Librocubicularist

Diposting pada

Rak-rak berjajar, buku-buku berderet, meja kursi berhadap-hadapan, manusia lalu-lalang. Berada di tengah berbagai entitas dan realitas, mengikuti arus atau melawan arus sama berisiko. Menjadi sama di antara ribuan, atau menjadi beda di antara jutaan sama. Berlomba meraih standar masyarakat yang entah “setan” mana memulainya. Dianggap lemah kala menyerah tanpa tahu alasan sejujurnya. Memandang sebelah mata adalah cara menjadi lebih baik. Menginjak harga diri yang lain demi menaikkan harga diri sendiri lazim dilakukan. Aku adalah satu yang terjebak di kubangan bernama kehidupan. Ya, itu.

Muak dengan lembar-lembar proposal yang tak kunjung revisi. Lalu harus dengan apa kenyataan dihadapi. Bukan, aku tidak mulai menggibahi dosen pembimbing. Kita sepakat kan kalau tindakan dosen memang yang terbaik untuk mahasiswa. Aku hanya mengikuti tren kaum milenial, sambat. Memupuk kembali harapan dan menjaga kesehatan mental. Siapa tahu di antara kita ada yang sudah terlintas untuk bunuh diri.

KREEEKKKKKKK

Suara pintu ruang skripsi digeser sore itu. Aku yang berjarak cukup jauh dari pintu mampu mendengar dengan jelas. Ya maklum, namanya ruang skripsi didesain untuk hening tidak boleh ramai. Meski namanya ruang skripsi, belum tentu digunakan mengerjakan skripsi. Segerombolan mahasiswa di pojokan hanya saling diam dan memainkan ponsel pintarnya, di tengah ada sejoli lagi yang-yangan, dan aku sejak satu jam hanya memandang proposal skripsi yang entah sudah kubaca berapa kali. Sungguh miris dan tragis nasib skripsi ini.

Heh, Koen lapo nang kene?” disentuhlah pundakku. Ternyata seorang teman yang dulu pernah satu kelas kuliah.

Heh, ini lho baca-baca aja,” jawabku, “mosok yo aku karokean” batinku.

“Gimana udah sampai mana kamu?” tanyanya. Ini adalah bentuk pertanyaan paling basi selama aku resmi menyandang status tingkat akhir. Entah sedekat apa kalian dulu, sejauh apa kalian dulu, apakah pernah saling sapa atau tidak, menurutku itu seperti template wajib. Padahal belum tentu yang bertanya akan ingat jawabanmu.

“Hehe… doain aja wis.” aku menanggapinya dengan cengiran.

“Ya sudah, aku kesana dulu ya.” pungkasnya.

Interaksi semacam itu mungkin tidak asing lagi bagi mahasiswa tingkat akhir. Kita memang tidak tahu niat seseorang ketika bertanya. Tapi dalam kondisi banyak tekanan, tuntutan, dan kompetisi yang campur aduk, kalian pasti mengerti rasanya. Perlombaan yang tercipta secara tidak sengaja oleh teman-teman sendiri membuat aku mau tidak mau mengikutinya. Namun sayang seribu sayang, kita tidak dalam bahtera yang sama. Tidak semua mahasiswa mendapat privileges tanda tangan ACC proposal dan skripsi mudah. Jangan mencaci dulu, tenang. Aku hanya melihat dari sudut pandang seorang aku. Mahasiswi tingkat akhir yang tak kunjung sidang meski sudah bimbingan.

Bosan memandang proposal tak kunjung ada pergerakan. Kuputuskan berselancar di dunia maya, membaca berita, tren hashtag, dan hiburan lain. Dunia sedang gempar dengan adanya virus baru yang merebak di Wuhan. Masa bodoh!  Toh aku bukan orang kaya yang mampu bepergian antar negara, baru antar provinsi saja sudah pusing nabung bagaimana. Di benakku hanya satu, bagaimana proposal ini tembus dan diseminarkan.

***

Sampai menginjakkan kaki di tempat kelahiran setelah beberapa bulan tidak pulang. Akhir-akhir ini memang aku sering mengeluh ingin pulang ketika segala hal menjadi tak terkendali. Setelah seminggu lebih tak ada kemajuan tugas akhir, hanya sesak tertahan melihat teman seperjuangan sudah sidang. Mau bagaimana lagi? Bukankah masing-masing dari kita sudah memiliki jalan dari-Nya. Tak hanya itu saja, pulang kali ini ditengarai anjuran pemerintah untuk “di rumah saja”. Virus beberapa bulan lalu menyebar di Wuhan kini menjangkiti hampir seluruh dunia termasuk Indonesia.

