Pondok-Pesantren-Al-Munawwir-Komplek-Q-Hari-Guru

Guru: “Di Gugu lan Di Tiru”

Diposting pada 89 views

“Setiap Orang Menjadi Guru, Setiap Rumah Menjadi Sekolah”

Guru secara umum adalah “di gugu lan ditiru”. Sehingga kehadirannya begitu dihormati dan apa yang diajarkan selalu ditiru. Sapaan guru jika di pondok pesantren adalah Kyai, ibu Nyai, atau asatidz-asatidzah. Ilmu yang diajarkan pun beragam, dari mata pelajaran, hingga moral, integritas, etika, karakter, serta kepekaan akal dan hati.

Sebenarnya guru tidak hanya di pondok pesantren atau dibangku sekolah, namun kita bisa menemui seorang guru dimana pun kita berada. Dengan kata lain kita bisa berguru kepada siapapun. “Kok bisa?”, “bukankah guru adalah orang-orang pilihan?”

Mungkin, sebagian orang akan menyangkal dan menolak hal tersebut. Sebab faktanya, banyak orangtua yang susah payah menyekolahkan putra-putrinya di sekolah atau di lembaga yang unggul dan favorite. Namun, bagi saya “Setiap orang menjadi guru” sebagaimana yang telah dipetuahkan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Baca Juga:  Hari Guru Nasional: Wujud Apresiasi Terhadap Sang Penerang Ibu Pertiwi

Sebab, dari siapapun kita bisa belajar dan mengambil ilmu darinya. Sebenarnya pun, guru tidak hanya bertanggung jawab mengajarkan mata pelajaran di ruang kelas beserta tugas-tugasnya. Lebih dari itu, guru juga berkewajiban mengajarkan nilai moral, integritas, etika, karakter, serta kepekaan hati dan pikiran. Hal tersebut bisa diperoleh dari siapapun dan darimana pun.

Contohnya, ketika kita berinteraksi dengan orang yang santun, sikap dan tutur katanya yang menyejukkan, enak diajak ngobrol, pendengar yang baik, dan ternyata dia adalah orang yang cendekiawan atau berintelektual. Mudah sekali mengambil pelajaran darinya.

Saat berinteraksi dengan orang sarkas yang arogan, maunya menang sendiri, sombong, nada bicaranya ketus. Apakah bisa kita mengambil pelajaran darinya? Tentu masih bisa. Dari mengenal sifat dan sikapnya yang seperti itu, pelajari latar belakang sosial ekonominya, tingkat pendidikannya, usia, dan faktor yang lainnya.

Kita bisa mengambil benang merah dan menyimpulkan “oh orang ini begini sebab ini”. Dari sana kita juga bisa mengambil sisi positifnya, belajar dengan menghindari sifat yang seperti itu dan membuang sisi negatifnya. Atau ketika berinteraksi dengan orang-orang sepuh atau moyang-moyang kita, kita akan belajar banyak hal dari beliau tentang tradisi, budaya atau sejarah tradisional.

Baca Juga:  Ngaji Akhlak : Nasihat Guru Kepada Muridnya

Dari hasil interaksi tersebut kita sebagai generasi milenial pun bisa berbagi ilmu kepada beliau, tentang kemajuan-kemajuan yang ada sekarang ini. Apapun serba mudah karena sekarang era digital. Di era digitalisasi seperti sekarang, hanya dengan mengakses internet dengan keterbatasan ruang dan waktu, kita bisa berkelana ke berbagai tempat yang disebut “kelas” dengan belajar apapun dari siapapun “Guru”.

Mencari sesuatu yang kita butuhkan seperti mengikuti berita terkini, konten travelling, belajar bahasa manca negara atau tips-tips lain yang bisa diambil juga ilmunya. Namun, tidak semua ilmu bisa sembarangan diakses dan didapat dari siapapun, seperti ilmu fikih, tasawuf, akhlak, dan ilmu lain yang membutuhkan sanad yang jelas.

Di pondok pesantren kita juga bisa berguru kepada sesama teman kita, atau senior kita yang memiliki keahlian di bidangnya. Sehingga, ketika kita menganggap “semua orang menjadi guru” didalam diri kita tertanam rasa takdzim dan tawadlu’ sehingga tidak merasa sombong dengan ilmu yang dimiliki dan merasa orang lain lebih berilmu dari diri kita. Tetapi tidak melupakan kemampuan diri kita sendiri ketika keahlian kita dibutuhkan di lingkungan sekitar.

Menurut kalian, siapa lagi yang bisa menjadi guru ?

 

Penulis: Fariha Fauziah

Foto: Arsip Media Komplek Q