asyik menikmati singkong rebus makanan kesukaannya. Sedangkan bu Khotim menuju kamar putrinya.
“Pagi Fahma, sapa sang bunda kepada putri kecil kesayangannya. Usai memandikan Fahma, bu Khotim mengajaknya sarapan bersama sang suami. “Fahma duduk dekat ayah ya nak, ibu mau buatin susu kesukan Fahma”, perintah bu Khotim.
Fahma yang masih duduk di bangku kelasa 2 SD, masih begitu polos menjawab. “Iya ibu”, jawabnya dengan suara lembutnya. “Fahma hari ini kenapa tidak sekolah?”, tanyak pak Darman. “Sekolahnya libur yah, karena masih di pakai buat ujian UN”, jawab Fahma. Waaupun ia masih kecil, Fahma sudah di ajarkan sikap peduli oleh pak Darman dan bu Khotim. Serta selalu di perhatikan perkembangan putri kesayangannya.
Dengan berjalannya waktu yang silih berganti, Fahma meranjak menuju kedewasaannya. Saat ini Fahma harus berpisah dengan Ayah dan ibunya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah SMP. Fahma tak dapat menolak keinginan ayah handanya. Namun Fahma msih tetap merajuk kepada ibunya. “Fahma, ayah ingin kamu melanjutkan sekolah SMP di mana ayah dan ibu sekolah.di sana sudah negri nak, apalagi ada nenek yang akan menjagamu di sana”, ujar pak Darman. “Ayah kenapa Fahma harus sekolah di sana, kenapa dengan sekolah di daerah sini yah?”, tanya Fahma. “Di sana banyak saudara-saudara ayah nak, jadi belajar kamu bisa terkontrol. Supaya kamu tak sering main seperti dulu. ingat nak dengan cita-cita awal Fahma apa. Jangan sampai Fahma tak mewujudkan cita-cita itu. Ibu dan ayah di sini berjuang buat Fahma. Jadi Fahma jangan menyia-nyiakan kepercayaan dan perjuangan ayah ya nak”, jelas pak Darman kepada putrinya.
Keesokan harinya, Fahma menemui ibu yang sedang menjahit. “Ibu, fahma mau ngomong bentar dengan ibu”, ujar Fahma. “Mau bicara apa nak, ibu siap mendengarkannya”, jawab bu Khotim. “Bu, kenapa ibu ngak belain Fahma buat sekolah di sini. Fahma ingin jaga ibu yang selalu bekerja siang malam. Dan ingin tinggal bareng ayah dan ibu”, jelas Fahma dengan menitikan air mata.
“kenapa Fahma nangis, Fahma dengarkan ibu nak, ayah melalukan itu demi kebaikan Fahma. Agar Fahma tidak terganggu sekolahnya. Ayah dan ibu di sisni bekerja untuk Fahma. Jadi Fahma tidak usah kuwatir dengan ibu dan ayah”, ujar bu Khotim. “Ibu jahat, kenapa ibu juga belain ayah. Kenapa keinginan untuk memisahkan Fahma dengan kalian sangat kuat”, ujar Fahma.
Fahma berlari menuju kamarnya, dengan salah paham mengenai tujuan ayah dan ibunya. Fahma pun berangapan kalau ibunya tak sayang lagi seperti dulu kepadanya. Sedangkan bu Khotim mengejar Fahma menuju kamarnya. “Fahma sayang, buka pintunya nak”, ujar bu Khotim. “Ngak mau, ibu juga jahat seperti ayah. Ibu tidak sayang lagi seperti dulu sama Fahma. Ibu ingin Fahma pindah dari rumah ini”, jawab Fahma.
Rasa panik mulai mengeluti perasaan sang ibu. Bu Khotim terus mencari cara, untuk menjelaskan ke Fahma mengenai maksud suaminya tersebut. “Fahma, ayuk nak keluar dulu. nanti ibu akan jelaskan”, ujar bu Khotim.
Sebelum membangunkan putrinya, bu Khotim menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya. Usai menyiapkan segalanya, bu Khotim menuju kamar Fahma, untuk membangunkan dan bersiap-siap kesekolah agar pengambilan pengumuman kelulusannya tidak telat. Fahma yang masih marah dengan ibundanya, ia tak memandang ibunya. Ia langsung berlari menuju kamar mandi.
