Gerobak Sayur Mang Eko

Diposting pada 60 views

Burung-burung bersautan merdu sekali. Embun tampak masih membasahi dedauan di sepanjang jalan setapak menuju Kampung Warna-warni. Tampak mentari masih malu-malu, namun hangatnya sudah dapat diprediksi akan menyelimuti hari itu. Pagi yang cerah itu disambut dengan penuh suka cita di hati seorang gadis bernama Rahmi. Ia yang sudah lama tidak menginjakkan kaki di kampung tercintanya itu, saat ini diberikan kesempatan untuk menyecap tidur hangat di ranjang berbalut sprei biru laut kesayangannya itu.

Sejak memasuki Madrasah Aliyah, Rahmi memang tidak lagi menjadi penghuni tetap di rumahnya. Hal ini karena pilihan yang ia ambil untuk bersekolah di pesantren yang menyediakan asrama juga. Menurutnya ketika itu, menuntut ilmu itu hukumnya wajib dan dengan keputusannya untuk masuk pesantren harapannya juga dapat membangun kemandirian dalam dirinya sendiri.

Rasa suka cita yang Rahmi rasakan sebenarnya cukup dilematis, karena kondisi dunia memang sedang berduka. Pandemi Covid-19 telah mengubah berbagai hal di hampir sepanjang tahun 2020 ini. Tak terkecuali sistem pendidikan di pesantren yang sejak April lalu kebanyakan sudah memutuskan untuk memulangkan santrinya untuk sementara waktu. Kemudian mengganti kelas diniyah dengan sistem online. Mungkin dunia sedang berwarna kelabu, abu-abu, namun hidup harus tetap berjalan bukan?

Pagi itu, Rahmi bangun dengan perasaan suka cita sekaligus haru. Menyadari bahwa di balik segala kesulitan pasti ada hikmah yang dapat diambil. Misalnya saja saat ini ia diberikan kesempatan pulang kampung, diberikan kesempatan untuk belajar secara online, diberikan kesempatan untuk memahami nikmat sehat itu mahal. Ketika Rahmi memandang ke luar jendela kamarnya, tampak Mang Eko, tukang sayur yang biasa berjualan dengan gerobak tengah dikerubungi ibu-ibu. Ya, beginilah rutinitas pagi di kampung.

Baca Juga:  Menikah: Mimpi Setiap Wanita

Nduk, tolong ibu dibelikan tempe di Mang Eko, kebetulan lagi berhenti di depan sana,” suara ibunya memecah lamunan Rahmi seketika.

Nggih, Bu, siap.” Rahmi bergegas ke dapur kemudian setelah ibu memberikan uang, ia langsung pergi untuk bergabung dalam kerumanan ibu-ibu di gerobak Mang Eko.

Lho, Rahmi, kamu sedang liburan, ya? Atau sudah selesai sekolah sama di pondoknya?”

Rahmi tersenyum, “eh Bu Ani, apa kabar Ibu? Alhamdulillah ini sedang diberikan kesempatan untuk menetap sejenak di rumah.”

Alhamdulillah baik, Nduk. Wah iya, karena keadaanya masih seperti ini, ya, Nduk. Ya sudah nggak apa di rumah dulu, malah ibu bapakmu jadi ada yang bantu.” Bu Ani dengan baju merahnya memang begitu cetar namun tetap terlihat sesuai.

Hehe, nggih, Bu. Insyaallah.

Ketika sedang asik bercakap-cakap dengan Bu Ani yang memang terkenal ramah, sebuah obralan mengalihkan perhatian mereka.

Eh Ibu-Ibu, tahu tidak kemarin itu waktu Hari Natal mosok Bu Nun update ucapan Selamat Hari Natal di status Instagramnya. Wong edan yo, Bu.” Bu Rumi mengabarkan berita itu dengan suara nyaring sehingga semua ibu-ibu langsung menoleh ribut ke arahnya.

Lah mosok iyo to, Bu? Jangan suka mengada-ada loh Bu Mi ini.” Bu Laili tampak tidak percaya, karena Bu Nun itu memang seseorang yang terpandang dan disegani di kampung itu.

Lah gimana to, Bu Lail itu, ha kok nggak percaya. Aku sendiri lihat kok.” Raut muka Bu Rumi begitu meyakinkan.

Lah nek begitu hukumnya gimana, ya, Bu Rum?” Bu Jannah tiba-tiba ikut masuk dalam obrolan.

Baca Juga:  Manisnya Nestapa, Penghibur Kalbu

Yo ndak boleh to Bu Nah, haram kaya begitu itu hukumnya. Wong kita itu nggak seagama kok, mosok iya ngucapke hari raya untuk agama lain.” Ibu-ibu di situ tampak manggut-manggut. Entah setuju atau ikut-ikutan setuju karena tidak tahu harus bersikap dan berpendapat apa.

Lho tapi kan sekarang jamannya toleransi, Bu. Apa masih jamannya berdebat soal begitu?” Bu Laili kembali angkat suara sembari memberikan uang kepada Mang Eko.

“Sip, pas ya, Bu, uangnya.”

“Oke Mang, siap.”

“Mang, tempenya satu, ya,” Rahmi memberikan uang juga ke Mang Eko.

“Siap, Neng Can. Ini kembaliannya, ya.”

Matursuwun, Mang.”

Eh Rahmi, sini-sini. Iki lho ibu-ibu ada Rahmi yang anak pondokan. Nek pada ngeyel mari kita tanya Rahmi,” Bu Rumi menarik tangan Rahmi untuk mendekat ke arahnya.

(Klik page 2 untuk kelanjutannya)