Home sales agents and buyers work on signing new homes and shaking hands.

Apakah Bunga Deposito Sama dengan Riba?

Diposting pada 210 views

Q: Apa yang harus dilakukan terhadap pendapatan yang berasal dari bunga deposito bank konvensional?

Ketika bertransaksi, pastinya kita perlu memperhatikan beberapa hal penting yakni syarat dan langkah-langkah sebagai akad transaksi. Seperti ketika hendak bertransaksi menyimpan uang atau yang bisa disebut dengan deposito. Dalam berdeposito di bank konvensional, maka seseorang akan mendapatkan yang namanya bunga deposito yakni nilai yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah sebagai imbalan atas simpanan nasabah yang akan dikembalikan pada kemudian hari.

Lantas, apakah bunga deposito ini termasuk dalam kategori riba? Dan Apa yang harus dilakukan terhadap pendapatan yang berasal dari bunga deposito bank konvensional? Dalam sesi #tanyaustadz ini, pak Ikhsan akan menjelaskan pemasalahan tersebut.

Kita perlu memahami terlebih dahulu tentang apa itu riba dan apa itu bunga bank. Tentang masalah riba, dasar riba adalah nash yang qat’i dari al-qur’an maupun hadist. Sehingga para ulama salaf maupun ulama kontemporer menyepakati bahwa riba itu haram. Baik riba dalam bentuk hutang piutang, tukar menukar, atau dalam bentuk jual beli barang ribawi.

Baca Juga:  Hukum Menggunakan Uang Hasil Bunga Bank

Riba dalam bentuk jual beli barang yakni apabila dalam transaksi terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi seperti pada transaksi berupa emas dengan emas, perak dengan perak, atau antara makanan pokok dapat dikategorikan sebagai riba. Sedangkan termasuk riba dalam bentuk hutang piutang yakni dalam kaidah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap hutang piutang yang didalamnya ada keuntungan, maka dihukumi riba.

Semua ulama baik ulama salaf maupun ulama khalaf  di kitab tafsir maupun kitab fiqih mengharamkan riba. Misalnya dalam al-qur’an surah al-baqarah ayat 275, Allah SWT berfirman: ” وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ” yang artinya “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ini adalah evolusi ayat keempat yang secara total mengharamkan riba.

Jadi apabila dalam Islam terdapat ‘adah mutta’ashilah yakni tradisi yang sudah mengakar, maka proses untuk menghilangkannya membutuhkan beberapa tahap secara tadarrud atau bertahap secara step by step. Salah satunya adalah riba dalam al-qur’an prosesnya sampai empat kali dan yang terakhir dihukumi haram secara total.

Nah, terjadilah suatu perdebatan apakah bank bunga dapat disamakan dengan hutang piutang yang menarik manfaaat. Karena terdapat banyak macam konteks dalam bank seperti konteks hutang yang memang dianggap sebagai hutang, ada pula konteks akadnya adalah pembiayaan untuk membeli barang-barang tertentu seperti mobil dan rumah. Atau bahkan seseorang ke bank tujuannya adalah untuk mencari modal usaha. Tentunya hal demikian sangat berbeda sehingga ada khilafiyah, yakni perbedaan pendapat antara para ulama terkait dengan bunga bank.

Baca Juga:  Fakta Menarik Hari Keuangan Nasional
Pendapat Ulama

Pak Ikhsan menyebutkan beberapa contoh pendapat ulama yaitu Syekh Yusuf Qardhawi, Syekh Mutawali Ash-Sya’rawi, Syekh Abu Zahra, dan Syekh Muhammad Al-Ghazali (Mesir) yang menyamakan antara bunga bank dengan riba. Hal ini juga menjadi keputusan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sedangkan pendapat menurut Syekh Ali Jumuah, Sayyid Tantowi, dan Syekh Abdul Wahab Khalaf ( ulama yang terkenal di Indonesia karena salah satu kita Ushul Fiqih) mengatakan bahwa antara bunga bank dengan riba itu berbeda. Sehingga boleh saja bertransaksi dengan bank.

Kemudian, apabila dilihat dari keputusan NU dalam Monas Lampung yang membuat keputusan terkait dengan interaksi orang terhadap bank. Adanya tiga keputusan bahwa bank itu ada tiga hukum yakni:

  1. Hukum yang mengharamkan. Sebagian ulama pesantren mengharamkan sacara total riba dalam bank konvensional dan disamakan antara bunga bank dengan riba
  2. Hukum subhat. Sebagian ulama mengatakan subhat karena masih adanya percampuran. Yang dimaksud percampuran disini adalah seperti ketika bunga bank yang keuntungannya dari adanya hutang piutang. Atau transaksi jual beli yang murabahah dimana keuntungnnya didapat dari investasi usaha. Sehingga bisa disimpulkan bahwa keuntungan yang didapatkan akan dibagi hasil dalam akad atau dalam fiqih disamakan dengan qirad, maka hal tersebut ada campuran yang menjadikan subhat.
  3. Hukum membolehkan (mubah). Sebagian ulama membolehkan berinteraksi dengan bank karena memang mau tidak mau harus berinteraksi. Misal khususnya dalam hal ibadah wajib yakni ketika hendak menunaikan ibadah haji.

Nah maka dari itu, dalam memakai teori hukum yang ikhtiyat atau berhati-hati berarti kita harus lebih berhati-hati dalam memakai pendapat ini apabila terdapat suatu pertentangan antara yang subhat dan haram. Sehingga, apabila mendapat bunga deposito dari bank konvensional, maka dapat di tasharrufkan misalnya digunakan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan makan. Tetapi bisa dipakai untuk memperbaiki kamar mandi atau WC.

Baca Juga:  Hukum Jual Beli dengan Beribu Diskon di E-Commerce

Jadi, uang subhat tetap harus diambil supaya tidak disalahgunakan oleh orang-orang tertentu. Karena apabila uang deposito tidak diambil maka dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Tetap diambil dengan dipakai untuk hal-hal yang sifatnya tidak pokok untuk kehidupan atau untuk dimakan.

Demikian juga dengan bank syariah. Belum tentu bank syariah dapat dikatakan sebagai bank yang murni syariah secara akad. Karena pada transaksi bank syariah terkadang belum menerapkan teori-teori fiqih dengan benar. Seperti teori qirad yang belum tentu diterapkan dengan benar oleh bank syariah. Artinya bank syariah juga tidak mau melakukan fluktuasi untung dan rugi.

Dapat dihukumi mubah apabila kita berinteraksi dengan bank terkait dengan ibadah wajib atau terkait  untuk menyimpan uang, untuk mengamankan uang, tidak untuk mencari keuntungan. Lah nampaknya pendapat yang dari NU memilah hukum berinteraksi dengan bank menjadi tiga yaitu kita bisa cari alternatifnya. Yakni bisa hukumnya haram, bisa hukumnya syubhat, atau bahkan bisa hukumnya boleh dengan melihat konteks dari orang yang berinteraksi dengan bank.

 

Oleh: Bapak H. M. Ikhsanudin, M.S.I

Pictured by Wutwhanfoto on Unsplash