Meneladani Sosok Sayyidah Khadijah: Istri Nabi Paling Sempurna

Diposting pada 414 views

Siapa yang tak kenal dengan sosok Sayyidah Khadijah?

Beliau adalah istri Nabi Saw., wanita suci, juga perempuan terhormat di Suku Quraisy –tanpa perbedaan pendapat. Nama lengkapnya ialah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qusay bin Kilab. Nasabnya bertemu dengan Nabi pada kakek ke-5. Artinya, beliau termasuk keturunan Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ibrahim a.s. Ditambah kedudukannya yang tinggi, terhormat dan mulia, berilmu, berakhlak mulia, cerdas, pintar dan terjaga, menunjukkan betapa mulianya ia. Ringkasnya, Sayyidah Khadijah termasuk wanita paling sempurna di semesta ini[1]. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Ali r.a. mendengar Nabi Saw. bersabda, “Perempuan terbaiknya (di langit) adalah Maryam binti Imran, dan perempuan terbaiknya (di bumi) adalah Khadijah binti Khuwailid”[2].

Hal itu ditunjukkan juga, dalam keadaannya yang menjanda, sudah banyak laki-laki yang datang melamar. Kendati demikian, Khadijah tidak tertarik menikah lagi dan memilih untuk menekuni perniagaan, hingga kesuksesannya termasuk yang luar biasa di suku Quraisy. Sebelumnya, beliau telah menikah dua kali. Suami pertamanya bernama Atiq bin A’idz At-Tamimi dan suami keduanya adalah Abu Al-Halah At-Tamimi yang bernama asli Hind bin Zurarah.[3] Dari salah satu pernikahannya, beliau dikarunia seorang putra dan putri.

Kesuksesannya dalam berdagang membuktikan bahwa beliau paham mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan. Baik dari pasar hingga teknik-teknik pemasarannya. Pun beliau paham mengenai kaum lelaki serta mampu memahami keistimewaan mereka. Karena para pekerja beliau, yang membawa dan memperdagangkan komoditasnya adalah kaum laki-laki. Karenanya, manakala Sayyidah Khadijah mendengar akan kejujuran dan sifat amanah Nabi Muhammad Saw., kala itu beliau menginginkannya dalam perniagaannya. Mengingat di era jahiliyah, adalah istimewa ketika seseorang diberi gelar Al Amin dan Ash Shodiq.

Akhirnya, Khadijah mengirim utusan untuk menawari Muhammad Saw. bergabung dalam perniagaannya, membawa komoditas ke Syam dengan upah lebih tinggi dari yang pernah diberinya kepada pekerja lain[4]. Nabi pun menyetujuinya. Maka, berangkatlah Nabi berdagang dengan barang dagangan Khadijah, ditemani oleh budak Khadijah, Maysarah. Saat pulang, Khadijah sangat takjub dengan keuntungan berlipat yang dibawa Nabi. Keuntungan yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Khadijah.

Khadijah bertambah kagum, ketika Maysarah menceritakan mengenai keluhuran budi, kesahajaan, kejujuran dan kecerdasan Muhammad Saw. Begitu juga mukjizat yang ia rasakan, seperti dinaungi awan saat panas di siang hari. Khadijah berusia 15 tahun lebih tua dari Nabi, sehingga ia tahu mengenai mukjizat kelahiran Nabi. Dua mukjizat tersebut –kelahiran nabi dan nauangan awan, dikaitkan oleh Khadijah hingga karenanya ia mencintai Nabi Saw. Saat itu juga, beliau berharap dapat menikah dengan Muhammad Saw.

Setelah beberapa hari kemudian, Khadijah mengirim utusan, Nafisah binti Munabbih, mendatangi Muhammad Saw., menawarkan Khadijah agar dipersunting oleh Nabi Saw. Setelah berbicara dengan paman-pamannya dan sepakat untuk memperistri Khadijah, datanglah Hamzah bin Abdul Muthalib bersama nabi menemui Khuwailid untuk melamar Khadijah. Ayah Khadijah berkata : “Dia lelaki yang hidungnya tidak dicela”. Yang merupakan ungkapan halus dari kedermawanan. Khuwailid juga menyetujui pernikahan ini. Maka menikahlah mereka. Saat itu nabi berusia 25 tahun, sedang Khadijah 40 tahun.

Baca Juga:  21 September dan Sejarah Hari Perdamaian Internasional

Dari pernikahan ini, tumbuhlah benih rumah yang suci dan bersih, dipenuhi kedamaian dan pencapaian, tempat keluarnya kedermawanan dan risalah yang lurus, islam. Nabi tinggal di kediaman Khadijah. Khadijah juga memberi Nabi Saw. keturunan : Qasim, Abdullah, Ruqayyah, Zainab, Ummu Kultsum dan Fatimah. Sungguh Nabi telah dikaruniai cinta Khadijah.

