Kesamaan agama bisa menyatukan umat, tapi ada bahayanya. Mereka yang menguasai interpretasi doktrin, bisa menciptakan perdamaian atau merusaknya. ( Jan D.Walter)
Pertanyaan panas menyangkut eksistensi dan kematian mengarahkan manusia mencari jawabannya di luar dunia material. Spritualitas dan keimanan pada Tuhan mereprentasikan jalan sangat individual untuk mencapai perdamaian internal.
Tapi, jika keyakinan diinstitusikan dalam konteks sosial menjadi agama, tercipta fungsi yang berbeda, yakni menciptakan identitas bersama. Agama mematri kebersamaan kelompok umat dan menggerakkan mereka untuk saling membantu. Jika terjadi sengketa, nilai moral yang dianut bersama, membantu mencari solusi yang disepakati bersama.
Dengan cara ini, agama memberikan kontribusi bagi perdamaian masyarakat. Tapi hal yang sama juga berlaku bagi elemen-elemen pembentuk identitas lainnya, seperti budaya, keluarga, atau afiliasi etnis. Kohesi sosial memungkinkan anggota komunitas untuk bekerjasama dan membuatnya kuat, baik secara sosial, ekonomi maupun terhadap ancaman dari komunitas lainnya.
Agama dan kolektifisme
Tapi, kohesi sosial juga menyembunyikan ancaman, yakni jika kelompok individu ini menjadi sebuah kolektif. Makin kuat identitas kolektif, makin besar ancaman bahayanya. Sebab, jika mereka keluar dari komunitas, bisa jadi harus dibayar dengan hilangnya indentitas individu. Hal ini menciptakan kendala psikologis amat tinggi dan ini akan mengarahkan individu menjadi sub-ordinat kolektif, baik terkait keinginan dan kebutuhannya maupun moralnya, ketimbang mempertanyakan keduanya.
Baca juga
- Sambut Haul Bapak Ke-12 : Bersihkan Hati, Bersihkan Diri
- Haul Bapak Warson ke-12: Majelis Simaan Al-Qur’an Khotimat 30 Juz Bil Hifdzi
- Road To Haul Bapak Warson ke-12, Diawali Dengan Muqoddaman 12x
- Santri Memanggil: Santri Bergerak Seruan Aksi Damai
- SANTRI PUTRI MENDUNIA
Agama memiliki potensi besar membangkitkan ketergantungan semacam ini, sama seperti ideologi totaliter. Karena bagi mereka sudah disiapkan banyak jawaban. Bagi banyak orang, ini jauh lebih mudah dan lebih atraktif, dibanding masyarakat liberal, yang menunjukkan keraguan bukannya kepastian pada kecemasan orang. Sisi negatifnya, mereka yang menyuarakan keraguan di dalam kolektif, akan segera disingkirkan. Tapi barang siapa tetap berada dalam kolektif, meraka tidak lagi memiliki kemampuan untuk melontarkan keraguan tanpa mengkhianati diri sendiri.
Dalam perjalanan waktu, sejumlah gerakan moderat terbentuk di dalam arus utama agama dan ideologi totaliter, dimana para pendukungnya bisa menyampaikan keraguan dan juga melakukannya. Dalam dunia Kristen proses tersebut dimulai 500 tahun yang lalu, dan hingga kini masih terus berlangsung
Bahaya dari semua itu amat nyata. Sebuah kelompok individu yang kritis boleh jadi bisa dipengaruhi. Tapi manusia yang memandang dirinya sebagai bagian dari kolektif, juga bisa dikendalikan oleh mereka yang berhasil menerapkan doktrinnya. Bagi pemimpin semacam ini, agama dan ideologi menjadi senjata.
Hal seperti ini telah terjadi berulangkali dalam sejarah umat manusia. Seringkali hal tersebut menelan ongkos berupa nyawa manusia, kebebasan, dan kemerdekaan. Namun dalam kasus lainnya, agama justru memberikan umatnya maupun umat agama lain, kehidupan, kebebasan, dan perdamaian.
Memandang konsekuensinya, adalah tidak ada gunanya mendiskusikan, apakah agama digunakan atau disalahgunakan untuk mencapai sesuatu tujuan. Namun jelas, bahwa agama adalah senjata, yang bisa digunakan untuk tujuan ini atau itu.
Dalam hal ini, sangat tepat untuk mengimbau para pimpinan religius untuk berpartisipasi dalam negosiasi perdamaian. Dalam ajakan ini harus terkandung tuntutan mengenai gunakan senjata untuk menentang perang dan bagi perdamaian.
Oleh: Indah Febriyanti
Photo by Shalom de León on Unsplash