Tak lama kemudian, pak Darman menuju ruang makan. Pak Darman binggung melihat sang istri yang duduk sendiri dengan wajah sangat sedih. “Bu kenapa pagi-pagi sudah sedih, apa ini ada sangkut pautnya dengan Fahma?”, ujar pak Darman. “Iya pak, ibu binggung akan menjelaskan dengan putri kita. Dia berangapan kalau kita tak sayang lagi seperti dulu. apalagi ia mengira, kalau ibu tidak sayang lagi yah. Padahal seorang ibu tak kan terputus sayangnya kepada anaknya”, jelas bu Khotim.
Pak Darman berusaha menenagkan sang istri yang sedang bersedih melihat anaknya yang berubaha drastis ketika mengetahui akan di sekolahkan di daerah mertuanya. “Bu jangan terlalu di manjakan. Biarkan dia sediri dulu, toh nanti jika sudah tenang, dia akan menemui kita. Fahma akan memasuki masa remajanya bu, jadi tak salah jika kita akan melatihnya untuk mandiri, agar tak bergantung dengan orang tua”, ujar pak Darman.
Mendengar kata-kata sang suami, bu Khotim mulai reda dari rasa kesedihannya. Ia mulai memangil Fahma untuk sarapan. Namun harus menghadapi sikap diamnya. “Fahma, ayuk turun nak. Kita sarapan bareng, sudah di tunggu ayah”, ajak bu Khotim.
Dengan wajah manyun dan tertunduk, Fahma menuju ruang makan. Sampai di ruang makan, ia segera meminum dan memakan roti hidangan ibunya. Pak Darman tersenyum-senyum melihat putrinya sedang ngambek. “Fahma masih marah sama ayah dan ibu?”, tanyak pak Darman. Fahma tetap terdiam, seakan-akan masih memperlihatkan sikap marahnya. Tetapi ada sang bunda yang selalu mengarahkan sikap sopan santunnya terhadap ayahnya.
“Anak ibu ko gitu, kalau di tanyak ayah, harus menjawab nak”, ujar bu Khotim. “Iya bu, Fahma ngak marah sama ayah, hanya kecewa sama ayah dan ibu. Kenapa ayah dan ibu menyuruh Fahma SMP di sekolah ayah dulu”, jelas Fahma.
Pak Darman dan bu Khotim mulai menjelaskan kepada putrinya secara pelan-pelan, agar Fahma memahami maksud dari kedua orang tuannya. “begini nak, ayah mulai penjelasan mengenai kenapa kamu di sekolahkan di sana. Agar kamu belajar mandiri. Jadi kalau kamu tinggal di nenek, kamu bisa belajar mencuci sendiri, masak, bantuin nenek, dan lain-lainnya. Kalau masalah biaya sudah ada ayah dan ibu yang menangung nak. Kamu hanya berjuang belajar yang serius dan angan pernah merepotkan orang lain, selagi kita mampu melakukan sendiri nak”, jelas pak Darman.
Tibalah hari yang di nanti-nanti, Fahma bersiap-siap untuk berangkat ke rumah neneknya yang berada di daerah yogyakarta. Fahma tampak gembira, ia sudah dapat menerima penjelasan dari sang ayah dan ibu mengenai perihal mengapa ia di sekolahkan di yogyakarta. Beda dengan bu Khotim yang tampak sedih, harus berbisah denga putri satu-satunya selama beberapa tahun nantinya.
“bunda, Fahma berangkat dulu ya. Bunda harus jaga kesehatan, jangan melembur terus-menerus ya bu”, ujar Fahma. “Iya nak, Fahma juga baik-baik ya di rumah nenek. Jangan merepotkan nenek, dan rajinlah belajar ya nak”, jelas bu khotim.
Usai bepeluk-pelukan, Fahma dan pak Darman memulai perjalanannya menuju ke rumah orang tua pak Darman yang ada di dareah jogja. Beberapa jam kemudian, mereka sampai di rumah nenek Hindun. Kedatangan mereka sangat di sambut begitu ramah oleh keluarga-keluarga besar pak Darman. Apalagi seorang nenek yang begitu rindu dengan cucunya yang bertahun-tahun belum pernah di temuinya.
Bebreapa hari kemudian, pak Darman harus meninggalkan putri kesayangannya, karena harus melanjutkan pekerjaannya di rumah. Fahma tak menunjukan sikap sedihnya. Ia tak ingin melihat pak Darman sedih dan tak tega meningalkannya. Fahma mulai akrab dan mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar di lingkupan desa neneknya. Hari demi hari ia jalani, sehingga tak terasa bahwasannya Fahma sudah dua tahun lebih berbisah dengan orang tuanya. Fahma yang selalu menahan rasa rindu yang begitu lama ia pendam. Hanya ia luapkan melalui telpon, itu pun tak tiap hari.
