Seperti biasa, hari ini aku duduk di lantai tiga sambil menikmati senja di tanah Krapyak yang kata orang senja di sini begitu indah, sambil membawa mushaf Al Qur’an yang telah menjadi sahabatku selama dua tahun belakangan ini. Aku mengingat kembali percakapanku dengan kedua orangtuaku tiga tahun lalu, saat aku sempat bersitegang dengan kedua orangtuaku. Kala itu, seperti biasa kami menikmati makan pagi dengan khidmat.
“Kaila, sebelumnya ayah ingin berbicara denganmu.” Ayah memandangku dengan sangat serius sambil meletakkan sendoknya.
“Iya, Ayah, bagaimana?” Sambil meletakkan sendok, aku memandang Ayah tak kalah serius.
“Ayah dan Mama sudah memikirkan ini selama satu tahun dan kami memantapkan niat akan memondokkan kamu setelah ini.” Aku bagai tersambar petir siang bolong, bagaimana bisa mereka mengambil keputusan sebesar itu tanpa menyangkut-pautkan diriku.
Saat itu aku sangat kecewa, tanpa berpikir panjang aku meninggalkan meja makan begitu saja tanpa berpamitan ataupun meminta persetujuan mereka. Aku berlari ke kamar sambil menutup pintu dengan sangat keras seakan menandakan sebesar itu kemarahanku.
*tok.. tok.. tok..* “Kaila…” sambil mengetuk pintu berkali-kali, Mama menasehati bahwa kesehatanku perlu dijaga, aku harus menghabiskan makananku.
Dengan langkah gontai, aku membuka pintu kamar dengan memasang wajah masam, bagaimana pun aku tak akan membiarkan mama terus-menerus mengetuk pintu kamarku.
“Apa peduli Mama? Ha? Apa? Biarin aku sendiri di kamar!!!” Aku menutup pintu dengan sangat keras, mungkin terdengar kasar tindakanku terhadap Mama, tapi bagaimana pun sekarang aku tengah tidak baik-baik saja.
Di dalam kamar, aku terus-menerus menangis. Bagaimana mungkin mereka bisa mengambil keputusan untuk memondokkan diriku, padahal mereka tahu apa saja planingku dan mereka tahu bahwa pondok tidak termasuk dalam plan listku, apa yang mereka pikirkan, kenapa? Kenapa aku harus dipondokkan, apa kesalahanku sampai mereka berniat memondokkan ku? Tak terasa, sesudah menangis cukup lama aku tertidur. Tengah malam, saat terbangun mataku sudah bengkak seperti digigit tawon dan perutku keroncongan minta diisi, mungkin ini efek dari aku menangis seharian.
Aku pergi ke dapur dengan mengendap-endap agar orang rumah tidak ada yang terbangun, tapi dugaanku salah, ternyata Mama masih terjaga.
“Kaila, kamu sudah bangun, nak?”
“Hmm”
“Mau Mama masakin sesuatu?”
“Nggak perlu.”
“Ayo, duduk dulu, ada yang perlu Mama bicarain ke kamu.”
Dengan langkah gontai, aku ikut duduk di samping mama.
“Mama tau, mungkin hal ini menurut kamu jahat dan egois. Tapi, ini semua untuk kebaikan kamu.”
“Tapi mama kan tau aku punya planning apa. Aku pengen kuliah, Ma, aku pengen ngerasain masa muda aku bareng temen-temenku, aku pengen nongkrong bareng mereka, aku pengen kuliah sama temen-temenku, aku pengen jadi dokter, Ma. Dan Mama juga tahu mondok nggak pernah masuk dalam plan listku,” rasa laparku seketika hilang setelah berdebat dengan Mama. Aku kembali ke kamar sambil membawa rasa kesalku.
Perdebatan itu, membawaku sampai ke lantai tiga gedung ini. Kunikmati kembali senja sore ini sambil memegang sahabat yang tengah aku perjuangkan, walaupun ini bukan inginku. Siang setelah satu tahun lebih dua bulan aku di pondok, tiba tiba ada temanku menghampiriku dengan wajah panik.
“Kaila.. Kaila.. bar ono lek umbah-umbah”
“Ada apa sih, Nafis, kamu kok teriak-teriak panik kaya gitu?”
“Iki berita penting, luwih penting ketimbang baju kotor mu.”
“Coba jelasin, jangan tergesa-gesa gitu, cerita yang jelas”
“Kamu seng sabar ya, La, ayok melu aku. Neng lantai bawah sek.”