Sayyidah Aisyah berkata, “Pada suatu hari, Aku membuat beliau marah karena berteriak ‘Khadijah lagi Khadijah lagi!’ Kemudian Rasulullah Saw. bersabda : ‘Aku telah dikaruniai cintanya’”.[5]

Bayangkanlah bagaimana kehidupan pernikahan ini dipenuhi kedamaian dan rasa cinta dengan saling memahami antara satu dengan yang lain. Rentang usia tidak menghalangi hubungan mereka berdua. Kebersamaannya dengan Nabi, sudah dimaklumi, menempatkan Khadijah pada kedudukan luhur dan mulia di sisi Nabi Saw. Dalam ash-shahihain, diriwayatkan bahwa Khadijah adalah istri Rasulullah yang paling sempurna[6]. Seolah dengan pernikahannya dengan Nabi Saw., Allah telah menyiapkannya dan menambah kemuliannya. Hingga turunlah jibril membawa risalah: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Yang pada saat itu, dalam keadaan payah dan takutnya, Nabi tidak mendatangi paman-pamannya, melainkan istri tercintanya, seorang istri yang menenangkan, belahan jiwa yang beliau tak bisa berpisah darinya. Nabi berkata saat itu : “Selimuti saya, selimuti saya”. Khadijah memeluknya dan menenagkan dari apa yang telah beliau lihat. Nabi mengatakan : Aku takut atas keselamatnku”. Nabi takut atas nyawanya. Kemudian, setelah khadijah menenangkan dan meredakan Nabi, ia meminta nabi menceritakan padanya.

Begitulah Khadijah. Ia adalah orang pertama yang berimana pada risalah Rasulullah, membenarkan nabi tanpa menentangnya sedikitpun, menemani nabi berdakwah, mendukung dengan jiwa, waktu, harta dan perjuangannya. Tidak hanya sebagai istri, melainkan dengan kebersamaanya, Khadijah sudah seperti teman bagi Nabi. Karenanya, ketika Jibril sedang bersama Nabi untuk mengajarinya, Jibril berkata pada Nabi : “Khadijah datang dan membawa air susu di tangannya. Bacakan dia salam dariku dan salam dari Tuhannya. Kabarkan padanya kabar gembira tentang rumah dari intan di surga, tidak ada payah dan sakit di dalamnya”.

Ahmad dan Ath-Thabrani meriwayatkan melalui jalur Masruq dari Aisyah r.a. bahwa dia bercerita, Rasulullah Saw. nyaris tidak pernah keluar dari rumah sebelum menyebut-nyebut Khadijah dan menyanjungnya. Pada suatu hari, beliau menyebut-nyebutnya sehingga aku disulut cemburu. Maka, aku berkata, ‘Bukankah dia hanya seorang nenek-nenek, dan Allah telah menggantikannya dengan seseorang yang lebih baik?’ Rasulullah marah dan bersabda, ‘Tidak. Demi Allah, Allah tidak menggantinya dengan seorang pun yang lebih baik daripadanya. Dia beriman ketika semua orang kafir. Dia memercayaiku ketika orang-orang menyebutku dusta. Dia pun menyokongku dengan hartanya ketika orang orang enggan memberiku. Allah juga mengaruniaiku anak darinya, tidak dari istri yang lain.’”

Itulah derajat (maqam) Sayyidah Khadijah, serta keagungan dan kedudukannya. Dia adalah wanita teragung di alam ini bersama Maryam binti Imran, Fatimah binti Asad dan Asiah istri Fir’aun, sebagaimana disampaikan Nabi Saw.

Baca Juga:  SEJARAH HARI KEADILAN INTERNASIONAL

Khadijah wafat di usianya ke 65 tahun, tiga tahun sebelum hijrah. Ia wafat setelah wafatnya Abu Thalib, paman Nabi. Pada saat itu, disebut sebagai tahun duka cita (‘aamm Al-huzni). Nabi menghadapi kesedihan dan kehilangan keamanan. Beliau menyikapinya dengan bersabar dan mengarap ridha dan kasih sayang Allah Swt.

Lantas apa pelajaran yang bisa kita ambil?

Dari kisah Khadijah, kita dapat mengambil pelajaran bahwa akhlak berlaku dimanapun dan kapanpun[7]. Kita bisa menjadi bersih atau suci, dulu ataupun sekarang. Pun juga cara memilih suami, Khadijah tidak memilih suami berdasarkan materi, melainkan ahlaknya. Karenanya, hubungan rumah tangga menjadi sebuah ikatan yang kuat dengan ketenangan dan kelanggengan. Begitu juga kerja keras Khadijah. Karena, setiap wanita bisa bekerja dengan tetap menjaga agama dan akhlak. Bahkan di masa jahiliyyah pun, beliau dipanggil sebagai perempuan yang suci, menjaga amanah, serta berakhlakul karimah. Siapapun dapat meneladani kisah beliau ini, baik laki-laki maupun perempuan.

Oleh: Sayyidah Latifah

Photo by Mohammed Hassan from Pexels

*Sistematika tulisan ini dibuat mengikuti video tausyiah Dr. Rasyidah Zebiri, yang diunggah dalam akun youtube channel Sanad Media serta ditambah dari tulisan Syekh Saud Ramadhan Al-Buthy mengenai Sirah Nabawiyah dalam bukunya yang berjudul : “The Great Episode of Muhammad”.


[1] Dr. Rasyidah Zebiri, dalam Sanad Media youtube channel mengenai, “Kisah Sayyidah Khadijah Al-Kubro”.

[2] Dalam buku Syekh Buthy, The Great Episode of Muhammad hal. 73

[3] Ibid hal. 72. Diriwayatkan oleh Ibnu Sayyidin-Nas dalam ‘Uyun Al-Atsar, Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah, dan lain-lain. Ada perselisihan pendapat mengenai suami pertamanya. Riwayat yang dinilai lebih kuat oleh Ibnu Sayyidin-Nas dan Qatadah dan Ibnu Ishaq adalah sebagaimana disebut dalam tulisan.

[4] Ibid hal. 71

[5] Ibid hal. 73. Haditsnya muttafaq alaih redaksinya pada Muslim.

[6] Ibid

[7] Dr. Rasyidah Zebiri, dalam Sanad Media youtube channel mengenai, “Kisah Sayyidah Khadijah Al-Kubro”.