Kubertanya pada pohon Kapan terakhir kali aku sembahyang membawa hati? Namun pohon hanya menjatuhkan daun Kubertanya pada angin Kapan terakhir kali aku sembahyang membawa jiwa? Namun angin hanya memainkan ujung kerudungku Kubertanya pada laut Kapan terakhir kali aku sembahyang membawa air mata kepasrahan? Namun lagi-lagi tidak ada jawaban Sekali lagi,

Yang membuat kenyang itu beda-beda memang   Ada yang kenyang makan roti, ada yang kenyang makan sego pecel Pun ada yang belum kenyang makan nasi padang   Ada yang kenyang dengan shodaqahnya, ada yang kenyang dengan kepintarannya Ada yang kenyang dengan kerajinannya, ada pula yang kenyang dengan sembayang   Ada

Aku tenggelam lamunan panjang Ketika mata sudah berlinang Hati gundah ta bertulang Ya Robb.. Rasanya ingin bersandar Hempaskan segala debar Memujanya dengan mulia Dengan aliran air mata tiada tara Ya Robb.. Aku ingin dekapan itu Memujaku tanpa ragu Mendekapku terus Tanpa takut kembali putus Masih lamunan panjang itu Memanggil dengan

Seperti judul lagu yang harus didengar dan dirasa Seperti itukah batin iri mendengar? Dalam setiap denting sendok dan garpu di atas mangkok, Seperti itukah sisa-sisa pesan diabaikan? Bunyi takbir yang keluar dari mulut nantinya sia-sia Irama yang keluar dari anggota tubuh tak lagi berguna Yang Maha dari segala-gala Maha tak

Ini Negri Kami !! Ini negri kami!! Bukan hanya negri para petinggi Ini negri kami!! Bukan hanya milik para politisi Ini tanah air kami!! Bertumpah darah satu tanah air Indonesia Indonesiaku Negri Demokrasi Bukan negri yang semaunya sendiri Indonesiaku cinta diskusi Tidak suka mengambil keputusan sendiri Indonesiaku tulus memberi Bukan

Terhitung sejak Maret dua ribu dua puluh.  Kursor tetap berkedip, masih bertanya perihal pandemi. Kepala yang sebelumnya tak berisi, kaget bukan kepalang, tetiba sesak penuh kabar pandemi tak kunjung henti.  Nikmat menghirup dunia, sudah direnggut paksa selama hampir lima bulan—ini. Gelas berisi air lemari es ku di sebelah ku bertanya

Ada apa dengan jam dinding pagi ini? Langkahnya senyap tak bertenaga Lunglai lemas seperti hendak mati saja Bahkan dentingnya tak lagi berirama Ku tengok berkali-kali Jarumnya masih istiqomah di sana Tak beranjak jauh, kaku, membisu Ada apa dengan jam dinding pagi ini? Setiap detiknya seakan meledekku Atas kelakuan cacing dalam

Kerlap kerlip cahaya malam ramadhan Bulan dan bintang seakan bernyanyi Angin seperti memberitahukan Semesta bergejolak seakan mengikuti Alunan adzan bersautan Adzan magrib seketika dirindukan Ah…ramadhan Bulan berkah penuh ampunan Canda, tawa, sedih, gembira Dosa tak dihitung banyak Pahala dilipat gandakan Semua umat berlomba dalam kebaikan Bulan yang dinanti-nanti Bulan yang

Senjaku di kota Yogya  Mengingatkan nanti, kala aku pergi Kota pendidik dengan beribu santri Melahirkan para pencipta literasi Senjaku di kota Yogya Mengingatkan nanti, kala aku berkelana diri Mengamati para Abdi  Yang masih setia nguri tradisi Senjaku di kota Yogya Mengingatkan nanti, kala aku berguru bakti Berjuang bersama kawan negeri

Kisah ini telah diceritakan Sejak aku dan kamu dilahirkan Ada aura perjuangan Tentang sebuah pembelajaran   Aku tahu dan kamu tahu Hidup adalah pembelajaran Ada kalanya mencari tahu Perihal luka, cinta, dan impian   Pijakan kakiku di bumi Pijakan kakiku di angan Namun, bersemi saat ini Pada harapan kesuksesan