Suatu hari, Fahma terpilih menjadi peserta lomba membaca puisi yang harus mewakili sekolahnya kejenjang kabupaten. Jika ia memenangkannya, Fahma akan berlanjut ke jejang berikutnya. Fahma ingin sekali bertemu ibu dan ayahnya, sebelum melangsungkan perlombaannya. Ia ingin meminta do’a restu.
Namun, kesibukan yang sedang di alami oleh pak Darman dan bu Khotim, membuat niatan khotim ingin pulang pun tertunda. Telpon yang tak dapat di hubungi membuat Fahma bersedih kembali. Fahma sempat berfikir, bahwasannya ayah dan ibunya sudah tak sayang seperti dulu. Ia tampak menyendiri, sehingga membuat sang nenek ingin menghiburnya.
“Fahma, kenapa di luar nak. Cuaca malam ini sangat dingin, nanti Fahma sakit”, ujar nenek Hindun kepada cucunya. “Biarin nek, ibu sama ayah jahat sama Fahma nek. Kenapa mereka sampai sekarang belum menghubungi Fahma, apa mereka terlalu sibuk dengan pekerjannya sehingga lupa sama putrinya. Atau mereka sudah tak sayang dengan anaknya”, ujar Fahma.
“Husst Fahma, kenapa Fahma berfikir seperti itu nak. Tak mungkin seorang ayah dan ibu lupa dengan anaknya. Mereka bekerja buat Fahma juga. Apalagi ibu, tak mungkin ibu tega melupakan anaknya karena pekerjaannya. Ibu sangat sayang dengan Fahma. Kasih sayang seorang ibu dengan anaknya tak ada batasnya nak”, jelas nek Hindun kepada cucunya.
Malam ini semakin larut malam, Fahma tak mudah memejamkan mata. Ia harus menjatuhkan air mata yang tak dapat ia tolak. Fahma selalu ingat pesan ibunya, yang harus kuat, serta tak boleh berprasangka buruk terhadapnya. Fahma segera menyaut foto bunda dan ayahnya yang terletak di meja belajarnya. Fahma selalu mendekap foto ibu dan ayahnya. Sehingga ia mulai mengantuk hingga memejamkan matanya.
Drink..drink..drink.., suara jam beker Fahma berbunyi. Fahma pun terbangun, ketika melihat jam yang menunjukkan pukul 03.30. Fahma menuju dapur untuk mengambil segelas air. Usai meminum air segelas, ia mengambil air wudhu. Lalu melangsungkan shalat berjama’ah bersama kakek dan neneknya. Kebetulan ia sudah ada janji dengan kak sepupunya , yang akan mengajaknya berkeliling desa.
Datanglah Farhan untuk menjemput adik sepupunya. “Assalamualaikum, Fahma…nenek”, pangil Farhan. “Iya nak, masuk dulu sisni. Fahma masih sarapan dulu. Sebelum pergi, nenek suruh sarapan dahulu. Agar tidak sakit perut”, ujar nenek. “Iya nek, Farhan siap menunggu nek”, jelas Farhan. “Oya, Farhan tidak sarapan dulu??”, tanyak nenek kepada Farhan. “Udah nek”, ujar Farhan.
Tak lama kemudian, Fahma datang menemui kak Farhan dan nenek yang bercengkrama di ruang tamu. “Hay kak Farhan, maaf ya agak lama”, ucap Fahma. “Iya, tak apa-apa. Lagian masih jam segini, belum terlalu panas”, jelas Farhan.
Farhan meminta ijin kepada nenek, untuk mengajak cucunya berkeliling desa. “Nek, Farhan mau mintak ijin untuk mengajak Fahma berkeliling desa”, ujar Farhan. “Iya nak, tapi pulangnya jangan kesorean. Terus jaga Fahma ya Han, dan jangan lupa shalatnya”, pesan nenek. “Iya nek. Kalau gitu, Farhan dan Fahma pamit dulu ya nek”, ujar Farhan.
Mereka memulai perjalanan menuju air terjun yang sangat terkenal di desa mereka. Sampai di sana, Fahma begitu bersemangat berlari menuju air terjun itu. Fahma terhibur sesaat. Ketika menuju jalan pulang, Fahma ingat ayah dan ibundanya di rumah. Sampai saat ini, mereka belum menghubungi neneknya, untuk berbicara dengannya. Farhan tak kuasa melihat kesedihan yang sedang melanda adik sepupunya.