“Iyo, sek, aku ameh cuci kaki dulu”
Sesampainya di lantai bawah, Kaila diberi minum oleh Nafis. Ia lalu diajak ke Kantor untuk menemui ustadzah.
“Kaila, yang sabar ya, nak. Kamu pasti kuat dan tabah menghadapi ini semua.”
“Ada apa ini Ustadzah?”
Sambil mengusap bahuku, ustadzah berkata, “barusan kami mendapat telepon dari paman kamu, bahwasannya ayah kamu sampun tindak marang gusti Allah.” Dalam hati aku berkata, “Ya Allah, cobaan apalagi ini.” Aku menangis dalam diam, rasanya aku tidak tahu harus bagaimana lagi, semuanya terasa cepat dan mengagetkan untukku. Bagaimana masa depanku, bagaimana aku bisa berjuang tanpa ada sosok cinta pertamaku, dan banyak sekali pertanyaan yang berputar di otakku. Dengan menahan isak tangis, aku segera izin untuk pulang kerumah.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku terus merenung dan menangis dalam diam, sambil memikirkan bagaimana hari esokku. Aku telah kehilangan orang yang aku sayang, padahal belum sempat aku mengabulkan cita-citanya, belum sempat aku berbakti kepadanya, belum sempat aku mengucapkan kata maaf atas banyaknya penolakan yang aku ucapkan satu tahun lalu. Kenapa engkau meninggalkan diriku tiba-tiba, bahkan belakangan ini engkau sering menelponku sambil bercanda gurau, menanyakan apa saja kegiatanku, apa saja makananku, bagaimana hari-hariku, pertanyaan yang singkat itu yang selalu menjadi penyemangatku. Kenapa engkau pergi di saat aku sudah mulai menerima takdir yang aku jalani saat ini?
Sesampainya di rumah, aku langsung memeluk Mama menumpahkan segala tangis yang sudah aku tahan dari pondok. Aku membiarkan baju mamaku basah dengan air mataku.
“Mama, kenapa? Kenapa Ayah pergi ninggalin kita, Ma? Kenapa? Ayah marah sama Kaila ya, Ma? Kaila bandel banget ya, Ma?” kataku sambil terus memeluk Mama.
Dengan air mata yang terus menetes, Mama mengatakan, “Ayah nggak pergi, nak. Ayah akan selalu tetap di sini (sambil menunjuk hatiku) menjaga kita, menyayangi kita, membersamai kita. Kamu anak kuat, kamu anak hebat, kamu anak yang patuh, Ayah pasti bangga sama kamu. Sudah, ya, jangan nangis lagi,” sambil mengusap air mataku Mama membawaku bertemu Ayah untuk terakhir kalinya.
Sesudah tujuh hari sepeninggal Ayah, aku harus kembali ke pondok untuk melanjutkan apa yang menjadi amanah dari Ayah untuk diriku. Dua hari lalu, Mama mengatakan keinginan Ayah. Beliau ingin aku menjadi seorang penghafal Al Qur’an, bahkan beliau berharap agar aku bisa menjadi ahlul Qur’an, menurutku itu sebuah cita-cita yang sangat berat apalagi hal itu memang tak pernah terlintas di kepalaku.
Amanah dari Ayahlah yang membuatku menjadi memiliki sahabat yang memang harus aku perjuangkan, di awal memang terasa berat bahkan sering kali aku menangis karena banyak ayat Al Qur’an yang hilang sesudah disetorkan. Tak jarang aku mengeluh, bahkan sampai menangis, tapi dari semua cobaan itu aku semakin sadar bahwa aku menghafal Al Qur’an bukan hanya karena Ayah, tapi ada dorongan dari hatiku untuk bisa mendapat ridho dari Allah. Sampai akhirnya di tahun 2025 ini aku telah selesai mengkhatamkan Al Qur’an bil Ghaib 30 Juz.
“Ayah memang tidak melahirkan kita, tapi ayah adalah orang yang pertama kali mengenalkan Tuhan kepada kita. Ayah memang tidak bisa setiap waktu membersamai kita, tapi Ayah akan menghargai waktu saat bersama kita. Ayah memang tidak selembut ibu, tapi ayah mendidik kita agar kita bisa terus berjalan di tengah realita yang tak sesuai ekspektasi kita.”
–
Oleh : Iis Rohmatul Khasanah
Photo by Robert Eklund on Unsplash