Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali : Batu Asah Tumpul yang Selalu Menajamkan Sekitarnya

Diposting pada 1,704 views

Imam Al Ghazali merupakan seorang sufi yang mampu menggabungkan antara fiqih dan tasawuf. Dengan usia yang berkisar 53 tahun (1058 M – 1111 M) beliau telah menghasilkan karya-karya terhitung hingga 250 lebih. Salah satu yang dianggap masterpiece atau fenomenal ialah Kitab Ihya’ Ulumuddin. Di antara kitabnya ialah 72 kitab pasti Imam, 22 kitab yang diragukan berasal dari beliau, 31 kitab lebih layak dianggap bukan karya beliau (biasanya membahas tentang jimat, sihir dan ilmu hitam), 96 kitab-kitab kecil yang diambil dari kitab besar Imam, 106 kitab yang tidak memiliki identitas dan kemungkinan besar milik Imam, serta 76 buah manuskrip yang disandarkan pada beliau.

Nama aslinya ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Abu Hamid (putranya bernama Hamid), Al Ghazali (nama desa beliau, Ghazalah), Ath-Thusi (Kabupaten), An-Naisaburi (Provinsi), Al Faqih (kompetensinya dalam bidah fiqih), Ash-Shufi (gelar kompetensi), Asy-Syafi’i (bermadzhab fiqh syafi’i), Al-Asy’ari (bermadzhab kalam Asy’ariyah). Imam Al Ghazali memiliki seorang saudara bernama Ahmad.

Di antara keistimewan dua bersaudara ini menurut Dr. Fahruddin Faiz dalam sebuah ceramahnya, ialah berawal dari ayah mereka. Ayah Imam Ghazali bukanlah seorang yang terkemuka, melainkan hanyalah seorang pemintal benang yang miskin. Namun, ada yang mengatakan bahwa ayah beliau ini rajin hadir dalam majelis-majelis ilmu Ulama. Setelah pulang dari sana, beliau selalu menangis di hadapan Allah karena terkesan pada keilmuan para ulama itu. Akhirnya, doa ayahnya itulah yang mengantarkan dua putranya menjadi para ulama hebat bahkan terkemuka.

Baca juga Untukmu Sang Pemilik Rindu

Singkat cerita, sebelum ayahnya meninggal beliau menitipkan dua putranya yang masih kecil kepada tetangganya yang merupakan seorang ustaz. Dengan pesan agar kedua putranya itu dibesarkan dengan mendapat pengajaran ilmu-ilmu agama. Namun, karena perbekalan atau sangu dari ayahnya tidak mencukupi, akhirnya selang beberapa waktu ustaz itu mengirim Imam Ghazali dan adiknya  ke sebuah madarasah.

Imam Al Ghazali belajar ke beberapa guru, salah satunya adalah Imam Al Juayni di Nisabur, tokoh madzhab Asy’ariyyah yang terkenal cerdas. Namun berkat ketekunannya, Imam Al Juayni mengakui bahwa dirinya telah dilampaui keilmuannya oleh Imam Al Ghazali. Imam Al Juayni jugalah yang mengantarkan Imam Ghazali dalam perjalanan karirnya, yakni mengenal Nizamul Mulk, seorang perdana menteri Dinasi Abbasiyah, sebelum akhirnya beliau menjadi Rektor di Madrasah Nizamiyah.

Kemasyhuran beliau diangkat melalui luasnya ilmu yang beliau miliki. Dr. Fahruddin Faiz memetakan beberapa kompetensi Imam Ghazali, yakni dalam bidang fiqih-ushul fiqih, ilmu kalam-ilmu mantik, filsafat-hikmah serta akhlak-kasyaf. Hingga mendapat gelar sebagai hujjatul islam. Menariknya, meski kealimannya sudah terakui, beliau adalah orang yang tidak pernah puas dengan ilmunya hingga tua bahkan sampai wafat. Keinginannya yang terkenal ialah ingin menguasai ilmu hadis. Kabarnya, sebelum meninggal beliau memegang kitab Bukhari Muslim.

Baca Juga:  Mehmed II Al Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel hingga Berubahnya Hagia Sophia

Pada ulama Nusantara sendiri, terdapat beberapa yang mengutip pemikiran Imam Ghazali dalam karya-karyanya. Di antaranya :

  • Sunan Bonang, Primbon Bonang sebagian besar mengambil dari karya Imam Ghazali.
  • Abdul Shomad Al Palimbangi, terkenal sebagai juru bicara Imam Ghazali.
  • Syekh Nawawi Al Bantani
  • Syekh Kholil Bangkalan
Baca juga Pengangkatan Umar bin Khattab
  • KH. Sholeh Darat, dianggap sebagai Imam Ghazali dari Jawa. Di antara karamahnya Imam Ghazali ialah ketika suatu malam KH. Sholeh Darat menyusun syarh kitab Ihya’ Ulumuddin, datang orang tinggi besar mendatangi dan mengbrol bersama Kiai Sholeh, orang itu ialah Imam Ghazali, yang mana menurut pengakuan KH. Sholeh, beliau datang untuk memberi masukan atas kitab yang hendak Kiai Sholeh tulis.
  • Syekh Ihsan Jampes
  • Hasyim Asy’ari

Di antara karomah Imam Ghazali yang lain ialah ketika terdapat ulama yang bernama Abu Abdullah bin Zayd membaca kitab yang isinya mengkritisi dengan menyesat-nyesatkan Imam Ghazali. Matanya tiba-tiba tidak bisa melihat. Sebelum akhirnya beliau bertaubat.  Cerita ini diambil dari kitab Jami’ karomah al-Auliya’.

