Luka terlukis bangga Memori masih segar terasa Rasa sakit itu seolah cinta  Bukan miris tapi gerakan jiwa              Bukan aku tapi kita              Bukan lagi kita tapi inilah bangsa              Merangkak demi merdeka               Berderai darah bercampur air mata Lihatlah kami hai anak negeri Semangatlah meraih mimpi Tegakkan negeri hari ini Demi Ibu Pertiwi

Ia hidup dalam puing puing rindu Yang memecahkan kaca kasih sayang Yang merobek jiwa lemahnya Ia tetap bersyair dalam nestapanya Berharap ekspetasinya menjadi nyata   Sejenak ia tergugu, apa benar itu adalah inginya Atau hanya sekedar nafsu yang menguasainya Karna ia rasa perasaan itu membuncah Ia rasa perasaan itu juga

Cabikan dan cambukan yang marak beredar.. Menyerakkan jiwa yang luluh lantah berhamburan.. Hiruk pikuk kasus korupsi, Menjadi ladang padi bagi seekor tikus berdasi… Dunia politik yang tak punyai rem pegangan, Menjadikan titik pondasi sebuah pertengkaran, Pertengkaran yang tak kunjung timbul perdamaian.. Pertengkaran yang selalu berujung kehancuran, Pertengkaran yang menyisakan sebuah

Berilah waktu pada dirimu Untuk menikmati sepi Untuk berbijaksana pada denyut hidup yang begini adanya Luangkanlah untuk hatimu Sebuah ruang napas tanpa batas Biarkan ia hakimi tiap duka dengan tabah cinta Hidup ini tentang kasih dan perih yang fana, kawan Dekaplah erat hembus hangat napas yang terbuang percuma Hanya sekedar

Ijinkan aku mengenang Bapak tanpa derai air mata Biarkan aku memahat sosok Bapak di hati dan jiwaku dalam sukacita Karena Bapak yang menerbitkan rinduku adalah sosok Bapak yang lucu Menghidupkan suasana penuh gembira dan suka bercanda Ada santri dijuluki dakocan Ha ha haa Kurasa tak ada yang marah dan tersinggung

    Ku pernah dibenamkan dalam perut bukit Dalam kesunyian dan kegelapan Kau datang membawa lentera penerang Ku pernah tersesat dan bimbang Kau pun datang tunjukkan jalan Ku putuskan untuk berhenti dan menetap Di tempat yang penuh makna ini Tempat yang bernama pondok pesantren Al Munawwir Komplek Q Di tempat

Ibaratkan saja kau jarum dan aku benangnya Jarum selalu menjadi imam dalam merajut Dan benang sebagai makmumnya Kau melangkah di atas kanvas biru itu Dengan penuh ketelitian kau injakkan kaki runcingmu Hingga menembus lapis ke tujuh Sebagai makmum aku pun patuh Sejurus kemudian  Terlihat benang kuning kemerahan Dipintal hitam keunguan

Bulan Ramadhan, bulan mulia Yang dinanti sepanjang masa Menganugerahkan banyak pahala di dalamnya Untuk umat muslim semata Takjil tersebar di mana-mana Hampir seluruh masjid di Yogyakarta Manusia berlomba-lomba Untuk menggali berkah-Nya Azan Maghrib bergema Membuat kita bergegas berbuka Untuk membatalkan puasa Karena Allah Ta’ala Oleh: Ismaya Warodatul Janah Photo by Naim

Teriak air hujan turun bergantian Wanita itu, menatap gubuknya Dindingnya mulai retak Ia sendirian, di bawah purnama Memeluk angan, yang tak ada wujudnya.   Hujan telah meninggalkannya Di kala malam semakin padam, Ia melihat bayangan.   Mimpi…   Mimpi yang sangat jauh di sana Di balik planet, di antara bintang

Apa yang indah dari sebuah kehilangan? Hanya berteman sepi, layaknya kayu di tengah lautan Apalagi harapan Ketika alam tak mau lagi berbagi kehidupan? Tinggal sendiri, terlunta-lunta mengeja setiap jejak kaki Bukan meronta, namun ku sadari hidup ini semakin tak berarti Kini pondasi itu telah runtuh Tiang-tiang berdebum walau hanya disentuh