“Dek, kenapa melamun?, bapak sama ibu pasti akan menghubungi kamu dek”, ujar Farhan. “Iya kak, mungkin ibu masih sibuk. Sehingga belum sempat menelpon Fahma”, ucap Fahma. “Iya dek, itu tahu”, ledek Farhan. Tak terasa mereka sampai di rumah. Farhan dan Fahma menuju ruang tamu.
Ketika sampai di ruang tamu, Fahma melihat nenek sedang bercengkrama di telpon. “Nek, lagi telpon sama siapa?”, tanyak Fahma. “Eh, cucu nenek sudah pulang. Ini ibu kamu cu, nih ibu mau bicara dengan mu”, ucap nenek. Di berikanlah telpon nenek kepada Fahma. Fahma merasa senang mendengar suara sang ibunda. Dengan semangat, Fahma memri kabar mengenai perlombaannya kepada sang ibu. Namun ibunya hanya menjawab seadanya. Bu Khotim tak menampakan rasa bahagianya di telpon. Sehingga Fahma merasa kalau ibundanya tak sayang seperti dulu di waktu ia masih kecil.
“Fahma”, pangil bu Khotim. “ Iya bu”, jawab Fahma. “kenapa diam nak, oya tadi ayah menitipkan salam buat kamu”, jelas bu Khotim. Iya bu. Bu sudah dulu ya, Fahma mau latihan buat lomba”, ujar Fahma. “Iya nak, semagat anak ibu”, ucap bu Khotim. Fahma memberikan telponnya kepada neneknya kembali. Nenek dan bu Khotim melanjutkan percakapan mereka. “Bu, jangan beri tahu Fahma, kalau saya dan ayahnya akan ke tempat ibu. Biar menjadi kejutan untuknya d saat mau lomba nanti”, jelas bu Khotim. “Iya nak, ibu siap menjaga semua rencana kalian”, ucap ibu mertuanya.
Esok, ialah hari yang menegangkan buat Fahma. Fahma merasa belum maksimal latihannya. Namun melihat dukungan yang di berikan kepadanya, dari nenek, saudara-saudaranya, dan teman-teman, muncullah semangat yang tinggi pada dirinya. Tetapi Fahma masih mengharapkan ucapan semangat dari ayah dan ibundanya.
Saat Fahma sedang menyelesaikan sarapannya, nenek memangilnya, untuk segera ke kamarnya. “Fahma, coba lihat di meja belajar kamu nak, ada titipan dari seseorang buat kamu”, ujar nenek. “Dari siapa nek?”, tanyak Fahma. “Coba saja di buka nak, nanti kamu akan tahu sendiri mengenai barang itu pemberian dari siapa”, jelas nenek. “Baik nek, terima kasih nek”, ucap Fahma.
Fahma begitu semangat membuka bingkisan untuk nya. Begitu di buka, Fahma tampak teharu melihat kado dari sang ibu. Serta berisikan surat yang membuat Fahma menjatuhkan air mata. Ternyata selama ini, ibundanya sibuk membuatkan baju untuk pentas puisinya. Saat ia tengah bersedih, masuklah sang nenek. “sudah nak, cucu nenek kan sudah cantik buat lomba, kenapa menangis?”, tanyak nenek. “Fahma sedih nek, ternyata bunda sibuk membuat kostum buat Fahma. Fahma kira, bunda sudah tak sayang seperti dulu. tetapi sayang nya bunda sangat kuat buat Fahma. Fahma sadar, walaupun bunda dan ayah tak datang, tetapi do’a mereka sudah cukup buat Fahma”, ujar Fahma.
Nenek hanya tersenyum, karena semua rencana sang bunda buat Fahma, nenek mengetahuinya. Namun nenek telah berjanji tak akan memberitahu kepada sang cucu. Fahma dan nenek, bersiap-siap untuk menuju lokasi lomba. Sang kakek tak dapat menyaksikan lomba cucu perempuanya, karena ada urusan pekerjaan yang harus di kerjakan.
Sampai di tempat lokasi, banyak saudara Fahma yang menyaksikan lomba puisinya. Fahma melihat ke arah kanan dan kiri, ia berharap ada keajaiban. Keajaiban seperti ibundanya yang menghadiri perlombaannya. Fahma terus berdo’a. Namun Fahma mengerti kesibukan orang tuanya, sehingga Fahma hanya dapat berharap saja.
Perlombaan sudah di mulai, Fahma mendapatkan nomor urut terakhir. Semua peserta berjumlah 25 peserta. Fahma sempat berbisik kepada sang nenek, mengenai penampilan peserta yang lain. Fahma sampai terkesima dengan penampilan peserta-peserta lombanya. Menurut Fahma, penampilan peserta lain sangatlah luar biasa. Ia merasa, penampilannya nanti tak sebagus mereka-mereka.
