Sepuluh menit di ruang tak bernama menatap cermin yang belingsatan “siapa ini, asing sekali.” Tak banyak bicara, dari sudut yang lain berhikayat “kamu sudah berapa lama kehilangan dirimu sendiri.” Sesekali jemari satu persatu di tekuk-tekuk, gemetar. Aku? Siapa yang hilang? Jam dinding yang berdetak setiap detik, sejenak berhenti. Ikut menghakimi.

Tujuh puluh lima. Agustus, tepat sejak awal dimasukinya. Yang menari di tiup angin kini tidak hanya pohon, pun merah-putih. Berkibar lembut, di setiap sudut tempat dengan rapih. – Jika di ingat, tujuh puluh lima yang lalu banyak darah yang harus mengalir untuk ini. Jiwa-jiwa mulia perlahan gugur satu demi satupun

Tiap-tiap alur-Nya yang ditiup. Berputar-putar, berjalan, melambat dan meliuk. Semesta tiap-tiap jiwa mengalir pada lintasannya. Jiwa-jiwa dengan bahagia-nestapa adalah sama, tetapi berbeda. // Adalah hidup, datang—bertumbuh-bekembang-mengembang— lalu pulang. // Barangkali perihal datang adalah permulaan. Mencipta hidup-hidup yang sungguhan. Menghela, sebelum semua bermula. Memapah, mengelilingi apa saja. // Tentang bertumbuh dan

Kesiur angin putih sepertiga malam Menambah syahdunya malam Ramadan Entah mengapa melihat purnama pun terasa damai merasuk jiwa Berjalan hingga shubuh, matahari terbit hingga tenggelam Manusia memang dituntut ikhlas Ikhlas menjalani hidupnya Pun menerima takdirnya Sekali dua kali manusia memang harus ditampar Agar sadar akan perbuatannya Ramadan 1441 H Siapa

Lama sudah kami menunggu Suasana Ramadan yang begitu syahdu Mendekatkan diri kepada Rabbul Izzati Sepanjang hari dari pagi hingga petang lagi Bila magrib menjelang  Banyak orang berhamburan di sepanjang jalan Untuk membeli jajanan atau sekedar jalan-jalan Mereka menyebutnya dengan takjilan Magrib telah tiba Adzan telah berkumandang Di sanalah nikmat mulai

Tak banyak yang tau seberapa lama lagi kita mampu berjalan Tak banyak pula yang mengerti akan seberapa panjang lagi kita akan bernafas Karena setiap jalan yang ditempuh akan banyak rintangan dan hambatan Namun, perjalanan panjang tanpa kepastian itu tidak akan sulit jika dibimbing dengan sebuah pedoman Pedoman, pemberi asa dan

Hidupku dimulai dari 20 tahun yang lalu Saat mataku, hidungku, jari-jariku, betisku masih kecil berwarna ungu Dahulu tulisanku penuh warna dan pola tentang seberapa besar cita-citaku; Polisi, dokter, penyanyi, hingga menteri luar negeri Dulu aku berteriak di depan kelas membela kedua orang tua, Berucap dengan lantang bahwa kelak akan membahagiakan

Entah angin mana yang menghantarkanmu ke tempatku ini Kau datang saat diriku punya banyak planning kegiatan Kau hadir ketika kami tengah terlelap dalam mimpi Kau merangsek ketika sejuta janji sudah ku torehkan Kau merangsek ke kehidupanku saat diriku belum siap untuk Tak bergeming Tak berkarsa Tak berkarya Tak berpenghasilan, bahkan

Di rumah-Mu aku menangis, Di rumah-Mu aku bercerita, Tanpa kata, Tanpa suara, Di antara sujud-sujud panjang, Doa yang bersauh, Yang meluruh,   Dengan air mata yang lebih lantang berbicara daripada lisan, Seperti mantra yang mengikat simpul harap, Yang sudah sanggup melepas beban sesak di dada. ….. Oleh: Alaina Fatha Nabila