Sudah bukan rahasia lagi bahwa HIV/AIDS merupakan virus yang berbahaya dan mematikan karena virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Terlebih, sampai detik ini dunia medis masih belum menemukan pengobatan yang dapat menyembuhkan infeksi HIV secara efektif. Ironisnya lagi, selain menanggung beban derita fisik, pasien pengidap HIV juga harus menerima beban secara mental. Mengingat masyarakat umum masih memberikan stigma negatif terhadap pasien, menyalahkan pasien karena sembrono, bahkan tak jarang menganggap pasien menerima kutukan atau karma. Hal inilah yang kemudian memperburuk kondisi kesehatan pada pasien pengidap HIV/AIDS.
Pasien terinfeksi virus HIV juga manusia
Tidak ada seorangpun menginginkan dirinya terinfeksi virus HIV. Terlepas dari perilaku buruknya di masa lalu—yang menyebabkan terinfeksi virus mematikan itu, seorang pasien tetaplah manusia. Mereka juga memiliki harapan untuk hidup seperti manusia pada umumnya. Mereka juga ingin berkomunikasi, bergaul dengan teman, dihargai, dan mendapatkan banyak cinta terutama dari orang-orang terdekatnya. Akan tetapi, pada praktiknya pasien pengidap AIDS justru menerima cibiran dan dikucilkan dari masyarakat, bahkan dijauhi oleh orang terdekatnya. Sikap seperti ini justru membuat pasien kehilangan hak-haknya sebagai manusia, yakni hak untuk untuk hidup dengan layak dan aman.
Bagaimana jika pasien pengidap AIDS adalah orang tersayang?
Selain perasaan takut tertular, masyarakat juga menjauhi pasien terinfeksi karena mereka tidak memiliki ikatan secara langsung, baik lahir maupun batin. Hal ini juga menjadi alasan masyarakat bersikap acuh karena tidak adanya perasaan memiliki dan takut kehilangan. Lantas bagaimana jika yang menjadi pasien adalah kerabat, keluarga, kekasih, dan orang-orang tersayang? Akankah orang-orang tersebut juga diacuhkan?
Manusia cenderung memberikan penilaian buruk terhadap sesuatu karena belum mengenal dengan cukup baik, termasuk pandangan terhadap pasien pengidap HIV/AIDS. Akan tetapi, jika pasien tersebut adalah orang-orang tersayang pasti akan sedikit berbeda. Hal itu bisa terjadi karena adanya kepercayaan, perasaan memiliki, dan takut kehilangan. Meskipun tetap menjaga jarak atau interaksi dengan pasien, setidaknya kita akan memberikan bantuan secara mental dan emosional. Seperti support, perhatian lebih, waktu dan tenaga, serta materi. Sikap yang demikian akan memberikan kebahagiaan dan bisa membantu kondisi pasien lebih stabil.
Stop stigma negatif pada ODHA!
Dilansir dari fk.ugm.ac.id Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS memiliki target dunia 2020 yang disebut 90-90-90. 90% ODHA mengetahui statusnya, 90% ODHA mendapatkan terapi antiretroviral (ARV) secara berkelanjutan, dan 90% ODHA yang sudah mendapatkan terapi ARV kadar virus di tubuhnya sudah tersupresi. Salah satu hal yang penting untuk mencapai target ini adalah stop stigma pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Baca juga Prinsip Dalihan Na Tolu dalam Kepemimpinan
Sebagai bentuk solidaritas kepada pasien pengidap HIV, WHO menetapkan 1 Desember sebagai peringatan Hari AIDS Sedunia. Peringatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dunia akan bahaya terinfeksi virus HIV.
Peringatan Hari AIDS Sedunia 2021 mengusung tema “Akhiri ketidaksetaraan, akhiri AIDS, Akhiri pandemi”. Tema ini berfokus menyerukan kepada masyarakat dunia untuk bersatu menghadapi ketidaksetaraan terhadap pasien AIDS dan mengakhiri pandemi. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Perlu adanya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dunia untuk mewujudkan tujuan tersebut. Oleh karena itu, jika di sekitar kita terdapat pasien terinfeksi HIV, alih-alih menghindar kita bisa memilih untuk merangkul mereka. Tentunya dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ada.
Selamat Hari AIDS Sedunia!
Oleh : Dewi Habibah
Sumber:
– tirto.id
Foto oleh Ave Calvar Martinez dari Pexels