http://www.kmamesir.org/2018/03/al-azhar-dukung-peringatan-hari-wanita.html

Qasim Amin[1] : Sang Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir pada Abad ke 19 M

Diposting pada 936 views

Riwayat Hidup Qasim Amin

Qasim Amin lahir pada bulan Desember tahun 1863 di Iskandariah, Mesir, yang terkenal dengan nama Harrah sepuluh tahun sebelum wafatnya al-Thahthawi. Qasim Amin wafat tahun 1908 M pada usia yang masih muda, yaitu ketika berumur 45 tahun. Ayah Qasim Amin bernama Muhammad Beik Amin, seorang keturunan Turki dan seorang Komandan di Harrah pada masa pemerintahan Khadiw Ismail. Ibunya seorang keturunan Mesir kelahiran al-Sha’id. Ayahnya menikah dengan ibunya dari anak putri Ahmad Beik Khatab atau saudara kandung Ibrahim Pasha Khatab. Mereka memiliki beberapa orang anak, yang pertama adalah Qasim Amin. Secara kedudukan sosial, keluarga Qasim Amin tergolong kepada keluarga tingkat menengah. Pendidikan dasar diperoleh Qasim Amin di Madrasah Ra’su al-Tin di Iskandariyah yang merupakan salah satu madrasah termasyhur saat itu. Setelah selesai belajar di madrasah tersebut, Amin melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di Madrasah al-Tajhiziyah di Hilmiyat.

Setelah tamat dari madrasah ini, dia melanjutkan studinya ke Madrasah al Huquq al-Hudawiyah (Sekolah Tinggi Hukum) dan memperoleh Lisance pada tahun 1881 M pada usia 18 tahun. Tidak lama setelah itu, dia dikirim oleh pemerintah ke Paris untuk menekuni studi hukum pada Universitas Montpellier dan selesai tahun 1885 M. Selama berada di Paris, ternyata Qasim Amin tidak hanya menggunakan waktunya untuk belajar di universitas tersebut. Akan tetapi dia juga memanfaatkannya untuk mempelajari karya-karya tulis dalam berbagai bidang ilmu. Di antara ilmu yang dipelajarinya adalah etika, sosiologi, ilmu jiwa dan lain-lain. Sewaktu di Paris, dia bertemu dengan tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti al-Afghani dan Muhammad Abduh. Pertemuannya itu telah melahirkan diskusi hangat, terutama tentang prospek masa depan umat Islam secara umum dan bangsa Mesir secara khusus. Belakangan diketahui bahwa Qasim Amin termasuk salah seorang murid dari Muhammad Abduh tokoh pembaharu yang sangat rasional. Selesai pendidikan di Paris, ketika Qasim Amin kembali ke Mesir, dan dia mendapatkan pekerjaan di Niyabah al-Ammah (Kejaksaan Agung dan Peradilan).

Baca Juga:  Jemuran

Kemudian pada 1892 M dia diangkat menjadi Hakim Agung di Mahkamah al-Isti’naf. Kemudian bersama-sama dengan temannya Sa’ad Zaglul dia mendirikan al-Jami’ah al-Misriyah. Di samping itu dia juga aktif dalam organisasi sosial dan menyampaikan gagasan pembaruan. Sebagai seorang intelektual, Qasim Amin telah menghasil karya-karya yang sangat terkenal yaitu: Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Perempuan) terbit tahun 1899 M, dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan Modern) 1906 M, dan Gagasan tentang Kebebasan dan Pengembangan Daya Perempuan untuk Mencapai Kemajuan, sebagai penguat terhadap karyanya yang pertama tentang wanita. Ketertarikan Qasim Amin menulis tentang perempuan berawal dari kritikan yang dilakukan oleh seorang pemikir orientalis Perancis D’ Couhourt yang mengkritik tradisi bangsa Mesir dan para perempuannya yang kurang menikmati kebebasan. Qasim Amin berusaha menjawab kritikan tersebut dan membela tradisi bangsanya dengan menulis buku al-Misriyyun (Bangsa Mesir). Namun lima tahun kemudian, Qasim Amin menulis buku Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi Wanita). Isi buku tersebut memuat tuntutan pentingnya pendidikan bagi perempuan dan mengkritik tradisi hijab, talak di tangan suami dan poligami.

Pemikiran Qasim Ami

Melihat dari dua karya Qasim Amin, yaitu Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Perempuan) yang terbit tahun 1899 M dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1906 M, tampak bahwa pemikirannya lebih fokus kepada pengangkatan martabat wanita. Hal ini berbeda dengan al-Thahthawi yang hanya mengupas tentang pendidikan bagi wanita. Walaupun demikian, al-Thahthawi telah memberikan garis yang jelas tentang hak wanita sebagai anggota masyarakat, yang belakangan dikupas secara agak terperinci oleh Qasim Amin. Beberapa pemikiran yang dipandang sebagai ide-ide brilian Qasim Amin tentang masalah wanita terutama adalah masalah pendidikan bagi wanita dan hijab. Adapun ide-ide tersebut adalah sebagai berikut:

Tentang Pendidikan Wanita

Pendidikan bagi wanita dituangkan dalam karyanya yang berjudul Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Wanita). Qasim Amin mengatakan bahwa umat Islam mundur karena problem yang dialami kaum wanita. Hal ini didasarkan pada realita yang menunjukkan bahwa separuh dari penduduk Mesir adalah wanita. Mereka tidak mendapatkan pendidikan sekolah, mereka hanya berkutat dengan persoalan bagaimana mengatur rumah tangga. Padahal ada tanggung jawab yang diemban wanita selain itu, yaitu memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak. Bagaimana wanita akan bisa memberikan pendidikan dasar kepada anak sementara dia sendiri tidak mempunyai pendidikan. Untuk itu menurut Qasim Amin, pendidikan itu adalah hak semua orang, baik laki-laki maupun perempuan.

Baca Juga:  Bapak Yusuf Thoha : “ Dhawuh Kyai, Nggih Nggih.”

Lebih lanjut dikatakannya wanita itu sama seperti laki-laki, tidak ada perbedaan bila dilihat dari segi anggota badan, tugas, perasaan, pemikiran, dan hak kemanusiaan. Walaupun ada perbedaan antara keduanya, hanyalah perbedaan jenis kelamin. Qasim Amin lebih mempertegas lagi bahwa pendidikan bagi kaum wanita merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memajukan suatu bangsa. Pendapat ini adalah atas tinjauan dari segi statusnya sebagai seorang anggota masyarakat maupun sebagai ibu rumah tangga. Menurut Qasim Amin, wanita tidak akan bisa mengurus rumah tangga dengan baik apabila mereka tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Maka dari itu, wanita perlu diberi pengetahuan dasar (menulis dan membaca) sebagaimana halnya laki-laki. Apabila mereka mengetahui tulis baca, mereka akan bisa memahami berbagai ilmu pengetahuan dan dengan berbekal ilmu pengetahuan dasar ini mereka akan dapat memilih suatu yang sesuai dengan perasaannya dan akan dapat berbuat dengan penuh keyakinan.

Oleh : Malpha DT

[1] Erasiah, “Tokoh Emansipasi Wanita Islam di Mesir Pada Abad Ke 19 M”, Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender,  Vol. 4 No. 2 Tahun 2014, hlm. 202-218.