“Nek, penampilan mereka bagus-bagus. Fahma jadi takut kalau penampilan Fahma tak sebagus-sebagus mereka”, ujar Fahma. “Nak, kenapa harus takut. Fahma kan belum mencoba, menang kalah itu nomor belakang nak. Fahma harus mencoba, jangan menyerah gitu aja, sebelum mencoba”, jelas nenek. “Iya nek”, jawab Fahma.
Tibalh giliran Fahma, ia tampak ragu-ragu ketika naik ke atas panggung. Selalu melihat arah di mana tempat penerimaan wali peserta. Awal untuk memulainya, Fahma memperkenalkan diri, kemudian ia menyatakan untuk siapa puisi yang ia buat. Fahma membuat puisi itu dengan judul bunda. Pastinya untuk ibundanya yang selalu bekerja keras.
Fahma begitu menghayati dalam membaca puisi yang ia buat. Suasana saat itu, begitu mengharukan. Ketika Fahma terseguk dalam tangisnya, sang bunda muncul dengan melambaikan tangan dan memberi semangat. Fahma begitu bahagia melihat sang bunda yang sedang berdiri di dekat neneknya. Namun, Fahma tak melihat sang ayah.
Usai penampilan dari Fahma, seluruh peserta di wajibkan untuk naik ke atas panggung. Pengumuman kejuaraan akan segera di umumkan. Fahma begitu tegang. Namun ia tersenyum dengan melihat ke arah sang bunda. “Baiklah para penonton dan peserta, akan segera kita ketahui siapakah 3 peserta yang akan menjadi juaranya. Untuk 3 peserta yang memenangkan perlombaan ini, akan berlanjut ke jenjang berikutnya”, jelas amsi lomba.
Pembawa acara, sudah mengumumkan juara ketiga dan kedua. Namun belum tercantum nama Fahma. Fahma mulai menundukan kepalanya, Ia sadar dengan penampilannya yang kurang maksimal. Namun penilaian juri, tak seperti dirinya. Juri memutuskan juara satu jatuh pada dirinya.
“Baiklah penonton, ini detik-detik yang semakin menegangkan. Kita akan mengetahui, juara pertama jatuh pada peserta nomorrrrr…., nomor 25. Sebagai peserta terakhir, atas nama Fahma”, ucap pembawa acara.
Fahma tak menyangka. Usai menerima piala dan hadih sederhana. Fahma berlari menuju arah sang bunda, nenek, dan saudara lainnya. Seluruh keluarga, sangat bangga dengan Fahma. Sangat banyak ia terima ucapan selamat dari saudara, teman, dan nenek. Tak terlewatkan dari sang bunda dan ayah. “selamat ya putri ibu yang cantik. Maaf kan bunda yang tak memberitahu mengenai hal ini. Bunda dan ayah sangat sayang dengan Fahma. Bunda sengaja membuat kejutan buat Fahma”, ujar bu Khotim. “Iya bun, Fahma paham. Maafkan Fahma juga, yang telah berkata mengenai kasih sayang bunda ke Fahma. Ternyata sanyang bunda beguitu besar buat Fahma. Oya bun, kenapa Fahma belum melihat ayah. Bukanya ayah ikut?”, ujar Fahma.
Belum sempat terjawab, sang ayah memberi kejutan dari arah belakang. “Hayoo, putri ayah, lagi binggung cari siapa?”, ledek pak Darman. “ayah”, ujar Fahma dengan dekapan yang erat. “selamat ya nak, ayah bangga sama Fahma yang begitu semangat untuk blajar dan mengikuti lomba ini. Oya nak, sekarang sudah tahu kan, kalau sayang bunda sama Fahma tak ada batasnya. Bunda begitu bersemangat untuk menyaksikan perlombaan Fahma”, ucap pak Darman.
Usai saling melepaskan rasa rindu, keluarga pak Darman dan bu Khotim, memutuskan untuk pulang ke rumah. Sampai di rumah sang nenek, Fahma tak melepas dekapanya kepada sang bunda. Fahma memberikan hadia itu untuk sang bunda. “bunda terima kasih, sudah menjadi bunda terbaik untuk Fahma. Fahma sadar, akan kasih sayang bunda yang begitu besar untuk putrinya. Selain itu, sanga bunda ke Fahma tak ada batasnya. Keluarga pak Darman telah menikmati liburan bersama dengan bahagia.
Oleh : Hamba Allah