Sore hari setelah selesai masak dan menyiapkan menu untuk berbuka puasa, Lala pergi ke rumah Athala untuk mengajaknya ke stasiun tua untuk ngabuburit bersama. Namun sayangnya, Athala masih sibuk membantu uminya menyiapkan makan untuk buka puasa. “Laaaa duduk dulu di teras ya, bentar lagi Athala selesai kok.” Sahut Umi Athala. “Iya

Malam yang sunyi, jalanan kota yang terlihat sepi, lampu-lampu rumah sudah mulai dimatikan hanya demi mendapat kenyamanan saat tidur. Di sana hanya tersisa satu rumah yang lampunya belum dimatikan, di sana ada seorang remaja sedang berkaca di depan cerminnya, baju seksi yang ia kenakan, riasan yang ia poleskan di wajahnya.

Siang yang cukup mengharukan sama seperti tahun-tahun sebelumnya Pesantren Hamilul Qur’an rutin mengadakan acara Khotmil Qur’an bagi para santri yang telah mencapai target hafalan baik 10 juz, 20 juz, dan 30 juz. Acara tersebut dihadiri oleh para kiai dan nyai, serta wali santri baik dari para khotimat maupun masyarakat sekitar.

Setelah sholat isya hujan mengguyur, rasanya teramat syahdu ,ada rindu yang bergelayut tak menentu,ada denyut denyut aneh yang membelenggu. Kenangan turut berjatuhan bersama hujan yang kian deras mengguyur bumi malam tadi. *** Perempuan berkacamata itu masih enggan meninggalkan tempatnya. Ia masih duduk sambil memejamkan mata. Mengangkat kedua tangan penuh khusyuk,

Rintik rintik hujan tidak terbilang. Mengembun dibalik kaca depan teras rumah. Pagi ini sudah mendung tak beraturan tak sekedar cuaca, hati terikut pula. Bersama waktu, masa depan ini mengubah perlahan usia remajaku menuju usia-usia lebih dewasa. Perkuliahan yang akan aku hadapi dua bulan nanti dan meninggalkan sejuta kenangan putih abu-abu

“Kamu itu niat di pondok nggak sih?” Perempuan yang ditanya tampak terperangah. Berhenti sejenak, memandangku lama. Namun ia bungkam, meneruskan kegiatannya membuka sepatu. Kemudian bergegas meletakkannya di jajaran rak pada pintu bernama Lina AB3. AB3 di sini artinya komplek atas barat kamar nomor tiga. Memang di pondok ini, hanya ada

Pada suatu malam ketika orang-orang terbuai di alam mimpi, terlihat seorang perempuan sedang memuroja’ah hafalannya sembari menikmati indahnya langit malam. Dia duduk di balik jendela kamar dengan tirai yang sengaja ia buka. Kamar itu terletak di lantai tiga di sebuah bangunan sederhana yang biasa di sebut pesantren. Malam itu langit

Malam kian menggelap aku masih menyusuri jalanan sepi sendiri, melewati lorong sempit ditemani lampu bohlam yang remang-remang. Rasa takut kian menghimpit, namun aku harus terus berjalan melewati segala kemungkinan sendirian.   *** Namaku Yusrin, teman-teman lebih sering memanggilku ririn, aku memang cukup tomboi, terlihat arogan, dan tak berperasaan. Aku layak disamakan

Surtini, seorang santri yang biasa-biasa saja. Cantik juga tidak, pintar juga tidak, semuanya standar. Dia menjalani kehidupan sehari-hari disuatu pesantren yang berada jauh dari hiruk pikuk kota. Alasan orang tua Surtini memondokan anaknya di sana adalah agar Surtini dapat belajar hidup sederhana, agar Surtini tak lagi angkuh dan bisa menghargai

Hari sudah terlampau sore, mentari sebentar lagi akan tenggelam. “Teeett. . . teeett. . .”, terdengar suara bel yang berarti waktu istirahat sudah berakhir. Seorang anak perempuan yang menuntut ilmu disebuah pondok Pesantren dengan tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaannya, yaitu mencuci pakaiannya di keran kamar mandi q4. “Alya. . . ! Lekas