Kisah Nabi Daud as. dan Cacing Merah

Diposting pada 821 views

Nabi Daud as. dikenal dengan sosoknya yang disiplin dan tekun. Kemudian dalam Al-Qur’an dikisahkan bahwa Allah SWT telah mengaruniakan kepada Nabi Daud as. besi yang dapat dilunakkan. Allah telah mengajar Nabi Daud as. cara-cara membuat baju besi yang menunjukkan bahwa besi dapat diproduksi untuk keperluan peralatan perang dan peralatan lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surah Saba’ ayat 10-12, Al-Hadid ayat 25, Al-Kahfi ayat 96, dan QS Al-Ra’d ayat 17.

Masih berkaitan dengan keistimewaan Nabi Daud as., Prof. Quraish Shihab menjelaskan sosok Nabi Daud as. sebagai nabi yang lahir di Bait Lahem Palestina sekitar 1085 SM dan wafat di Qudus Yerussalem 1015 SM atau sekitar 1626 sebelum Hijrah. Pada masa mudanya, Nabi Daud as. adalah pengembala kambing ayahnya. Beliau juga memiliki keistimewaan dalam seni suara. Kemudian beliau dianugerahi Allah kitab Zabur. Disamping itu itu, Nabi Daud as. sangat pandai menggunakan ketapel. Keahliannya ini mengantar beliau berhasil membunuh Jalut sebagaimana dikisahkan oleh Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 251.

Al-Gazâlî ra. menceritakan dalam kitabnya, Mukâsyafah al-Qulûb al-Muqarrab Ilâ Ḥaḍrah ‘Allâm al-Guyûb, bahwa suatu ketika Nabi Daud as. sedang duduk di dalam ruang peribadatannya sembari membaca kitab Zabur. Tiba-tiba beliau melihat seekor cacing merah yang berada di tanah, pada bawah tempat duduknya. Kemudian, beliau berkata kepada dirinya, “Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Allah menciptakan makhluk semacam ini?”

Melalui izin Allah, cacing merah tersebut berbicara dan menjawab,“Wahai Nabi Allah, aku diciptakan oleh Allah ke muka bumi tidak lain dan tidak bukan untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, setiap hari aku berzikir, subḥâna allâh wal ḥamdu li allâh wa lâ ilâha illâ allâh wa allâh akbar, sebanyak seribu kali. Ketika malam tiba, aku tak henti-henti membaca shalawat, allâhumma ṣalli ‘alâ muḥammad an-nabiyyi al-ummiyyi wa ‘alâ âlihî wa ṣaḥbihî wa sallim, sebanyak seribu kali juga, sebagaimana perintah Allah kepadaku. Lalu bagaimana dengan dirimu? Apa yang telah engkau baca untuk memuji Allah dalam setiap hari dan malam, sehingga engkau berani berkata demikian?”

Baca Juga:  Pluralisme Beragama Oleh K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Setelah mendengar jawaban itu, Nabi Daud as. merasa begitu malu dan hatinya bergetar, menyesali perbuatannya. Sehingga beliau pun bertaubat kepada Allah, memohon ampun atas pemikirannya yang telah merendahkan makhluk Allah yang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam aṣ-Ṣâwî dalam kitabnya, Ḥâsyiyah al-‘Allâmah aṣ-Ṣâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalâlain, ayat ini memberikan pemahaman bahwa semua makhluk Allah, seperti malaikat, manusia, jin, binatang, tumbuhan, bebatuan, dan benda-benda keras lainnya bertasbih kepada-Nya. Jadi tidak heran, ketika Imam Ad-Dîba’î memberikan untaian indah dalam Mawlid ad-Dîba’î bahwa manusia, bebatuan, dan binatang semuanya bertauhid kepada Allah Swt. Bahkan menurut Rumi dalam bukunya, Fihi Ma Fihi: Mengarungi Samudera Kebijaksanaan (2016), orang kafir dan orang beriman, keduanya sama-sama bertasbih.

Melalui kisah ini, kita dapat mengambil ibrah, bahwa semua makhluk di bumi ini bertasbih kepada Allah. Sehingga tidak pantas bagi kita, untuk menilai ibadah makhluk lain, maupun merendahkannya. Sebab belum tentu kita sudah lebih baik daripada mereka. Akan tetapi, semua manusia adalah tempatnya salah sehingga jika sudah berbuat salah, maka tidak perlu malu meminta maaf maupun ampunan. Hal lain yang dapat dipetik dari kisah ini, kita sebagai sesama makhluk Allah,  sebaiknya saling menghargai satu sama lain. Sebab sesuai  firman Allah dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 191, semua makhluk memiliki perannya masing-masing, tidak ada yang sia-sia. Semoga kita semua, menjadi hamba-Nya yang lebih baik disetiap harinya, tidak mudah merendahkan maupun menilai orang lain.

Oleh: Desi Nur Istanti

Referensi:

Baca Juga:  Kartini dan Jejak Literasi Islam Nusantara

Foto oleh Karolina Grabowska dari Pexels