Selain itu, terdapat suatu ulama bernama Syaikhul Kabir Imam Ali bin Hamzah Al-Magribi, pembenci Imam Al Ghazali. Bahkan pernah mengumpulkan murid-muridnya untuk membakar kitab Ihya’ Ulumuddin. Hingga suatu malam Imam Maghribi tersebut bermimpi bertemu Imam Ghazali dan diajak menemui Rasulullah yang kebetulan sedang bersama Abu Bakar dan Umar di suatu masjid. Imam mengadukan perlakuan Syekh tersebut kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah menanggapi bahwa kitab tersebut bagus dan isi semuanya membawa kepada kebaikan dan kebenaran.

Setelah itu, Rasulullah memerintahkan Umar untuk mencambuk Syekh Maghribi tadi karena kebohongannya mengatakan kitab Ihya’ Ulumuddin tidak benar dan sebagainya. Akhirnya setelah 50 kali cambukan, Abu Bakar membelanya dan mengatakan pada Rasulullah bahwa mungkin Syekh Maghribi ini salah paham menganggap kitab ini bertentangan dengan sunnah, ia hanya perlu belajar lagi. Akhirnya Rasulullah menyuruh menghentikan itu. Keesokan paginya setelah bangun, Syekh Maghribi menemukan punggungnya dipenuhi bekas cambukan dan rasa sakitnya terasa hingga bertahun-tahun. Ia pun akhirnya bertaubat, bahkan menjadi orang yang banyak mengkaji pemikiran Imam Ghazali.

Baca Juga:  Al-Khazini: Penemu Pertama Teori Gravitasi
Baca juga Tips Menjadi Cantik Luar dan Dalam

Awalnya Imam Ghazali terkenal sebagai tokoh intelektual. Adapun yang membuat dirinya hingga menjadi sufi sekarang ini, ialah karena adiknya (Ahmad), yang merupakan tokoh sufi sejak awal. Suatu hari, ketika Imam Ghazali sedang ceramah, beliau diteriaki oleh adiknya dengan sebuah kalimat sindiran. “Wahai Batu Asah! Sampai kapan kau menajamkan sesuatu tapi kau sendiri tidak tajam?”.

Di lain waktu ketika sholat, Imam Ghazali menjadi Imam dan adiknya menjadi makmum. Namun, Syekh Ahmad, adik Imam Ghazali memilih mufaraqah (memisah diri dari imam). Setelah sholat kemudian Imam bertanya mengapa ia mufaraqah, padahal syarat maupun rukun dalam sholat tidak ada yang salah atau terlewati. Kemudian Syekh Ahmad menjawab, “Saat aku sholat, aku melihat tubuhmu berlumuran darah. Karena darah itu, aku menganggapmu batal. Maka aku memisah diri darimu”. Seketika Imam Ghazali ingat, bahwa ketika shalat beliau memikirkan bab fiqh tentang haid. Kemudian Imam Ghazali yang penasaran bertanya pada adiknya, tentang kemampuannya dalam melihat seperti itu.

Akhirnya, setelah mengalami kegelisahan-kegelisahan dalam beberapa waktu, Imam Ghazali memutuskan untuk melakukan uzlah, memisahkan diri dari khalayak ramai guna mencari ilmu yang hakiki. Beliau mengunjungi beberapa tempat : Makkah, Syam, dan Damaskus. Dari uzlah terakhirnya dan yang terlama (Damaskus) inilah beliau menulis sebuah masterpiece, Ihya’ Ulumuddin. Di mana mahakarya tersebut memuat isi yang memadukan antara ilmu tasawuf dengan fiqih, karena saat itu selain cendekiawan, beliau telah menjadi sufi.

Baca juga Bukan Menghindar, Merangkul Pasien Pengidap HIV/AIDS Juga Bisa Jadi Pilihan

Namun, setelah ia menjadi sufi, beberapa orang meragukan kecendekiawanan beliau. Menganggap bahwa keintelektualannya pasti tidak sama seperti sebelum beliau menjadi sufi. Hingga suatu ketika para ulama melakukan pengetesan terhadap beliau untuk mendeteksi keshohihan sebuah hadis. Karena kompetensinya yang sudah menjadi sufi, alhasil beliau memilki cara tersendiri dalam mendeteksi hadis tersebut, yakni dengan menciumnya. Jika wangi maka itu adalah hadis shohih, dan sebaliknya.

Demikianlah sekelumit biografi Imam Ghazali, tokoh terkemuka yang sulit mencari orang yang tidak mengenalnya. Sebenarnya, akan lebih dapat mendorong kita dalam menuntut ilmu jika kita juga mendalami pemikirannya.

Oleh: Sayyidah Lathifah

Sumber: Kanal Youtube

Picture by nu.or.id