Semua sistem disulap serba daring. Perkembangan internet telah menunjukkan pengaruh besarnya selain untuk nonton film di situs ilegal bahkan bokep yang diakui sudah ditutup Kominfo nyatanya seperti kepala Hydra, dipotong satu tumbuh dua. Bimbingan mahasiswa dan seminar ikut-ikutan menggunakan sistem daring. Ah, dosenku bertemu langsung saja susah apalagi daring, pupus harapan seminar bulan ini. Target kocar-kacir, membuka sosial media sebagai hiburan “di rumah saja” malah makin tertekan. Postingan dan story yang dibagikan teman menunjukkan betapa mereka mendapat privileges seminar daring.  Pasrah, toh aku sudah pulang. Tempat mana lagi paling nyaman dan aman selain di rumah.

Rumahku terletak di suatu desa di kabupaten sebelah utara Jawa Tengah. Sebagai desa yang mulai terkena arus informasi internet, anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua menggunakan Whatsapp. Bukankah itu bagus? Tentu saja. Berkomunikasi jadi lebih mudah, bahkan digunakan mencari nafkah. Justru persoalan di mulai dari sini. Masyarakat mudah mempercayai berita yang datang dari broadcast Whatsapp. Omongan ahli, riset, dan orang berpendidikan hanya angin belaka. Pokoknya broadcast Whatsapp paling benar. Semua orang menjadi lebih tahu dari yang lain.

“Kata e makan bawang putih bisa mematikan virus, opo iyo?” Tanya Bude lantang, maklum anak-anak Embah memang hobi ngegas sejak di dalam pikiran.

“Emang iya kok, kemarin aku baca di grup alumni.” Bulek menimpali percaya diri.

“Di sini sudah ada yang positif, itu orang dari K.” kata Emak semangat.

“Bukannya orang T, itu baru datang dari Jakarta, terus positif.” Bude tidak mau kalah informasi. Aku menyimak tanpa mau menyanggah, tidak ada nada yang percaya. Percayalah.

“Bukan begitu, itu baru ODP.” Bulekku yang cukup santai menjelaskan.

“Lha terus gimana ini, wis meh poso.” Bude mulai panik sendiri.

Ancen di luar negeri sudah banyak yang mati. Kalau ada yang baru datang dari zona merah harus cepet-cepet dikarantina. Bahaya iku.” Emak mengeluarkan jurus ngegas nya.

Halah..!!  bahas opo tah. Koyo wong ra duwe agomo ae, percoyo urip mati neng pengeran.” Embah Kakung yang terusik duduk santainya membubarkan diskusi broadcast Whatsapp siang itu.

Keseharianku jangan ditanya lagi. Berhasil melewati fase dimana merasa menjadi manusia paling tidak berguna adalah berguna. Menunjukkan kondisi baik-baik saja di tengah keadaan porak-poranda. Aku marah, di rumah tak melakukan apa-apa. Kewajiban sebagai manusia dan anak berbakti sudah pasti, tapi sebagai diri sendiri? Kuhabiskan sebagian besar waktu di atas kasur rebahan. Tumpukan buku yang tempo hari kubeli secara online baru tersentuh satu dua. Entah mengapa, aku hanya tidak ingin melakukan apa-apa.

Aku pernah membaca dalam sebuah tweet presiden stand up komedian intinya pada keadaan seperti ini tak perlu memaksa produktif. Cukup bertahan hingga badai selesai saja. Bertahan. Ah memang situasi ini akan berdampak pada segala lini kehidupan masyarakat. Pendapatan berkurang, PHK, kriminalitas, penimbunan, dan sebagainya. Belum ditambah konspirasi teori tai kucing dari manusia yang memanfaatkan keadaan. Terlepas dari benar atau salah, tolonglah jangan menambah bising informasi tak penting. Tetap hidup hingga pandemi selesai perkara mudah, tapi tetap waras belum tentu.

Kembali menekuni tumpukan buku-buku diatas kasur. Sambil sesekali membayangkan akan jadi apa kelak aku. Menuntaskan studi saja dulu, baru beranjak ke hal-hal lain. Tapi jika studimu tak selancar hal-hal lain bagaimana? Ah, kepalaku hampir pecah. Kututup buku lalu meringkuk di antara bantal guling. Meninggalkan sejenak realita untuk menguntai mimpi-mimpi terpendam.

Tetap jaga kesehatan, ingat pesanku, 4 sehat, kamu sempurna. Perihal Cinta Kita Semua pemula.

***

Oleh: Hnggr

Photo by Vlada Karpovich from Pexels