Al-Munawwir-Komplek-Q-Idul-Adha

Idul Adha: Keberanian dan Kebesaran Hati dalam Menerima Ujian Ilahi

Diposting pada

Siapkah kita apabila sewaktu-waktu Allah meminta apa yang murni adalah milik-Nya dengan keberanian dan kebesaran hati seperti Nabi Ibrahim?

Sejenak merenungi apakah ujian adalah buah dari kelalaian kita? Apakah karena banyaknya perbuatan dosa kita? Atau ini memang ujian dari Sang Khaliq kepada kita?

Perjalanan hidup di dunia tidaklah luput dari rasa takut, gelisah, dan bingung. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an bahwa manusia akan diuji dengan ketakutan, rasa kekurangan akan harta benda atau makanan, kegelisahan atas hal-hal duniawi.

Sisi Historis dari Perayaan Idul Adha

Idul Adha adalah salah satu hari raya umat Islam yang jatuh pada setiap tanggal 10 Djulhijjah. Hari raya Idul Adha identik dengan dua ibadah, yakni haji dan kurban. Dalam tuntunan agama Islam, kedua ibadah ini hanya bisa dilakukan pada bulan Dzulhijjah. Hari raya Idul Adha, haji, dan kurban tidak bisa dipisahkan dari kisah perjalanan dan perjuangan hidup Nabi Ibrahim beserta keluarganya.

Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang mendapat laqab (julukan) Abul Anbiya (bapaknya para nabi). Julukan tersebut diberikan lantaran Allah menganugerahkan anak, cucu, dan keturunannya sebagai nabi.

Dalam sejarah Islam, Nabi Ibrahim dikenal sebagai sosok yang kaya raya tetapi tidak lalai dalam ketaatan kepada Allah. Nabi Ibrahim memiliki 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 unta. Riwayat lain mengatakan bahwa jumlah ternak Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor. Namun ia mengatakan harta kekayaan tersebut adalah milik Allah, bahkan ia akan memberikan semuanya apabila Allah menghendaki termasuk memberikan putra kesayangannya, Ismail.

Pernyataan Nabi Ibrahim tersebut yang kemudian menjadi dasar Allah menguji iman dan takwa Nabi Ibrahim. Melalui mimpi, Allah meminta puteranya, Ismail yang masih berusia 7 tahun untuk disembelih. Penantian Nabi Ibrahim dan istri akan kehadiran buah hati tidaklah sebentar, akan tetapi Nabi Ibrahim mendahulukan dan menaati perintah Allah.

Asal-usul Puasa Tarwiyah dan Arafah

Pada awalnya, Nabi Ibrahim ragu akan mimpi tersebut. Ia pun melakukan perenungan mengenai mimpi tersebut, berasal dari Allah atau syetan. Peristiwa tersebut diabadikan dengan nama Tarwiyah yaitu hari perenungan dan kita disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah. Buah dari perenungan, Nabi Ibrahim kembali bermimpi hal yang sama dan meyakini bahwa mimpi tersebut berasal dari Allah SWT. Peristiwa ini diabadikan dengan nama hari Arafah yang berarti “mengetahui” dan kita disunnahkan untuk berpuasa pada tangal 9 Dzulhijjah.

Setelah Nabi Ibrahim meyakini perintah itu datang dari Alah, maka ia pun menyampaikan dan berdiskusi dengan puteranya, Ismail, yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat As-Shaffat ayat 102.

Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Datanglah hari Ketika Nabi Ibrahim dengan keberanian, kebesaran hati, keimanan, dan ketakwaannya serta Ismail dengan keyakinannya melakukan prosesi penyembelihan. Diwaktu yang bersamaan, setan terus-menerus membisikkan kepada mereka untuk berhenti. Untuk mengusir setan yang mengganggu, Nabi Ibrahim melemparinya dengan batu yang kemudian diabadikan dalam ritual ibadah haji, yakni melempar jumrah.

Tidaklah sampai Ismail disembelih, Allah menggantinya dengan seekor domba yang dibawa oleh malaikat Jibril sebagai pengganti Ismail dengan berseru “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Takbir ini disambut Ibrahim dengan “Lailaha illahu Allahu Akbar” yang kemudian disambung oleh Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.” Dari peristiwa epik inilah, umat Islam kemudian disyariatkan untuk menyembelih hewan kurban di hari raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Peristiwa ini juga menegaskan bahwa seseorang dilarang keras mengalirkan darah manusia (membunuh).  Lantas, apa hikmah yang bisa kita ambil?

Hikmah di balik Kisah

Nabi Ibrahim selain mendapat julukan Abul Anbiya, juga mendapat julukan Khalilullah (kekasih Allah) pun tidaklah mudah perjalanan hidupnya. Allah menguji kesetiaan dan kepatuhannya dengan perintah yang sangat berat, yaitu mengorbankan putranya, Ismail, sebagai tanda pengabdian kepada-Nya. Nabi Ibrahim menerima perintah ini dengan hati yang lapang, menunjukkan keberanian dan kebesaran hati yang luar biasa. Ia siap melaksanakan perintah itu sebagai bentuk ketaatan yang tulus kepada Allah.

Allah memiliki banyak cara untuk menunjukan kasih sayangnya sekaligus menguji kecintaan manusia kepada-Nya. Salah satunya dengan memberikan ujian. Ujian hidup merupakan sunnatullah yang tidak mungkin dihindari. Setiap manusia mengalami ujian dengan kadar yang berbeda-beda. Harapannya agar manusia dapat mengambil hikmah dibalik ujian tersebut.

Dari historis peringatan Idul Adha, apabila kita menarik sisi historis ketika zaman itu, Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih Ismail, maka pada zaman sekarang Ismail adalah hal-hal duniawi, harta, jabatan, pangkat, nasab dll. Dan menjadi cermin bagi kita bawa kekayaan, jabatan, dll yang kita miliki bukanlah hak seutuhnya, selain hal tersebut adalah milik Allah, ada hak orang lain yang Allah titipkan melalui amanah tersebut.

Siapkah kita apabila sewaktu-waktu Allah meminta apa yang murni adalah miliknya dengan keberanian dan kebesaran hati seperti Nabi Ibrahim? Wallahu A’lam Bishawab.

 

Oleh: Ria Audina

Sumber : Pengajian Jumat pon bersama Ust. Agus Najib

Pictured by Moaz Tobok on Unsplash