Ngaji Fiqih Nisa’: Cara Islam Memuliakan Perempuan (1)

Diposting pada

Dalam literatur kitab klasik, hampir tidak ada istilah “fiqih nisa’” secara khusus. Fiqih nisa’ masuk dalam pembahasan-pembahasan empat klasifikasi fiqih secara garis besar: fiqih ibadah, fiqih muamalah, fiqih munakahah, dan fiqih jinayah-siyasah. Bahkan dalam al-Qowaid al-Fiqhiyah tidak ada kajian khusus tentang perempuan, ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan secara konsep adalah sama, yang membedakan hanya di wilayah-wilayah hukum furu’.

Diskusi tentang fiqih nisa’ mulai marak karena munculnya anggapan pada tafsir ulama-ulama mutaqoddimin yang terkesan mengesampingkan dan menomorduakan  perempuan, namun penafsiran ulama terdahulu tentang fiqih-fiqih perempuan tidak bisa lepas dari konteks pada masa itu. Termasuk juga kondisi sosial, budaya, dan politik yang mempengaruhi. Ruang-ruang diskusi tentang fiqih perempuan yang sering terekspos adalah tentang pelabelan negatif pada perempuan. Seperti bahwa akal perempuan adalah setengah akalnya laki-laki, domistikasi peran, poligami, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, nikah mut’ah, khitan perempuan, melamar, hak ijbar (memaksakan menikah oleh ayah/ kakek), dsb.

Kedatangan Islam Membawa Kesejahteraan bagi Perempuan

Hakikatnya agama Islam datang membawa angin segar bagi perempuan. Karena pada abad ke 5-7 belum ada agama yang membahas perempuan dengan penghargaan. Dalam Al-Qur’an terdapat surat-surat khusus tentang perempuan, yaitu surat An-Nisa dan surat Maryam. Di antara kitab-kitab yang menjelaskan peran dan kemuliaan perempuan dalam Islam ada kitab Nisa’ Khaula ar-Rasul, menjelaskan tentang tokoh-tokoh perempuan yang berada di sekitar Rasulullah. Terdapat juga kitab Tahrir al-Mar’ah fii Asr ar-Risalah karya Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, kitab ini membahas tentang penguatan hak-hak perempuan dalam Islam dari teladan Rasulullah Saw. Tahrir al-Mar’ah fii Asr ar-Risalah berisikan hadis-hadis tentang perempuan yang dinukil dari Kutubus Sittah (6 Kitab Induk Hadis).

Memahami persoalan-persoalan fiqih tentunya tidak bisa hanya melihat dari kasus per kasus saja. Salah satunya harus memperhatikan ushul fiqih, secara sederhana ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Sedangkan fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang berasal dari dalil-dalil yang terperinci. Ushul fiqh bersifat umum, sedangkan fiqih bersifat khusus. Tokoh ushul fiqih yang sangat masyhur adalah Imam Syafi’i.

Perbedaan Kodrat dan Gender

Kembali membahas tentang perempuan, diskusi tentang perempuan biasa menghadirkan dua istilah, yaitu kodrat dan gender. Kodrat dengan gender adalah dua hal yang berbeda. Kodrat perempuan dalam pengertian yang esensial dapat bermakna sebagai fitrah biologis yang melekat pada tubuhnya. Jika demikian, maka kodrat perempuan hanyalah 3, yakni haid, hamil, dan menyusui. Selebihnya, seperti memasak, pekerjaan domestik rumah tangga, bukanlah kodrat perempuan. Pasangan yang setara dan berkeadilan akan membagi peran pekerjaan domestik secara adil. Perempuan memiliki kodrat yang berbeda dengan laki-laki tapi tidak boleh pembedaan secara sosial dan budaya, ini yang kemudian menjadi definisi dari gender. Gender adalah peran sosial yang diberikan masyarakat untuk perempuan dan laki-laki.

Baca juga Kajian Fikih Perempuan, Penting tak Hanya bagi Wanita

Kehadiran Rasulullah membawa ajaran Islam mendobrak anggapan sempit masyarakat jahiliyah bahwa perempuan hanya boleh di rumah, melayani dan patuh penuh pada suami, dst. Pada zaman Rasul, perempuan mempunyai ruang untuk berkontribusi, berkarya, dan bermanfaat bagi sesama. Perempuan memiliki kesempatan di ruang ilmu dan pendidikan. Para shahabiyat atau sahabat perempuan menekuni berbagai bidang dan profesi, ada yang  menjadi pekebun, petani, guru, dokter, pedagang, bahkan posisi penting seperti kepala pasar. Kepala pasar jika menyesuaikan dengan kondisi sekarang dapat berarti sebagai Menteri Perdagangan.

Zaman sekarang masih ada perempuan  yang cenderung terbatasi akses pendidikannya. Padahal jika menilik fakta sejarah, banyak ulama-ulama besar yang memiliki guru perempuan, contohnya Imam Syafi’i memiliki seorang guru perempuan yang sangat cerdas dan menguasai fiqih yaitu Sayyidah Nafisah binti Hasan. Rasul sangat memberi ruang bagi perempuan untuk belajar dan berperan. Hal ini menunjukkan bahwa Rasul sebagai role model dalam Islam sangat memberi ruang dan menghargai perempuan, sesuai dengan spirit Islam yang sebenarnya, tidak mendiskreditkan perempuan.

Perempuan di Zaman Jahiliyah dan Masa Kini

Beberapa waktu setelah zaman kerasulan, masyarakat Arab kembali membatasi gerak dan peran perempuan, perempuan kembali terkurung di rumah. Tidak boleh berinteraksi dan bermuamalah dengan dunia luar kecuali jika ditemani dengan suami/ saudara laki-lakinya, termasuk juga dalam hal perdagangan. Karena hal itu perempuan menjadi tidak paham mengenai urusan jual-beli (buyu’), akad salam, dan hal-hal fiqih lain mengenai transaksi. Karena alasan inilah ulama mutaqoddimin menganggap kesaksian perempuan dalam hal muamalah dihitung setengahnya laki-laki, karena perempuan tidak memiliki akses untuk mengetahui dan terjun langsung dalam muamalah. Namun di masa sekarang, perempuan sudah mendapat akses yang setara dengan laki-laki, sudah banyak perempuan yang menjadi pelaku dan pemilik usaha, melaksanakan praktik jual-beli secara langsung, sehingga kesaksian perempuan setara dengan kesaksian laki-laki.

Simak pembahasan selanjutnya→

Oleh: Hanin Nur Laili

Foto : Dokumentasi Pribadi

Sumber:

Ngaji Fiqih Nisa’ dalam Rangkaian Orientasi Studi dan Pengenalan Pondok Tahun 2021 dengan Narasumber Ustaz M. Ikhsanuddin, MSI. (Dosen Tafsir di Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur Ngrukem, Yogyakarta).